Berbagai permasalahan serius tengah mendera Indonesia. Salah satu hal pokok yang terkait erat dengan permasalahan bangsa adalah pendidikan. Bagaimana pendidikan menjadi penyebab sekaligus solusi permasalahan sebuah bangsa masih menjadi pertanyaan.
Paulo Freire, seorang filsuf pendidikan kelahiran Brazil mencoba menawarkan sebuah konsep pendidikan yang menjawab permasalahan sebuah bangsa melalui bukunya yang berjudul “Pendidikan Kaum Tertindas”. Buku terjemahan setebal 215 halaman terbitan Lembaga Penelitian Pendidikan dan Perencanaan Ekonomi (LP3ES) tersebut dibagi kedalam 4 pokok pembahasan.
Bab pertama yaitu tentang pentingnya pendidikan bagi kaum tertindas. Menyadarkan kepada mereka betapa pentingnya merebut kembali hak-hak mereka yang dirampas. Seperti yang Freire katakan, “Pendidikan kaum tertindas sebagai pendidikan para humanis dan pembebas, terdiri atas dua tahap. Pada tahap pertama, kaum tertindas membuka tabir dunia penindasan dan melalui praksis melibatkan diri untuk mengadakan perubahan. Pada tahap kedua, dimana realitas penindasan itu sudah berubah, pendidikan ini tidak lagi menjadi milik kaum tertindas tapi menjadi pendidikan untuk seluruh manusia dalam mencapai kebebasan yang langgeng.
Sehingga seharusnya ada kesadaran dari mereka para kaum yang tertindas dan mereka perlu adanya inisiatif untuk berubah. Perjuangan pembebasan harus datang dan dilaksanakan sendiri oleh kaum tertindas tersebut. Karena jika ada penindas yang mau memberikan kebebasan kepada kaum tertindas itu tidak lebih dari sekedar bentuk kemurahan hati yang palsu pula kata Freire. Dua tujuan utama pendidikan dalam konteks tersebut yaitu, pertama adalah meningkatkan kesadaran kaum tertindas akan kondisi dirinya dan kebutuhan untuk keluar dari ketertindasan. Kedua, mendorong kaum tertindas untuk berjuang memperjuangkan kemerdekaannya sampai tuntas. Dan sangat perlu ketika setelah mereka yang tertindas menyadari apa yang terjadi pada mereka untuk memutus tali tersebut, sehingga tidak ada lagi kaum tertindas nantinya berbalik menjadi penindas.
Hal tersebut yang membuat Freire berpikir untuk menyelesaikannya dengan menyusunnya di bab selanjutnya. Ia mengkritik sistem pendidikan yang terjadi hanya serupa dengan model di bank. Ia menyebutnya “gaya bank”. Ketika proses pendidikan yang dialami oleh kaum kaum tertindas selama ini hanya seolah menerima, mencatat, dan menyimpan. Posisi guru seperti subjek yang memiliki banyak pengetahuan kemudian diberikan kepada muridnya dan murid seolah hanya sebagai deposit belaka. Mereka tidak menyadari bahwa mereka berada di dalam kondisi yang tertindas, sehingga mereka tidak bisa mengembangkan pemikiran mereka dengan maksimal. Hingga Freire menawarkan sebuah konsep pendidikan baru, yang dinamakan “pendidikan hadap masalah” yaitu konsep yang mengedepankan proses dialog dalam proses pembelajaran. Hal itu yang nantinya membuat pemikiran peserta didik menjadi berkembang.
Pada bab ketiga, Freire menggambarkan bahwa dialog sebagai unsur pendidikan kaum tertindas pada hakikatnya terdiri dari dua dimensi yaitu refleksi dan aksi. Dalam proses dialog, refleksi dan aksi adalah sebuah kesatuan. Proses pembelajaran tanpa refleksi hanya akan menyebabkan peserta didik terjebak dalam aktivisme. Sedangkan pembelajaran tanpa aksi tidak akan menghasilkan perubahan apa-apa. Disini Freire menekankan, bahwa perubahan itu hanya akan terjadi ketika terjadi perpaduan antara aksi dan refleksi.
Freire mendefinisikan dialog sebagai sebuah titik temu antara manusia yang satu dengan manusia yang lain melalui kata-kata. Dialog dilakukan dengan landasan kerendahan hati, saling percaya, peduli serta menyadari bahwa manusia adalah mahluk yang belum selesai. Di samping itu, dialog pun menuntut sikap mau mendengar, memahami diri sendiri dan memahami orang lain. Oleh karena itu, dialog ini tidak akan terjadi antara manusia ketika hak berbicara dan berkata seseorang dirampas oleh orang yang lain.
