Oleh Budiawan Dwi Santoso
“Kawan sunyi dari kejauhan
merasakan bagaimana nafasmu masih menjelajahi ruang
Biarkan dirimu sendiri menggemuruh di antara sinar-sinar
dari menara gelap. Apapun mangsa”(Rainer Marie Rilke, Soneta-soneta buat Orpheus, 1922)
“Mungkin, tak akan pernah ada lagi seorang penyair yang menulis surat-surat buat sesama penyair lain, yang begitu intim dan menyentuh dan mencerahkan seperti surat-surat Rilke ini. Berkilauan dan bening,” ungkap Tia Setiadi dalam buku terjemahannya berjudul Rainer Marie Rilke: Surat-surat Kepada Penyair Muda dan Sejumlah Sajak (2012), yang pada realitasnya menjadi representasi kini juga.
Rene Karl Wilhelm Johann Josef Maria Rilke (4 Desember 1875-29 Desember 1926), yang dikenal sebagai Rainer Marie Rilke, merupakan seorang penyair Austria bohemian. Ia merupakan salah satu penyair terpenting berbahasa Jerman. Keternamaan dia di dunia kepenyairan—dunia kepenulisan itu, yang juga membuatnya dikenal orang-orang, salah satunya Franz Kappus.
Franz Kappus yang berumur 19 tahun itu mengalami kebingungan dan kegamangan dalam memilih karir, yakni menjadi penulis ataukah menjadi seorang serdadu. Pergolakan batin itulah, yang membuat Kappus untuk memutuskan mengirim surat-surat disertai puisi kepada Rilke. Surat dari calon penyair muda itu ternyata disambut baik oleh Rilke.
Ketika surat pertama dari Kappus, yang pada intinya menanyakan apakah puisi-puisinya bagus; dan ketika ia memberi tahu pada Rilke bahwa puisi-puisinya pernah dibandingkan dengan puisi-puisi lain; serta sebal saat beberapa editor menolak puisi-puisi Kappus, Rilke tak bisa memberikan kritik atau mendiskusikan sajak-sajaknya. Rilke hanya memberi satu hal—dalam suratnya—yang harus dilakukan calon penyair muda tadi, begini: “Pergilah ke dalam dirimu sendiri. Temukan alasan yang mendorongmu untuk menulis; lihat apakah alasan itu telah mengembangkan akar-akarnya ke dalam hatimu yang terdalam; akui pada dirimu sendiri apakah kau rela mati bila kau dilarang menulis. Dan lebih dari semua itu; tanya pada dirimu sendiri di jam paling hening dari malam-malammu; haruskah aku menulis?” (hlm. 10-11).
Surat balasan Rilke ternyata tak hanya mengundang pikat bagi Kappus saja. Pembaca juga terpikat dan turut mengambil hikmahnya. Keterpikatan inilah, yang selanjutnya membuat Kappus mengirim surat lagi, meskipun surat balasan dari Rilke itu, pada nantinya sering terlambat dibuat. Rata-rata, setelah dua bulan lebih, ia baru membuat surat balasan pada Kappus.
Entah hal itu disengaja atau tidak disengaja, keterlambatan Rilke menulis surat itu disebabkan oleh berbagai faktor. Saat membalas surat kedua dari Kappus, Rilke ternyata sakit. Ia sering diserbu oleh gangguan influensa, yang membuatnya tak mampu melakukan apapun. Faktor lain adalah Rilke yang memilih menjadi bohemian—orang yang hidup mengembara dan tidak teratur serta tidak memikirkan masa depannya. Seperti, ia sering bepergian ke Italia, Prancis, Swedia, bahkan mengunjungi Rusia bersama sahabatnya, Lou Andrea-Salomé, hanya untuk bertemu dengan Leo Tolstoy, sastrawan terbesar dan berpengaruh luas dalam peta sastra dunia.
Namun, keterlambatan Rilke menulis surat pada Kappus, ternyata tak membuat Kappus sendiri jengah atau putus asa untuk menyudahi komunikasi jarak jauh itu. Ia justru menulis surat lagi, yang isinya tak hanya meminta nasihat untuk menanggapi puisi-puisinya. Keadaan itu mulai terasa apabila membaca surat-surat balasan dari Rilke sendiri.
Keberanian Kappus untuk mencurahkan hati dan hidupnya yang dilanda pelbagai kesedihan, kesukaran, kesengsaraan, dan pelbagai depresi justru membuat Rilke lebih intim dalam membalas surat untuk calon penyair muda tersebut. Rilke merasa bahwa apa yang dialami Kappus, pada hakikatnya seperti menjadi cermin bagi Rilke sendiri. Dan, surat-surat yang terbaca oleh mereka berdua justru membuat mereka semakin melihat, mencerapi, dan merasakan sesuatu yang bertautan dengan realitas diri dan sekitar sampai ke ceruk terdalam.
Hal itu terepresentasikan dalam surat Rilke, ditujukan kepada Kappus yang tengah dilanda pelbagai permasalahan tersebut. Bunyinya begini, “Semakin kita tenang, semakin sabar, dan terbuka dalam kesedihan kita, maka semakin dalam dan khidmat kehadiran baru bisa memasuki kita, dan kita semakin bisa menjadikan hal itu sebagai milik kita, semakin hal itu menjadi takdir kita; dan kemudian, saat itu ‘terjadi’ kita bakal merasa terhubung dan dekat padanya dalam keberadaan batin kita” (hlm. 61).
Dari surat-menyurat itu, Franz Kappus sedikit demi sedikit mulai mengatasi persoalannya, terutama dengan kehidupan berpuisinya. Itu terbukti dari sanjungan Rilke kepadanya, yang dapat dibaca oleh para pembaca lain pada nantinya. Surat pun, ternyata mampu memberi imajinasi dan mengkonstruksi pemikiran yang lebih cerah dan ‘jauh’ lagi pada pembaca, termasuk mereka berdua. Interaksi tertulis itu juga menyeret mereka ke dalam dunia yang begitu filosofis.
Pembaca (saya) pun semakin tahu bahwa surat menjadi oasis pemaknaan bagi si penulis maupun si penerima surat. Keeleganan dan kebersenian surat memberi dampak seseorang, khususnya si penerima surat untuk menyoroti si penulis surat sebagai orang yang berpengetahuan tinggi, berbudi, dan berseni. Dampak tersebut memancarkan rasa persahabatan, kehangatan, penghormatan, saling pengertian, dan simpati pada satu sama lainnya.
Dan, buku ini menunjukkan bahwa surat telah menjadi bagian dari artefak sejarah. Dimana, artefak itu bisa dipakai untuk merekonstruksi peristiwa masa lalu, mulai dari kultur, sosial, historis, estetika, sampai dengan ekonomi. Rekonstruksi yang menambah kekayaan gagasan dan imajinasi bagi pembaca nanti.
Judul buku: Rainer Marie Rilke: Surat-surat Kepada Penyair Muda dan Sejumlah Sajak
Penerjemah: Tia Setiadi
Penerbit: MK Art Books, Yogyakarta
Cetakan: Desember, 2012
Tebal: 114 Halaman
Baca juga:
Belum ada tanggapan.