Di tengah hamparan tembakau yang menghijau, gagahnya Raung dan lengkungan Hyang Argopuro, aku duduk termenung menatap bongkahan besi tua yang dimakan karat. Batang-batang besi ini dulunya saling menyambung dan berderit ketika kereta menelusuri jembatan di atas bukit, terbebani para perantau yang hendak pulang ke rumah. Namun kini, bekas batangan itu menyisakan jalan setapak yang sebagian besar ditumbuhi ilalang setinggi orang dewasa, sedangkan sebagian batang besi lainnya hilang dicuri orang.
Aku tidak tahu, apakah penutupan jalur Kalisat-Panarukan benar-benar disebabkan sepinya penumpang, atau terdapat musabab yang lain. Yang sanggup kupastikan adalah rasa kecewa yang makin hari makin menggumpal. Saban hari, aku selalu menatap getir kereta-kereta yang melambat, seakan-akan lengkingan peluit kereta yang berbunyi adalah kabar Rukmini pulang ke kampung halaman dari seberang. Di atas peron ini, aku kerap membayangkan Rukmini duduk di tepi jendela. Melambai-lambaikan tangannya padaku seperti kepergiannya lampau itu.
Aku tahu, kepergian memang menyakitkan. Apa pun wujudnya. Namun aku sadar, ternyata ada yang lebih menyayat hati daripada kepergian, yakni, menghilang tanpa kabar. Meski tak pantas menyebut anak sendiri menghilang, nyatanya, Rukmini tak kunjung datang padahal dua puluh musim tembakau ia meninggalkan kampung halaman. Aku hafal betul, pada suatu petang, Rukmini memohon-mohon padaku agar melepasnya ke pulau seberang.
“Tidakkah kau tahu, kalau mati di kampung halaman lebih berharga daripada berjaya di tanah orang?” kataku dengan menahan airmata yang hendak jatuh satu-satu.
“Kau ini anak perempuan, Ruk. Tempat pulang orang tua. Apalagi aku hanya punya anak satu.”
Rukmini tak menggubris ucapanku. Bahkan ia menciumi kaki sampai-sampai aku memintanya duduk kembali.
“Embu’ tak usah khawatir. Aku bukan Malin Kundang yang sekali pulang bersikap durhaka terhadap ibunya. Aku sekadar mencari rezeki barangkali bisa mengubah nasib sendiri.”
Memang ia telah mengubah nasibnya sampai-sampai aku tak tahu kabarnya. Hanya sekali, ketika Jumari pulang –tetangga sebelah rumah yang merantau ke seberang– memberi kabar. Katanya, Rukmini jadi istri seorang pejabat. Aku bahagia. Betul-betul meneteskan airmata. Kendati aku tak tahu bagaimana bisa ia menjadi istri pejabat, dan apa saja yang diperbuat di sana, aku sangat bersyukur. Setidaknya aku memperoleh kabar meski keluar dari mulut orang lain.
Kau tahu, perihal Rukmini menjadi istri pejabat menyebar cepat. Ah, mulut orang-orang, nyatanya mirip kilat petir yang menyambar pepohonan. Aku tak menyalahkan Jumari yang menceritakan soal Rukmini. Aku hanya menyesalkan, mengapa kabar bahagia itu disusul ucapan tak mengenakkan hati. Ada yang berkata, kalau Rukmini menggunakan aji-aji. Ada pula yang menyampaikan kalau Rukmini menjual harga diri. Bahkan tak sedikit orang menantang, ingatkah Rukmini jalan pulang ke orang tua?
Duh, Ruk. Andai aku tahu kabarmu, tentu aku tak sesedih sekarang ini.
Dua puluh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Segala ingatan akan merekam apa-apa yang tersaji di waktu lampau. Andai aku sanggup mengubah takdir yang tertulis di langit, aku ingin waktu melambat. Membiarkan Rukmini tetap kanak-kanak dan aku merawatnya di tengah kepungan melarat. Biar makan hanya sebatas ubi dan talas, asal bersama, itu adalah kebahagiaan tak terbatas.
Dulu, sewaktu suamiku masih ada dan Rukmini masih balita, ia kerap berucap agar aku tak mengekang anak. Katanya, jangan meniru orang zaman dulu yang menganggap anak perempuan hanya berkutat di dapur, sumur dan tempat tidur. Kata Sanusi pula, zaman akan terus berkembang tanpa persetujuan umat manusia. Aku menggenggam ucapannya layaknya memegang janjinya sewaktu akad. Aku rawat Rukmini dengan kasih melebihi petani. Petani, di mana pun tempatnya, pasti menanam dan merawat tanamannya layaknya anak sendiri.
Aku tak tahu, apakah cara merawatku yang salah atau memang zaman yang makin tak terkendali. Membiarkan Rukmini sekolah sampai tamat es-em-a bukan perkara mudah. Membiarkan Rukmini berkawan dengan banyak perubahan bukan perkara gampang. Terlebih membiarkannya pergi ke seberang dengan dalih peluang di sana lebih menjanjikan, aku mengelus dada ribuan kali.
