tokoh-muhammadiyah

Profetiksitas dan Problema Teoritik Kemanusiaan

Misi kemanusiaan tidak akan berjalan maksimal tanpa ada panggilan kemanusiaan yang kuat dari dalam. Panggilan kemanusiaan itu sendiri seringkali banyak dipengaruhi oleh cara pandang dan nilai-nilai yang dipegang oleh manusia. cara pandang menentukan siapa yang harus ia bela, siapa yang harus dilawan, dan apa yang harus dilakukan. Hal ini sangat menentukan dalam pemahaman konflik dan kemampuan penyelesaiannya, tidak terkecuali dalam perkembangan agama.

Agama timbul dari faktor persoalan kemanusiaan. Sebut saja Islam, agama yang dibawa oleh Muhammad SAW tidak terlepas dari buah hasil perenungan nabi atas kondisi sosial yang buruk (jahiliah). Dalam literatur sejarah kelahiran Islam, banyak kita temukan persoalan dan konflik kemanusiaan seperti perbudakan, diskriminasi terhadap perempuan, perang antar suku, dan kekerasan yang menjadi penyakit sosial bangsa Arab pada saat itu. Persoalan tersebut membawa Muhammad pada permenungan mendalam atas akar penyebab kejahiliahan masyarakatnya. Ia sangat beruntung karena masa kecilnya dihabiskan di Desa Abwa’ diasuh oleh Halimatus Sa’diyah. Hal ini membuat ia terhindar dari pengaruh negatif  kebiasaan buruk masyarakat Arab kota Mekah yang membentuk jiwanya.

Kegelisahan atas kondisi masyarakatnya membawa Muhammad ke Gua Hira’ yang terletak di Jabal Nur. Ia melakukan permenungan dan sekaligus memohon petunjuk kepada Tuhan. Penyepian diri ini tidak membawa Muhammad kepada penyatuan diri kepada Tuhan sebagaimana yang dilakukan gerakan sufistik yang mengejar kenikmatan bertemu Tuhan sebagai pencapaian kehidupannya. Bahkan Muhammad pun setelah mampu bertemu Tuhan di Sidratul Muntaha saat peristiwa Isra’ Mi’raj, ia memilih turun ke bumi untuk menyelamatkan manusia dari kenestapaan. Panggilan kemanusiaan Muhammad lebih kuat daripada panggilan untuk kenikmatan surgawi. Hal inilah yang membedakan Muhammad dengan para sufi. Misi sejarah kemanusiaan ini yang menjadikan ia seorang nabi dan utusan.

Gerakan kemanusiaan yang diemban oleh Muhammad dalam misi kenabianya pertama diawali dengan meruntuhkan keyakinan lama. Hal ini dilihat karena kepercayaan lama itulah yang menjadi tumpuan atas sahnya kekerasan sosial yang terjadi. Ia menyebarkan paham tauhid dan keesaan tuhan sebagai landasan dasar atas struktur sosial yang hendak ia bangun. Ia mulai membersihkan berhala-berhala yang disembah oleh masyarakat arab. Gerakan ini mendapat pertentangan yang hebat maupun simpatisan yang setia. Satu per satu dimulai dari keluarga dan tetangganya mulai mengikuti ajaran Muhammad. Ia banyak mendapat pengikut dari golongan yang tertindas maupun kalangan mapan yang sudah meragukan eksistensi adat jahiliah masyarakat arab yang berlaku. Melalui dasar tauhid, Muhammad mengubah kultur kebiasaan masyarakat arab dengan membebaskan perbudakan, mengangkat derajat perempuan, membangun persaudaraan, menata keadilan ekonomi dan pengaturan sosial, dan mengatasi perang saudara yang disebabkan oleh pembelaan terhadap berhalanya masing-masing suku. setelah melewati perjuangan yang pahit, akhirnya ia mampu membangun fondasi masyarakat baru yang bernafaskan rahmatan lil alamin. Islam yang ia bawa membawa pengaruh besar terhadap kemajuan kemanusiaan.

Gerakan kebaikan tidak hanya membawa maslahat, namun seringkali disana terdapat pembonceng-pembonceng. Para pembonceng inilah yang seringkali mewakili dekadensi terhadap kebaikan yang sedang tumbuh dan menyempurnakan diri. Dekadensi ini timbul sepeninggalan Nabi khususnya saat Islam mengambil bentuk sistem monarki dalam menyusun pengaturan sosialnya. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi tidak lagi mewakili semangat kemanusiaan namun lebih pada semangat ekspansi kerajaan dan pelanggengan kekuasaan (status quo) hal ini terlihat pada gaya hidup mewah, konflik dinasti, pembunuhan ulama’, serta peperangan perluasan wilayah. Tentu tidak semua raja dalam dinasti kekhilafahan adalah buruk, ada periodik tertentu yang membawa kemajuan. Namun secara umum, pada bentuk kerajaan panggilan kekuasaan lebih kuat daripada panggilan kemanusiaan yang emansipatoris. Misi kejayaan imperium lebih dominan dibanding misi kenabian. Pada periodik inilah, pengaruh Islam masuk ke nusantara.

