Membincangkan demokrasi sama halnya dengan membincangkan idealisme. Demokrasi adalah suatu konsep yang ideal. Ia adalah bagian dari cita-cita, pandangan, sekaligus sebuah sistem pemerintahan yang mengangankan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan. Keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan adalah bagian kecil dari cita-cita demokrasi yang ingin kita capai.
Tetapi proses demokratisasi di Indonesia tak bisa selalu berjalan mulus. Ada arang merintang yang selalu dihadapi bangsa ini untuk mewujudkan cita-cita ini. Korupsi, oligarki, hingga munculnya para bandit-bandit yang merongrong demokrasi. Demokrasi di Indonesia sering dikatakan sebagai demokrasi minus kaum demokrat, istilah ini saya pinjam dari Fadjroel Rachman dalam bukunya Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat.
Semenjak awal, para founding fathers kita memang sudah merumuskan sistem ideal dalam pemerintahan kita. Demokrasi kita, bukanlah demokrasi yang hanya diperuntukkan untuk para pemodal, orang-perorang, melainkan untuk kesejahteraan rakyat. Kita tentu ingat tatkala Soekarno berteriak lantang di hadapan sidang BPUPK : Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi, kita mendirikan negara semua buat semua, satu buat semua, semuat buat satu.
Akan tetapi, pasca kejatuhan Orde Baru, kita kemudian merasa bahwa demokrasi yang kita bangun justru semakin jauh dari tujuan dan cita-cita ideal kita. Kemiskinan semakin bertambah, utang negara makin banyak, sampai dengan kedaulatan ekonomi, politik dan kebudayaan kita menjadi lemah. Sementara di sisi lain, krisis identitas makin merajalela, kurangnya sikap persatuan dan kesatuan, sampai dengan munculnya tantangan separatisme, sampai dengan terorisme. Dalam bidang ekonomi, banyak pejabat dan elit korupsi, sikap dan tenggang rasa, dan tolong menolong makin hilang.
Akibatnya, demokrasi menjadi sekadar konsep, atau teori semata, yang terjadi sebaliknya, demokrasi dibajak, dicopet oleh para bandit, sebagaimana Mohamad Sobary menyebut demokrasi kita adalah demokrasi tukang copet. Lalu bagaimana konsepsi demokrasi yang sebenarnya? Apa yang ada dalam konsep-konsep demokrasi sehingga ia bisa melahirkan kemakmuran dan kesejahteraan?. Apa saja yang bisa dilakukan agar demokrasi berjalan dengan mulus dan tanpa hambatan?.
Djoko Suyanto mantan Menkopolkam di era Kabinet Bersatu II merumuskan pandangannya tentang demokrasi di negeri kita. Ada 8 pemikiran politik yang menurut Djoko bisa diterapkan untuk memperbaiki demokrasi di Indonesia. Pertama, kita mesti membawa demokrasi pada keamanan, dan kesejahteraan. Untuk itu, demokrasi mesti melahirkan institusi-institusi publik yang bermutu. Demokrasi juga mesti dijadikan sebagai sarana publik untuk menyalurkan aspirasinya. Menurut Djoko, demokrasi tak melulu harus menempatkan orang kuat, tetapi setiap orang berhak untuk duduk dalam pemerintahan yang demokratis.
Kedua, demokrasi memerlukan konsolidasi demokrasi yang kuat. Melalui konsolidasi demokrasi yang kuat inilah, kita tak hanya sekadar menyelesaikan persoalan-persoalan politik, tetapi melakukan kerja-kerja kreatif dan aktif untuk memikirkan persoalan bangsa. Konsolidasi demokrasi di dalam demokrasi pada akhirnya berfungsi untuk memastikan agar sirkulasi elite berjalan secara demokratis dan menghasilkan rezim politik baru yang juga demokratis!.
Tak bisa dinafikkan untuk melakukan konsolidasi demokrasi yang demokratis, kita memerlukan media. Masyarakat kita adalah masyarakat informasi. Yakni masyarakat yang sebagian besar sendi kehidupannya dituntun dan digerakkan oleh informasi (h.34). Urusan penyiaran pada hakikatnya adalah urusan publik. Melalui institusi demokrasi, media penyiaran juga terikat pada agenda bersama. Ia harus mampu mengaktifkan , membangun kehidupan publik yang berpengetahuan dan kritis sehingga mampu terlibat dalam perbincangan dan pengambilan keputusan penting yang menentukan nasib warga lainnya yang masih tertinggal (h.50).
Ketiga, demokrasi memerlukan pers yang membawa kita pada keindonesiaan dan kemanusiaan. Kita sadar kekuatan pers begitu besar. Ia bisa menciptakan siapa kawan, siapa lawan. Karena itulah, media harus cermat dan tidak boleh keliru dalam memebentuk pahlawan-pahlawan dan tokoh-tokoh idolanya sendiri. Jangan sampai orang-orang yang sebenarnya bermasalah dengan hukum tampil dalam pemberitaan laksana pahlawan (h.53). Singkatnya pers harus memperkuat nalar publik. Dengan begitu, ia akan menghasilkan partisipasi warga. Partisipasi warga mustahil dibangun tanpa adanya kebebasan pers.
Keempat, demokrasi perlu memupus korupsi politik. Artinya, tidak ada korupsi yang tidak bersifat politis. Karena yang dirusak oleh korupsi pada intinya adalah hakikat politik itu sendiri. Jelas, salah satu sumber dari korupsi politik adalah absennya pandangan normatif yang mendasar mengenai politik (h. 71).
Kelima, demokrasi perlu memperkuat pelayanan publik sebagai wujud dari penerapan demokrasi. Dengan pelayanan publik yang baik, maka publik pun akan semakin percaya pada pemerintah. Kepercayaan publik menjadi modal pemerintah untuk terus bergerak dalam menerapkan kebijakan yang demokratis. Keenam, investasi dan indonesia kedepan. Maksudnya demokrasi adalah investasi tersendiri. Melalui demokrasi yang baik, kita bisa membangun manusia indonesia menjadi lebih baik. Oleh karena itu, kita tak memerlukan pemimpin yang kuat, melainkan memerlukan pemimpin yang mampu mengenal berbagai variasi persoalan, bisa menumbuhkan dialog tanpa tekanan untuk kemudian mendelegasikan dan mengendalikan wewenangnya secara proporsional (h.90). Ketujuh dan kedelapan adalah pentingnya sikap patriotisme dan lari dari kebebasan. Sikap patriotisme penting dalam membangun demokrasi, indonesia sebagaimana yang dikatakan Hatta perlu bersatu melalui jalan yang rasional yakni pemenuhan keadilan dan kemakmuran. Terakhir, demokrasi bukanlah barang siap saji. Ia ada di dalam praktik.
Buku setebal 142 halaman ini mampu meringkas dan menghimpun bagaimana pandangan ideal tentang demokrasi. Buku ditutup dengan pertanyaan dan diskusi dari para penanya untuk melengkapi pandangan pribadi penulis. Melalui buku ini, kita bisa menemukan jalan untuk menggapai tujuan demokrasi di indonesia. Meski ditulis oleh seorang TNI, buku ini memberi gambaran ideal tentang konsep-konsep demokrasi di Indonesia. Hanya saja karena buku ini berupa kumpulan pidato, buku ini tak memiliki daftar pustaka. Sehingga pembaca diperkenankan untuk menelusuri sendiri referensi yang ada di buku ini. Selamat menyelami pemikiran tentang demokrasi kita, demokrasi di Indonesia.
*) Penulis adalah Saudagar Buku, tuan rumah Pondok Filsafat Solo
Belum ada tanggapan.