Oleh Budiawan Dwi Santoso
Suatu wacana sekaligus realitas yang akan menyadarkan kita semua, terutama dalam ranah pendidikan. Kiranya, pernyataan berbasis refleksi diri dari pembaca itu yang memang pantas disematkan dalam buku berjudul Menjadi Guru Untuk Muridku (2011) karya ST. Kartono.
Sekilas, buku ini merupakan kumpulan esai (bunga rampai) refleksi ST. Kartono tentang dunia pendidikan, khususnya bagi guru. Esai-esainya selalu menggugah perasaan pembaca, terutama bagi kalangan pendidik dan peserta didik. Dan, dari buku ini, kita akan mengetahui bahwa tanpa disadari guru sering menjadi guru untuk aparat pemerintah, menjadi guru untuk dinas pendidikan, menjadi guru untuk aturan-aturan, menjadi guru untuk kepentingan dagang di sekolah, atau menjadi guru untuk berjualan paham (hlm. 6).
Pengetahuan itulah yang menjadikan kita turut merenung sejenak betapa ironisnya para guru yang terjebak atau mungkin malah menjebakkan dirinya pada hal-hal yang bersifat pragmatis itu. Namun, keironisan ini yang barangkali tidak pantas untuk dilarut-larutkan dalam kehidupan guru, kita semua, tak terkecuali ST. Kartono sendiri.
Buku yang hadir di hadapan pembaca ini merupakan tulisan yang penuh perefleksian diri ST. Kartono. Meskipun demikian, buku ini bisa menjadi salah satu jalan keluar untuk menghindari, mencegah, atau mengurangi etos dan kerja guru yang selama ini hanya menjadi ‘guru-guruan’. Di sisi lain, esai-esai yang berbingkai refleksi dirinya, tentu tak bisa kita sepelekan saja. Sebab, bila mengingat pernyataan dari Carl Gustav Jung dalam bukunya yang berjudul Memories, Dreams, Reflections (1983), maka refleksi diri merupakan tindakan spiritual yang berlawanan dengan proses alami, sebuah tindakan dimana kita berhenti, mengingat-ingat dalam pikiran, membentuk hubungan hingga memahami apa yang kita lihat.
Dari perefleksian diri itulah, kita (khususnya, para guru) dapat mengintegrasikan energi transformatif dan potensi dari dalam diri. Integrasi tersebut akan mendatangkan kesadaran. Lalu, kesadaran mereka terhadap kondisi pendidikan kita inilah, yang nantinya mampu mengembalikan cita-cita murni pendidikan ini: menciptakan bangsa yang cerdas, berpendidikan, dan bisa memajukan kehidupan sesuai dengan amanat undang-undang dasar.
Keyakinan dan konsistensi ST. Kartono terhadap konsep refleksi diri itu tersirat lewat salah satu esai berjudul Mengajarkan hening. Bagi ST. Kartono, konsep tersebut—atau dalam bahasanya, yakni ‘ pedagogi reflektif ’— justru menjadi suatu episode penting bagi para guru untuk kembali mengolah pengalaman pelayanannya kepada para siswa, jauh dari suasana rutinitas rapat kerja. Dan, yang lebih penting lagi adalah, ia ( pedagogi reflektif ) mampu menghadirkan sentuhan manusiawi kepada siswanya (hlm. 232).
***
“Salah satu seri tayangan acara televisi Kick Andy menampilkan para guru yang bekerja di daerah pinggiran, bahkan terpencil. … Bagi para guru tersebut, jarak rumah dengan sekolah tempatnya mengajar bukanlah menjadi persoalan. Keterbatasan sarana dan kecerdasan siswa tidaklah menyurutkan semangatnya mengajar. Bagi para perintis perpustakaan, kekurangan dana, dan ketiadaan tempat bukanlah penghalang untuk memberikan sarana pencerdasan masyarakat di sekitarnya.” Dari menonton televisi itulah, Kartono lagi-lagi sadar dan menemukan makna hidup guru bahwa sifat dan sikap yang harus dimiliki para guru adalah “stop mengeluh!”
Fragmen kisah yang dialami Kartono di atas, lebih menegaskan bahwa menjadi guru yang benar-benar guru, harus pula tahu, cermat, dan kritis dalam memaknai dan menanggapi realitas di sekitarnya. Guru tak boleh menyepelekan tindakan atau hal-hal kecil, yang sebenarnya itu bisa menjadi ‘senjata ampuh’ untuk mengajar, membimbing, dan membombong peserta didiknya.
Dalam buku ini, ST. Kartono memberikan pengalaman-pengalaman sepele, yang juga tak bisa disepelekan begitu saja oleh guru maupun kita. Beberapa diantaranya, yakni memberikan pujian terhadap siswa yang telah berkarya; membiasakan senyum kepada siswanya; pada awal pelajaran atau hari pertama masuk kelas, siswa dibiasakan untuk mengingat para guru yang pernah mengajarinya, lantas menuliskan pesan dan kesannya; membiasakan berterima kasih; dan selalu perhatian pada siswanya, yang salah satu contohnya bisa memberi sapaan menyelidik seperti ini: “siapa belum sarapan?”
Hal ihwal yang tersebutkan di atas itu, selain memastikan kesiapan guru dan siswa dalam kegiatan belajar mengajar, juga berguna untuk memunculkan ‘seni mengajar’. Artinya, kelihaian guru menghidupkan kelas pasif atau mengendalikan kelas yang hiperaktif.
Hal yang penting lagi adalah dapat mengenali konteks siswa. Sebab, guru yang tak pernah membaca konteks, ia akan memperlakukan murid sama dari tahun ke tahun. Maka, yang terjadi tak ada perkembangan sekaligus perubahan yang memajukan kualitas mental dan pikiran peserta didik maupun gurunya sendiri. Jadi, akankah guru membiarkan hal itu terjadi begitu saja?
Dari hal tersebut, kiranya kalau para guru layak untuk mencontoh dan meresapi apa yang dipaparkan dan pernah dilakukan ST. Kartono dalam buku ini. Sebab, ia sendiri masih percaya bahwa bunga rampai yang ia dedikasikan untuk ribuan rekan guru dan para mahasiswa calon guru itu akan menjadikan mereka sebagai aktor sekaligus faktor perubahan pendidikan di negeri ini.
Belum ada tanggapan.