Islam dan Perjalanan Misi Kemanusiaan di Nusantara

            Islam membawa pengaruh cukup signifikant dalam revolusi agama nusantara. Anthony Reid menyebutkan dalam bukunya Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 BAB I (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta : 2014) menyatakan terdapat faktor-faktor tertentu yang menarik masyarakat nusantara untuk memeluk Islam. Daya tarik tersebut diantaranya ialah : Tuhan yang bisa “dibawa-bawa”, keberhasilan militer, terkait dengan kekayaan, mampu menyembuhkan penyakit, dan moral universal yang dapat diramalkan. Pengaruh Islam banyak dikarenakan fleksibilitas agama ini terhadap dunia perdagangan sebagaimana yang tampak pada tanggapan bahwa Tuhan islam bisa dibawa-bawa, tidak seperti Tuhan kepercayaan mereka dahulu yang menetap di kampung halaman sehingga tidak memungkinkan mereka berpergian jauh dalam waktu lama. Prinsip moralitas yang dibangun juga bersifat universal dan dapat diramalkan dengan konsep surga bagi yang berbuat baik dan neraka bagi mereka yang berbuat buruk sehingga masyarakat merasa lebih pasti dibanding dengan roh-roh halus yang seringkali merusak tidak jelas. Islam juga dikaitkan dengan kekayaan karena kemajuan perdagangan para saudagar timur tengah, masyarakat nusantara menganggap keberhasilan itu karena Tuhan memberkati mereka. Selain faktor perdagangan, penerimaan agama ini juga berkaitan dengan kekuatan militer yang dimiliki kekhalifahan timur tengah, dan kemajuan medis yang telah Islam miliki mampu mempengaruhi raja-raja di nusantara memeluk Islam atas keberhasilan ulama menyembuhkan penyakitnya.

            Perkembangan Islam masuk alam kerajaan nusantara ditandai dengan berdirinya kerajaan Islam. Namun setelah dihantam oleh penjajahan, corak Islam yang sebelumnya masih bersifat ekspansionis ala kerajaan berangsur memiliki sifat kerakyatan. Perluasan Islam itu sendiri mempengaruhi kerajaan yang kemudian diikuti oleh rakyatnya menempatkan keterbelahan antara ulama kerajaan dan ulama rakyat. Hal ini dapat dilihat dari keterbelahan tokoh-tokoh penggerak Islam antara yang mewakili kerajaan dan mewakili rakyat bawah sebagaimana pemberontakan-pemberontakan yang terjadi dipimpin oleh Haji lokal masyarakat setempat. Sebut saja pemberontakan petani di banten 1888, kita dapat menemukan Haji-Haji lokal memimpin perlawanan terhadap penjajahan dan bangsawan akibat penindasan yang mereka lakukan (Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Komunitas Bambu : 2016). Perlawanan ini juga dimotivasi dengan dalil-dalil agama dan mahdiisme sebagai landasan theologis melawan penjajah. Semangat ini menunjukan sisi kemanusiaan emansipatoris.

            Peralihan Islam dari titik feodalisme menuju semangat kemanusiaan emansipatoris menemukan titik didihhnya pada zaman pergerakan. Hal ini dapat dilihat dari pergerakan nasional Sarekat Islam (SI) yang sedang mencari bentuk kemerdekaannya. Gerakan ini mencapai puncak pengaruhnya di bawah pimpinan H.O.S Tjokroaminoto, seorang tokoh pergerakan Islam yang sangat fenomenal. Ia adalah guru dari tiga tokoh pergerakan nasional yakni Soekarno, Kartosoewiryo, dan Muso. Pemimpin SI ini dalam propagandanya menentang kapitalisme dan penjajahan sebagai bentuk penindasan yang tidak sesuai dengan semangat Islam. Ia terpengaruh dengan pembacaan sosialisme sebagai bentuk masyarakat yang sesuai dengan semangat Islam yang menjunjung persaudaraan, keadilan, dan persamaan. Ia menjelaskan hal tersebut dalam bukunya yang berjudul Sosialisme Islam. Namun ia juga memberikan perbedaan prinsip sosialisme Islam dengan sosialisme barat yang materialistik. Oleh masyarakatnya, ia dianggap ratu adil membawa misi mesianistik membebaskan rakyat dari kesengsaraannya.

