Gunung, dalam khazanah Jawa, memiliki makna begitu kaya. Dalam pewayangan misalnya, gunungan, tak hanya simbol bagi dimulainya cerita dan diakhirinya cerita. Gunung, menghubungkan yang makro dengan yang mikro. Yang ada diatas, dengan yang ada di bawah. Karena itulah, cerita-cerita orang tentang gunung serta kehidupannya tak pernah mati.
Begitu pula Gunung Merapi, yang dianggap tak hanya menghubungkan antara Keraton Yogyakarta dengan pantai selatan. Hubungan ketiga tempat itu seperti tak terpisahkan dari sejarah dan cerita. Ada mitos tentang Ratu Kidul, ada pula riwayat tentang sosok juru kunci Gunung Merapi, Mbah Marijan (alm).
Buku karangan Elizabeth D. Inandiak bertajuk Babad Ngalor Ngidul (2016) ini mengajak kita menelisik serta menziarahi kembali peristiwa yang telah lampau. Tersebutlah di tanggal 23 Oktober 2010, Gunung Merapi telah menumpahkan lavanya. Ada cerita berbeda saat gunung tersebut meletus dibanding dengan letusan sebelumnya. Di letusan kali ini, sang juru kunci wafat.
Sebelum Gunung Merapi meletus, tepatnya pada pagi hari di tanggal 27 Mei 2006, terjadi gempa bumi dalam waktu 52 detik yang meruntuhkan 300.000 rumah, mematikan 6.000 orang. Mengapa Elizabeth mengkaitkan antara lindu-letusan?, ia menyebutnya di halaman awal buku ini sebagai percakapan purbakala yang terlupakan : ngalor-ngidul.
Babad, meski susah dipercaya, ia memberi kita ujaran, pelajaran, hikmah. Begitu pula apa yang ditulis oleh Inandiak ini yang ia sebut sebagai Babad Ngalor-Ngidul. Apakah tokoh-tokohnya nyata bukanlah sesuatu yang penting, apalagi ketika kita bertanya tentang apakah kisah ini nyata atau tidak. Tetapi orang bisa membaca, mempelajari, serta mendengarkan apa yang telah lampau, yang telah lewat. Disanalah konon, pelajaran serta ujaran akan didapat.
Melalui dua bencana gempa dan letusan, Inandiak pengarang Centhini menuturkan babadnya kepada kita. Ada banyak petuah, pitutur di dalamnya ketika kita membaca buku ini. Penulis, tak sekadar ingin mengisahkan kepada kita tentang Merapi, tetapi juga orang-orangnya, wataknya, serta keserasian kehidupan di sekitarnya terutama dusun Bebekan dan Kinahrejo.
Dua desa itu, hidup rukun, asri, serta menjaga alamnya. Si juru kunci, demikian pula. Ia kerap membersihkan rumah serta halamannya. Inandiak menjadikan cerita tentang Merapi menjadi semakin menarik. Ia tuturkan tentang bagaimana kepercayaan orang-orang Merapi terhadap gunung . Dari orang-orang serta tokoh seperti juru sajen, juru kuda, dibukalah cerita misteri yang menutupi kisah di balik meletusnya merapi.
Ada suara-suara, bisikan-bisikan, suasana berbeda ketika kita melewati Gapura Gunung Merapi sebelum meletus. Bagi para pendaki, tentu hal ini sudah sering mereka rasakan. Dikisahkan buku ini, meski di Gunung Merapi memiliki banyak pohon, tetapi belum menjadikan Kinahrejo serta Bebekan sebagai daerah cukup air. Kemunculan pohon beringin yang misterius, tanpa ada yang menanam, kemudian bertambah banyak membuat cerita ini seperti bercampur antara yang nyata dengan yang magis.
Ada peritstiwa yang memiliki pesan kuat di buku ini. Sebut saja di bab Bendungan Kesombongan, kita menyimak bagaimana upaya pemerintah setelah letusan terjadi, masyarakat kemudian diminta untuk membangun bendungan. Konon, bendungan itu dibangun untuk membendung wedhus gembel (awan panas). Simbah mengatakan biarkan alam melakukan darmanya, manusia jangan coba menahan apa-apa. Tapi apa artinya kata seorang petani tua yang tangannya rapuh karena radang tulang melawan raksasa-raksasa beton bertulang besi?. Siapa menyangka suatu hari kelak bendungan-bendungan itu akhirnya berhasil menjadikannya sekaku dan sesombong mereka?. Lalu membawanya ke dalam keambrukan mereka.
Pada bab Perang Pasir kita temukan ada pitutur tentang cara kita memperlakukan alam. Pasir, tak bisa terus diburu dan digali demi hasrat para penambang dan manusia rakus. Inilah petilan dari pitutur itu “Kata Simbah, deru amukan itu bukan angin dari luar. Itu darah gunung yang sedang runtuh dari dalam. Tapi telinga para pedagang pasir termakan oleh ingar-bingar niaga gelapnya yang makin lama makin meluas. Akibat gugurnya dinding kubah, demam pasir yang selama ini bersifat pertukangan meningkat ke Industri”.
Merapi adalah simbol kekayaan dan kelimpahruahan alam serta keselarasannya. Ada perasaan kehilangan saat segala harmonisasi, segala keselarasan telah berubah, telah dirusak. Sebagaimana pitutur simbah si Juru Kunci yang dulu mengatakan bahwa “disini tidak ada yang dijual”. Kini, segalanya dijual. Dengan menjual dirinya, Simbah telah membuka jalan, kemudian beriringan dengan ledakan semua bendungan, hancur pula semua larangan. Semacam mesin penggilas raksasa sudah menginjak lereng selatan Merapi dan meratakan segalanya. Inilah potret kesedihan dan kehilangan itu : “sekarang gapura Gunung Merapi memang masih ada, naga dan macan bahkan telah dicat ulang untuk menyemarakkan lingkungan serba abu-abu itu. Tapi hilanglah perasaan akan masuknya ke dunia yang berbeda, kecuali ke dunia bencana. Lenyap pula perbatasan antara kota dan gunung, antara hulu dan hilir. Dan pasar besar itu mulai disusupi buaya pasar. Sebab biro-biro perjalanan sudah menawarkan tur “Awan Panas Wedhus Gembel” atau “Napak Tilas Juru Kunci Merapi”.
Ada pitutur kuat di buku ini tentang cara manusia memperlakukan alam. Alam mau tak mau mesti diperlakukan dengan baik, bila manusia mencoba untuk merusaknya, maka alam pun memberikan ganjarannya.
*) Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Guru MIM PK Kartasura
Belum ada tanggapan.