Pada akhirnya menulis bukanlah suatu aktifitas yang terlepas dari keseharian penulisnya. Karena itulah, mau tak mau, apa yang ditulis oleh seorang penulis bukanlah sesuatu yang melayang dan mengawang-awang di atas langit. Pada saat itulah, ada relasi yang tak bisa dipisahkan antara penulis, pembaca dan juga karyanya.
Apa yang dilakukan oleh Haruki Murakami pun tak jauh berbeda. Ia semula bukanlah seorang yang bercita-cita menjadi penulis. Pengusaha ini semula sukses dengan usaha yang dilakukannya. Bahkan pada saat ia mencapai kejayaan, ia justru memilih jalan hidup sebagai “penulis”.
Saat itulah, pilihan ditetapkan, niat pun ditancapkan untuk menjadi seorang penulis. Tahun 1981 tepatnya, Haruki Murakami memutuskan untuk menjadi penulis. Ia pun berkonsentrasi menulis novel panjang, dan pada musim gugur tahun itu ia pergi ke Hokkaido selama seminggu untuk riset penulisan (h.39). Kemudian, di akhir April tahun berikutnya ia berhasil menulis novel berjudul Hitsuji o Meguru Boken ( A Wild Sheep Chase). Setelah menyelesaikan novel A Wild Sheep Chase itulah, Haruki memulai kebiasaannya berlari.
Berlari kemudian menjadikannya tak hanya mengontrol kebugaran tubuhnya, tetapi juga menjaga vitalitas dan daya tahan tubuhnya serta fikirannya untuk selalu bergairah menulis. Melalui berlari itu pula ia mempelajari banyak hal, bukan hanya pertemuannya dengan orang-orang, hubungan tubuhnya dengan alam di sekitarnya, hingga cara Haruki mensyukuri usia yang sudah tua tetapi masih segar bugar.
Melalui aktifitas berlarinya itu pula, ia berhasil menuliskan memoarnya tentang “berlari” di buku yang kita baca ini. Kita bisa menyimak bagaimana pernyataannya di buku ini mengenai tujuan Haruki menulis. “ Semua orang akan mengalami kekalahan suatu hari nanti. Seiring berjalannya waktu, daya tubuh merosot tanpa bisa ditolak. Cepat atau lambat, ia akan dikalahkan, lalu menghilang. Jika tubuh hancur, jiwa (hampir bisa dipastikan) juga akan menghilang. Aku paham mengenai hal ini. Walaupun begitu, aku ingin menunda selama mungkin, saat vitalitasku dikalahkan oleh racun. Itulah tujuanku sebagai penulis. Selain itu, pada titik ini aku tidak punya kelonggaran untuk meledak meskipun orang akan bilang “Yang seperti itu bukan tipe seniman,”aku tetap terus berlari (h.111).
Murakami seperti menyadari, kekuatan seorang penulis bukanlah sebuah “ledakan” karyanya, tetapi daya dan vitalitas tulisannya. Boleh jadi, tulisannya begitu bermutu, tetapi publik belum tentu menyukainya. Meski disadari, ada kebahagiaan tersendiri bagi seorang penulis ketika karyanya disukai pembacanya. Murakami sadar akan godaan ketika karyanya meledak, saat itulah ia bukan hanya dituntut untuk menciptakan sesuatu yang lebih baik lagi, ia juga dituntut untuk melawan racun yang bisa menghancurkan daya dan vitalitas tubuhnya.
Jangan bayangkan kehidupan Murakami adalah kehidupan monoton di apartemen mewah dan selalu berhadapan dengan gedung-gedung tinggi. Ternyata, ia pun memiliki cara yang jeli untuk mengkondisikan tubuhnya dan mengaturnya sedemikian rupa. Di saat ia sadar bahwa kita yang harus memerintah tubuh kita, saat itulah ia membuat tubuhnya selalu segar dan bugar. Tak hanya melalui lari, ia pun memiliki kebiasaan yang unik. Yakni mengoleksi piringan hitam. “Aku tidak begitu yakin jumlah piringan hitam yang ada di rumahku sekarang. Aku tidak pernah menghitungnya, dan terlalu menakutkan bagiku untuk coba melakukannya (h.157).
Saat membaca bagian ini, tentu kita jadi ingat Eka Kurniawan yang memiliki kebiasaan mendengarkan musik. Dari musik-musik favoritnya itulah, ia merasa tenang dan bisa menulis dengan riang. Murakami pun demikian halnya, ia menjalani kesehariannya dengan musik. Tak hanya musik klasik, jazz, tapi juga rock. Musik itu pula yang menjadi teman ketika ia sedang berlari.
Berlari, seperti yang dilakukan Murakami mengingatkanku pada Pramoedya Ananta Toer yang terus berolahraga menjaga vitalitas tubuhnya hingga usia tuanya. Saat itulah, ia telah berusaha menuntaskan kerja hidupnya sebagai seorang penulis, dengan mengumpulkan berbagai informasi mengenai nusantara yang dicintainya. Di saat menjelang akhir hidupnya, ia hanya mampu menuliskan judul sederhana “Papua”. Saat itulah ia sadar bahwa usia yang sudah tua tak mampu lagi dipaksakan untuk melakukan kerja yang lebih dalam hal menulis utamanya : mengkliping.
Meski demikian, Pramoedya tetap dicatat sebagai seorang sastrawan yang produktif, puluhan novel telah ia tulis, hingga dokumentasi dan kronik yang ia buat cukup banyak meski dihancurkan oleh tentara.
Berlari seperti yang dilakukan Murakami pun tak jauh beda, melalui lari itu pula, ia menemukan bagaimana mengingat, menyusun cara kerja dan waktu yang ada dalam kehidupannya, bertemu dengan orang-orang hingga menulis novel. Dengan menulis memoarnya tentang “berlari” inilah, Murakami ingin membagi kepada kita, tentang kehidupannya, tentang apa yang ditulisnya, dan tentang caranya mengartikan menulis, berlari dan kehidupan itu sendiri. Melalui buku ini, kita tidak diajak untuk membincangkan novelnya lebih jauh, tetapi kita diajak untuk lebih dalam memasuki kehidupan penulisnya secara lebih jujur dan sederhana.
*) Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com, tuan rumah Pondok Filsafat Solo
Belum ada tanggapan.