Islam Mencari Bentuk Humanitas

            Semakin besarnya gerakan SI sayangnya tidak membuahkan transformasi sosial yang dikehendakinya. Setelah dihantam oleh gerakan SI semarang yang beraliran kiri, SI-Tjokro mendapat tandingan cukup kuat terutama dalam bersaing untuk siapakah yang lebih mewakili misi emansipatoris kemanusiaan. Konsep sosialisme Islam dan gerakan yang dibangun dianggap kurang tegas berpihak dan memperjuangkan masa rakyat. SI-Tjokro mulai mempertanyakan kembali identitas dirinya sebagai organisasi keagamaan dan massa. Pada satu sisi mereka sepaham dengan analisa marxisme tentang penjajahan dan keadilan, namun menolak prinsip materialisme historis, teori kelas, dan struktur sosial yang ditawarkan tidak berdasarkan sumber agama. Dilema terus terjadi sedangkan tuntutan massa rakyat semakin pasti. Hal ini membuat SI melakukan penegasan diri sebagai organisasi keagamaan yang  kemudian sangat berpengaruh pada perkembangan bentuk respon dan pengaruh Islam terhadap isu-isu kemanusiaan saat ini.

            Jika kita lihat, gerakan Islam telah meninggalkan lapangan politik dalam memperjuangkan konstituen kaum yang lemah. Gerakan politik cenderung hanya bergerak untuk mendirikan imperium keagamaan dibanding menekankan pada persoalan yang Dho’f. Gerakan Islam mewujud dalam bentuk filantropis-charity (gerakan amal), tanggap bencana, dan pemberdayaan dalam bidang pendidikan, keagamaan, dan kesehatan. Hal ini berbeda dangan varian gerakan lain dengan konstituen Marhaen, Proletar, maupun Murba yang menjadi konstituen orang lemah yang ia bela. Konsepsi orang lemah dalam Islam belum memiliki teoritik sosial yang kuat hanya disebutkan 8 golongan penerima zakat namun belum menyentuh persoalan kritis dan sebab-sebab hubungan sosial yang mendasari kelemahan orang tersebut.

            Munculnya humanisme sekuler pada abad modern dan kemenangan sistem demokrasi liberal membawa tantangan hebat bagi Islam soal isu-isu kemanusiaan. Ia harus bersaing keras dengan kemajuan barat dengan humanisme liberal yang memberikan banyak solusi dan kemajuan bagi kemanusiaan baik dalam bidang teknologi, ilmu pengetahuan, dan teori sosial. Humanisme liberal telah sedemikian jauh merasuk dalam kehidupan dan menawarkan berbagai kemajuan untuk manusia di berbagai bidang membuat orang lebih pasti akan masa depan ini. belakangan ini, muncul konsep humanisme theosentris sebagai kritik atas humanisme barat yang cenderung materialistik. Humanisme theosentris dikupas oleh Kuntowijoyo (Paradigma Islam : Intepretasi untuk Aksi : 2008) sebagai humanisme yang berpusat pada Tuhan bukan manusia (anthroposentris). Namun keterpusatan kepada Tuhan bukan kemudian menjadi theologis-sufistik yang hanya mengacu pada sisi spiritual, tapi sebagai sumber nilai yang mengangkat derajat manusia itu sendiri. Tuhan hadir untuk memberikan arahan atas problematika manusia.

Melalui konsep ini, Kuntowijoyo mengkritik kekurangan humanisme antrophosentris yang melahirkan keterasingan, ketidakadilan, dan eksploitasi alam karena orientasi kebudayaan yang materialistik. Ia menyebut mustad’afin sebagai orang lemah yang harus dibela akibat dari kecenderungan budaya yang materialistik. Baginya mustad’afin bukan seperti teori kelas yang hanya berdasarkan pada analisa ekonomi kelas, namun lebih luas mencangkup masyarakat minoritas dan terpinggirkan secara identitas maupun politik. Disisi lain, muncul varian pandangan kemanusiaan yakni toleransi dan pluralisme yang diusung oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang membuka jalan untuk perdamaian antar umat beragama. Gerakan ini mempunyai pengaruh besar dalam menciptakan perdamaian dan pembelaan hak minoritas kaum agama. Bahkan wacana teloransi dapat melakukan otokritik terhadap internal Islam atas perilaku diskriminatif dan kekerasan terhadap kelompok agama yang lain. Namun apakah isu-isu kemanusiaan telah selesai?