Andai Sanusi masih hidup. Aku yakin ia akan merenungkan kembali kata-katanya itu. Seandainya suamiku masih ada, barangkali ia membiarkan Rukmini jadi perempuan di tiga tempat itu saja, daripada melepas anak yang ujung-ujungnya tak berkabar dua puluh tahun lamanya.
Padahal aku selalu menggengam erat pepatah nenek moyang, kalau tadek aing agili ka oloh. Tak ada air yang mengalir ke hulu. Tak ada seorang ibu yang ingin menopang hidup pada anak cucu. Aku masih sanggup mencari nafkah sendiri. Hanya saja, aku ingin melihatnya di sini.
Biarlah. Biarlah. Kalau ada yang disalahkan, cukup aku saja. Bukankah terlahir sebagai perempuan akan selalu salah di mata orang? Lagi pula, keadaan tidak banyak berubah. Benar kereta tak seperti zaman dulu, di mana pedagang asongan bebas keluar-masuk kereta. Benar petugas stasiun membiarkanku memasuki peron tanpa memeriksa tiket penumpang. Nyatanya, keadaan tetaplah sama. Aku menunggu kabar pembukaan jalur Kalisat-Penarukan tanpa kejelasan.
“Ada hal-hal yang harus dipertimbangkan dan itu masih dikaji sampai sekarang.”
Aku tak paham apa yang mereka kaji. Bertahun-tahun alasannya tak pernah berkembang. Kata Kepala Stasiun itu, pembukaan jalur lama bukan perkara mudah. Lantas, adakah yang lebih mudah dari apa yang aku hadapi?
“Tentu saja saya tak melarang Simbah datang ke sini tiap hari. Hanya saja, kalau boleh beri saran, baiknya Simbah tunggu di rumah. Apabila nanti terdapat kepastian, saya yang mendatangi rumah Simbah.”
Aku mengangguk terima kasih. Mungkin, jauh dalam tatapan matanya yang dalam, Kepala Stasiun ini merasa kasihan. Atau mungkin merasa bosan menerima tamu yang saban hari menanyakan hal yang sama; menanyakan kapan jalur Kalisat-Panarukan dibuka. Aku tak bisa memastikan. Yang bisa aku pastikan adalah aku tak lagi ingin mendatangi ruangan kepala itu. Aku hanya ingin duduk termenung di atas peron. Mengamati lalu-lalang kereta yang menurunkan orang-orang. Barangkali ada Rukmini di antara mereka. Barangkali ia pulang dari arah Banyuwangi atau Surabaya.
Ah, tidak mungkin. Panarukan bukan dari arah keduanya. Bekas jalur kereta Panarukan mengarah ke utara. Ke arah Bondowoso lalu ke Situbondo. Mana mungkin Rukmini datang dari arah timur atau barat. Kendati transportasi telah berkembang, dan ia naik pesawat ke Surabaya, lalu naik kereta turun di Kalisat, aku yakin itu tak bakal terjadi. Sebab Rukmini telah berjanji akan pulang ke rumah dari arah ia pergi. Ia berjanji akan datang dengan menaiki kereta yang sama dan aku disuruhnya menunggu di Stasiun Kalisat ini. Dan itu dari arah Panarukan. Dari arah utara.
Itulah musababnya mengapa selama dua puluh tahun, aku selalu mendatangi stasiun ini. Tiap hari aku selalu duduk di atas peron, menunggu Rukmini yang telah berjanji akan pulang ke rumah dari arah Panarukan, padahal jalur itu telah ditutup enam belas tahun silam. Sebentar. Sebentar. Aku baru sadar mengapa Rukmini tak pulang-pulang. Aku baru tahu penyebabnya.
“Pak! Pak!” teriakku ke arah Kepala Stasiun yang hendak pulang. Entah mendengar atau memang sengaja tak mau mendengar, lelaki itu terus melangkah. Aku kian cepat melebarkan langkah.
“Pak! Pak!” kataku kembali. Kepala Stasiun itu akhirnya menoleh dengan tatapan runyam.
“Sekarang saya tahu mengapa Rukmini menetap di seberang,” napasku tersengal-sengal. “Bukankah jalur Kalisat-Panarukan telah lama ditutup? Bukankah tak lagi ada kereta yang melintasi jalur itu? Ia tak punya jalan pulang, Pak. Ia sudah berjanji akan pulang dari arah ia pergi. Tolong kembalikan jalur itu. Tolonglah, Pak. Hanya itu satu-satunya cara agar Rukmini bisa pulang.”
Kepala Stasiun itu tersenyum getir. Lalu memapahku ke arah mobil yang ia setir sendiri.
Belum ada tanggapan.