Bagian terakhir, membandingkan antara model pendidikan antidialogis dengan model pendidikan dialogis. Bab ini merupakan kesimpulan Freire mengenai pendidikan kaum tertindas. Freire menunjukkan bahwa teori pendidikan dialogis akan mampu membangun kesatuan yang akan mengarah pada pembebasan melalui perombakan struktur yang menindas. Sementara pendidikan antidialogis seperti pendidikan “gaya bank” hanya akan melanggengkan ketertindasan masyarakat. Karena pendidikan dialogis sendiri mengajarkan tentang kerjasama, persatuan untuk pembebasan, organisasi, bahkan sintesa kehidupan. Sedangkan antidialogis berpihak pada penaklukan, perpecahan, kekuasaan, manipulasi, hingga serangan kebudayaan.
Kemudian jika di Indonesia, satu dua pemikiran seperti yang diungkap Freire kini telah terealisasi, contohnya adanya kurikulum 2013. Sehingga sedikit banyak sudah mengajak untuk meninggalkan kontradiksi tersebut. Penindas dan yang tertindas. Antara mereka yang berkuasa memberi semaunya dengan yang menerima sepatuh mungkin, tetapi melahirkan kerjasama yang sama sama memberi pelajaran bagi mereka. Guru mempersilahkan murid muridnya lebih banyak berdiskusi, presentasi, dan berbagai cara mengembangkan pemikiran murid.
Freire menjelaskan secara gamblang apa yang terjadi hari ini, di mana kita berada dalam keadaan ditindas, sekaligus Freire mengajarkan kepada kita untuk melawan arus pendidikan yang benar benar salah. Kalimat-kalimat yang disajikan Freire membuat kita menyadari harus seperti apa kita membentk diri. Kita pernah berada diposisi tertindas, dan sekarang yang perlu kita lakukan sesuai pemikiran Freire adalah bagaimana kita memusnahkan kontradiksi 2 kata yang menjadikan kita tersebut. Tertindas, dan penindas. Agar mencapai manusia baru yang diharapkan bukan kita tetap kembali kepada kebudayaan yang salah, yang turun temurun dan tidak dibenahi. Tapi perlunya kita sendiri yang dengan tidak hanya menyadari hakikat hak hak kita sebagai manusia menuju manusia yang seutuhnya, tetapi juga berusaha maksimal untuk merubah tatanan yang sudah menenggelamkan kualitas cara berfikir ini.
Walaupun ada kalanya kita perlu merasakannya terlebih dahulu baru kita bisa berfikir bagaimana seharusnya. Seperti ketika dibangku sekolah saat masih dini kita perlu belajar dan sedikit menurut apa yang bapak atau ibu guru katakan, sampai kita beranjak dewasa kita bisa berfikir mana yang benar dan mana yang salah, tapi sekali lagi, terkadang perlu dilalui masuk didalamnya untuk faham dan benar benar mampu mengartikan. Ada kalanya perlu ditindas untuk tau bagaimana ditindas itu, apa ditindas itu, bahkan bagaimana dengan ditindas itu. Seperti pengalaman hidup Freire sendiri, dan pengamatan dalam hidupnya, yang membuat Ia mampu berfikir demikian. Tapi tidak melulu juga perlu jatuh kedalam keburukan dulu baru bisa berfikir baik, apabila generasi selanjutnya mampu memutus keburukan tersebut dan menggantinya dengan baik, mungkin para dewasa selanjutnya bisa berfikir lebih baik lagi.
Freire sempat mengatakan hakikat awal terjadinya itu yang dinamakan fitrah, tapi selanjutnya semestinya perlu disudahi. Freire juga menyiratkan bahwasannya tidak hanya mereka yang tertindas saja yang mengalami dehumanisasi, tetapi juga mereka yang menindas. Mereka yang tertindas merasakan ketidakbebasan itu berlanjut terus bahkan mereka tidak berani dan berupaya untuk mengubahnya, mereka hanya mengikuti karna mereka sendiri tidak memahami hakikat hak kebebasan yang ada dalam diri mereka, kemudian mereka yang menindas juga meresakan dehumanisasi walaupun mereka tidak menyadarinya, tapi pada dasarnya mereka tidak tau yang sesungguhnya kemanusiaan itu seperti apa.
Dari situ Freire benar benar menginspirasi kita dan sekaligus memberi semangat bagaimana kita berlaku seharusnya. Sehingga sekali lagi, manusia baru yang dimaksudkan Freire bukan yang tinggal mengikuti alur kehidupan seperti kemarin. Tapi mereka yang berani melawan dan memutus budaya keliru yang terjadi hingga detik ini.
*Penulis adalah Mutiara Pratiwi, Mahasiswa FKIP UMS Semester 2; Volunteer Rumah Baca Srawung.
Pengarang : Paulo Freire
Penertit : LP3ES
Kota Terbit : Jakarta
ISBN : 979-3330-70-9
Halaman : 215
Tahun Terbit : 2008
Sumber : Perpustakaan Rumah Baca Srawung
Belum ada tanggapan.