“Dulu ada kisah pangeran dari Balkh (sekitar abad 7-8 M) yang meninggalkan istana pada suatu malam tanpa alas kaki, mengikuti jalan istana pada suatu malam tanpa alas kaki, mengikuti seorang darwis. Ada yang menduga bahwa dia adalah Ibrahim ibn Adham, dan ada pula yang menduga Basyar al-Hafi. Sebagian besar puisi-puisi ini tergoda sekaligus belajar dari kisah itu.”
Kutipan seperti juru penerang bagi pembaca ada dalam seikat puisi Jarum, Musim, dan Baskom” (2015) garapan Mardi Luhung. Pembaca mengenal penyair kelahiran Gresik lewat puisi-puisinya, beberapa tertebar di koran, dan buku puisi lainnya, seperti Buwun (2010) dan Teras Mardi (2015). Sekelumit pengalaman mengenal sekaligus membaca, tak melupakan buku ini. Dimana, jika kita (pembaca) mahfum akan kutipan di atas, puisi-puisi dalam buku ini termasuk hasil pembacaan terhadap kisah pangeran dari Balkh itu. Saya pernah membaca novel sufistik berjudul Ibrahim ibn Adham garapan Ahmad Bahjat. Keterangan awal dalam novel itu, hampir sama yang diterangkan Mardi Luhung. Barangkali, puisi-puisi dalam buku ini merupakan hasil pembacaan dari novel yang saya maksud.
Mardi Luhung, sebagaimana pernah dikatakan kritikus sastra Bandung Mawardi, telah membuat puisinya berisik di rumah (besar) perpuisian Indonesia; dengan olahan imajinasi memukau, dan melahirkan kisah-kisah kebersahajaan dalam mata imajinasi lelaki pedusunan, kini memberi nuansa dan suasana bahasa agak berbeda.
Lewat puisi awal Jarum Tak Bersandal, dengan di bawahnya ada penomoran dan judul, seperti subjudul, yakni “1. Sandal”, Mardi Luhung mengawali dengan narasi cukup panjang, nukilannya begini: “Telah dilemparkan namanya ke api. Dia melihat asap membumbung. Bangkai-namanya menjadi abu. Sedangkan ruh-namanya melesap ke setiap pohon, kembang dan batang-pohon,” membuat pembaca lekas mengingat dan memahami bagaimana ini ditujukan pada pangeran dari Balkh yang ternama itu.
Dimana, pembaca menafsir narasi itu, dilandasi dengan kisah dalam novel Ibrahim ibn Adham, bahwa pelemparan ‘nama’, hingga ‘bangkai namanya menjadi abu,’ merupakan metafora dari kisah pangeran yang telah meninggalkan semua kekuasaan. Ia seorang pangeran, tapi kemudian ia menjadi darwis. Ia orang kaya, tapi kemudian ia menjadi miskin. Ia orang sangat terkenal, tapi kemudian ia menjadi tak dikenal. Dan, jika sebelumnya ia memakai pakaian seharga seribu dinar, ia berubah hingga harus menambal sendiri pakaiannya yang lusuh dan usang (Ahmad Bahjat, 2012: 7).
Tafsir mendekati pemahaman sebenarnya ini, sejujurnya juga berkat Mardi Luhung, telah memberi ‘jalan terang’ sebelumnya. Puisi memang diambang remang-remang. Tapi, dengan keterangan dari penyair, pembaca tak kesusahan dalam memahami puisinya. Di jalan puisi Mardi Luhung, pembaca tak lagi ‘berjalan’ tertatih-tatih atau penuh raba-raba. Barangkali, ia memang tak mau menyulitkan pembaca, meski jika ini hadir di hadapan pembaca lainnya, pembaca bisa saja kesulitan memahami maknanya. Tapi, ketika sampai di sini, kita tak usah menyulitkan diri. Kadang, puisi hadir dan tersuguhkan, untuk menghibur, menghaluskan rasa pembaca. Puisi tak selalu untuk dipahami dan didedah sedalam-dalamnya. Sebab, jika pembaca memahami seperti itu, maka keindahan, keeksotisan (dan) kemisterian akan hilang. Pembaca bisa-bisa akan pusing atau membuat derita diri sendiri.
Lebih lanjut, membaca buku puisi ini, penyair serasa memberi keteduhan bagi pembaca. ‘Keteduhan’ terasa menguar, pembaca cukup menyakini bahwa itu tak terlepas dari suguhan bahasa, baik diksi (pilihan kata) maupun pertalian tiap kata-frasa. Ketika memasuki dan menapaki tiap-tiap puisinya, pembaca boleh mengatakan bahwa kita (pembaca) sedang memasuki rimba bahasa, tapi tak terlalu banal, buas, dan mengerikan. Seperti, ia menghadirkan narasi-narasi berunsur flora, fauna, -salah satunya terlukiskan dalam puisi Taman, nukilan bait terakhirnya, begini: “Ya, salah satu sayap itu pun menarikku untuk lebih masuk ke dalam taman. Dan seperti kupu-kupu yang kuat, aku mengitari semua yang ada tanpa lelah.”
Di sisi lain, pembaca tak menampik bahwa buku puisi ini pun bergelimang bahasa dan makna, menyusuri ranah estetika, geografi, sosial, budaya, sejarah, religi, teologi, ekologi hingga politik. Dimana, tak semuanya pembaca bisa memasuki, menapaki, apalagi menafsir-mendedah dengan benar. Ketika sampai di sini, pembaca sadar akan kelihaiannya dalam bermetafor. Dimana, pemakaian metafora dilakukan penyair merupakan kesadaran penyair terhadap tubuh bahasa dikenakan busana, sehingga tak vulgar. Dan justru inilah, menimbulkan erotika sekaligus misteri, sehingga membuat pembaca tak lekas bosan, abai, atau mengusaikan diri.
Belum ada tanggapan.