Profetiksitas dan Tantangan Kemanusiaan

            Konflik sosial terus kita temui meski telah banyak gencar gerakan toleransi. Hal ini bisa kita lihat dari konflik yang timbul karena kecemburuan ekonomi yang berimbas ke persoalan identitas entah suku, agama, dan etnis bangsa. Bahkan di internal Islam, sesama saudara tidak jarang kita menemukan kekerasan yang juga menelan korban akibat persoalan ekonomi. Toleransi menawarkan perdamaian namun bagaimana mampu berdamai jika masih terdapat kesenjangan ekonomi? Tentu kita tidak akan bisa berdamai dengan orang yang mengeksploitasi kita sebagaimana kita akan memerangi penjajahan. Ilmu sosial profetik menawarkan pembebasan (liberasi) namun belum menjabarkan secara kritis inti penyebab penindasan sebagaimana Marx pernah mengupas penindasan buruh dalam Das Kapitalnya melalui teori nilai lebih maupun analisa kritis Erich From yang menguak soal keterasingan manusia dalam budaya kapitalisme. Apakah kita hanya menempelkan islam saja ke wacana sosial barat sebagaimana yang terjadi dalam islamisasi ilmu? Belum lagi berbicara soal program aksi kemanusiaannya yang bagaimana dengan melalui suprastruktur mengatasi kebobrokan basic-strucktur? Apakah melalui sistem demokrasi produk humanis liberal barat sebagai jalan perjuangan atau hanya perlawanan moral lewat dakwah lisan semata? Jika kita tidak merumuskan makna “kemungkaran” (dalam dimensi sosial) secara mendetail maka kita akan mengulangi kembali nasib sosialisme Islam Tjokroaminoto yang mengalami kemunduran.

Pertanyaan tersebut penting untuk mengukur sejauh mana pengaruh agama terhadap isu-isu kemanusiaan. Pengaruh islam mengalami perubahan dari profetik-emansipatoris menjadi sufistik dan pemeliharaan syariah. Saat ini Islam masih bergerak dalam bidang pemberdayaan ekonomi, pendidikan, gerakan amal, dan dakwah moral dan syari’ah. Pendidikan dan dakwah banyak berorentasi pada pengajaran dalam bidang profesi keahlian tertentu dan pembentukan pribadi yang religius. Pribadi religius yang sering diartikan dengan ketaatan terhadap perintah agama seringkali berorentansi pada pengendalian diri belum menciptakan teori sosial yang membahas manusia sebagai makhluk sosial dengan segala persoalan masyarakat. Manusia saleh masih diartikan dalam gambaran sufistik bukan kenabian yang aktif terlibat dalam soal kemanusiaan. Pada satu sisi, gerakan filantropis dan amal belum mampu mengatasi kesenjangan jurang kaya dan miskin yang semakin lebar karena inti persoalan yang memproduksi kemiskinan struktural tidak dihantam.

Persoalan ekonomi adalah penting karena menentukan persoalan sosial-politik. Konflik kemanusiaan dalam peperangan, diskriminasi dan kekerasan sangat banyak dipengaruhi dan  disebabkan motivasi ekonomi. Nabi mengatakan bahwa dunia adalah pangkal segala kesalahan. Hal ini dapat dipahami bahwa segala kesalahan dan konflik yang terjadi pada tataran politik, identitas, budaya, dan agama berpangkal dari persoalan duniawi yakni watak materialistik. Gerakan anti konsumtifisme menjadi hal yang perlu dalam proses humanisasi sebagai semangat meninggalkan duniawi namun tidak terjebak dalam kenikmatan ubudiyah semata namun harus aktif merespon dan memperjuangkan misi kemanusiaan sebagaimana nabi mengganjal perutnya dengan batu untuk menahan lapar dalam mengemban tugas kenabiannya.

            Kita perlu mengembalikan mentalitas profetik (kenabian) aktif emansipatoris pada Islam, beralih dari hanya sekedar moral sufistik dan syariah (mentalitas umat) saja. Kita mengembalikan peran Islam sebagaimana di awal kelahirannya untuk merespon struktur masyarakat yang rusak. Proses humanisasi jangan hanya pada pembentukan pribadi yang saleh namun juga harus mampu berijtihad mencari solusi kemanusiaan serta berjuang mengemban misi kenabian untuk membebaskan manusia atas persoalannya. Kita harus mampu meniru nabi yang meski telah mencapai kenikmatan surgawi (ubudiyah) namun lebih memilih menderita turun ke bumi demi membebaskan penderitaan manusia.

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan