Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Sejarah adalah sesuatu yang dialektis. Artinya ia penuh dengan dinamika dan pertentangan yang tak usai sebagaimana jaman yang dialektis pula. Orang sering mengatakan bahwa sejarah adalah milik orang berkuasa. Maka penguasa bisa membuat dan menulis sejarah sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Meski demikian, kebenaran sejarah akan membuktikan kepada kita , bahwa kebenaran sejarah mau tak mau akan terungkap meski ditutup-tutupi. Akan ada suara yang tak bisa dibungkam, tak bisa dihentikan, suara-suara itulah yang akan membuka kembali sejarah yang ditutupi dan di manipulasi itu.
Begitupun dengan “luka-sejarah” yang ada di negeri kita. Kita tentu ingat bagaimana peristiwa G 30S adalah peristiwa yang identik dengan luka. Perasaan luka itu tak hanya datang dari para korban 65, tetapi juga korban konflik dan perseteruan antara pemerintah pada saat itu dengan PKI, antara kaum Islam dengan PKI. Akibat dari G 30S itu, banyak orangtua kita dulu, dan juga para korban baik dari kaum Islam dan orang-orang PKI menjadi korban peristiwa ini. G 30S adalah peristiwa sejarah negeri ini yang sampai saat ini belum juga bisa dijelaskan mengenai siapa sebenarnya dalang atau aktor di balik peristiwa ini. G 30S juga ikut menjelaskan bagaimana sebenarnya konspirasi dan pergantian rezim terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Wertheim menyebut peristiwa G 30S sebagai “kudeta-merangkak” yang dilakukan oleh Soeharto. Dalam waktu yang singkat itu pula, melalui cara-cara dan kampanye anti-komunisme, Soeharto menggunakan “pancasila” untuk memberangus komunisme dan kaum kiri. Pancasila digunakan senjata dan ideologisasi pemerintah dan Negara untuk menyingkirkan dan melegitimasi pembantaian massal. Maka tak lama setelah itu, Soeharto muncul sebagai pahlawan dan juga sosok yang menyelamatkan Negara dalam kondisi genting. Maka dengan senjata supersemar yang tak jelas asli tidaknya, Soeharto melenggang ke tampuk kekuasaan dan mulai menegakkan rezimnya. Meski demikian, naiknya Soeharto juga didukung oleh bagaimana para aktifis kebudayaan ikut mendukung dan melegitimasi kekuasaannya. Melalui buku-buku sejarah terbitan pemerintah, sastra dan film, Soeharto mencoba membuat kisahnya sendiri mengenai peristiwa G 30S yang mencoba menegakkan ideologi “anti-komunis”.
Melalui ideologi pancasila itulah, Soeharto mencoba memberangus yang berbau marxisme-leninisme. Meski demikian, Soeharto tak mencoba memberangus PSI dan antek-anteknya. Hal ini dikarenakan, pada waktu majunya Soeharto, orang-orang sosialis ikut serta berkontribusi terhadap penurunan Soekarno waktu berkoalisi dengan golongan Islam. Setelah Soeharto memegang tampuk kekuasaannya, ia mencoba memberikan wacana, provokasi, dan stereotip bahwa kiri adalah setan. Padahal, sebagaimana sejarawan Perancis Jacques Lecrerc menuliskan : “kiri” dalam perbendaharaan kata politik internasional, agaknya merupakan konsekuensi dari Revolusi Perancis, kata “kiri” menunjuk pada ide-ide wakil rakyat yang duduk sisi sebelah kiri ketua di ruang Parlemen Perancis (Lecrerc, 2011:23). Pengertian kiri yang identik dengan rakyat diubah seketika oleh Soeharto menjadi sesuatu yang layak diberangus dan dihancurkan. Melalui pembangunan museum, koran-koran, hingga buku-buku sejarah Indonesia, serta sastra dan film, Soeharto menyebarkan paham anti-kiri dan anti-komunisme. Kini “kiri” kemudian identik dengan yang biadab, jahat, bengis, dan tidak berperikemanusiaan.
Buku berjudul Kekerasan Budaya Pasca 1965 yang ditulis oleh Wijaya Herlambang di tahun 2014 adalah karya akademik yang mencoba mengungkap bagaimana kekerasan budaya yang dilakukan oleh Rezim Orde Baru bisa langgeng hingga kini. Herlambang mencoba mengurai bagaimana kekerasan yang bersifat langsung, didorong oleh kekerasan yang bersifat struktural melalui alat dan kekuasaan Negara digerakkan untuk menyebarkan ideologi anti-komunis, anti-kiri. Komunis atau kiri, dianggap sebagai iblis dan setan, mereka direproduksi dalam film, cerita pendek, hingga novel. Para budayawan dan sastrawan melalui dokumen bernama “manifesto kebudayaan” mencoba untuk merumuskan apa yang menjadi cita-cita mereka yakni humanisme-universal.
Herlambang menunjukkan bahwa setelah runtuhnya Rezim Soekarno, pelan-pelan para aktifis kebudayaan melakukan kerjasama untuk bersama-sama membangun ideologi anti-komunisme. Misalnya, melalui sejarawan Nugroho Notosutanto, Soeharto mencoba menyusun sejarah versi pemerintah atas apa yang terjadi pada peristiwa 65. Tidak cukup lama, dalam waktu sebulan saja, buku sejarah yang merupakan narasi 65 sudah disusun. Kemudian sebulan selanjutnya munculah buku 40 Hari Kegagalan “G30S”1 Oktober-10 November yang dijadikan buku resmi sejarah tentang G 30S dari pemerintah karya Nugroho Notosutanto. Pada tahun 1966-1970-an, para sastrawan dan aktifis manikebu yang digawangi oleh H.B.Jassin ikut mengkampanyekan anti-komunis dengan menerbitkan sepuluh cerpen yang menunjukkan penyudutan PKI dan juga meneguhkan gagasan dari pemerintah bahwa PKI adalah setan yang harus dihancurkan. Tidak hanya melalui cerpen-cerpen, Soeharto melalui tangan Negara, membuat film dan propaganda dengan menerbitkan film pengkhianatan G 30S/PKI, Serangan Fajar, Janur Kuning, dan Enam Jam di Yogyakarta. Dalam film itu, Soeharto berupaya mencitrakan dirinya sebagai pahlawan dan korban, serta menyudutkan PKI sebagai pemberontak dan pengkhianat. Dalam film pengkhianatan G 30S PKI yang disutradari oleh Arifin.C.Noer, ia berkampanye dan menyebarkan propaganda serta pemutaran film ini dari tahun 1966- 1997. Masih kuat bagaimana dalam ingatan kita tentunya ilustrasi gerwani dan PKI yang dengan kejam menyiksa dan menyileti para jenderal. Tidak hanya itu, melalui lembaga donor dan filantropi internasional, para aktifis manikebu dan lembaga sastranya mendapatkan kucuran dana yang luar biasa karena mendukung apa yang disebut sebagai ideologi “liberal”. Herlambang mengurai bagaimana relasi antara Goenawan Mohammad pada generasi setelah Jassin, masih mencoba mengupayakan dan meneguhkan cita-cita kebebasan. Melalui KUK (Komunitas Utan Kayu) dan juga lembaga kebudayaan lainnya, ideologi anti-komunisme diam-diam ditegakkan. Komunis dianggap sebagai iblis dan setan yang harus diwaspadai kemunculannya dan harus diberangus dari Indonesia karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai pancasila. Di akhir buku ini, Herlambang mengangkat karya Noer Massardi yang berjudul September (2006) yang mencoba mendekonstruksi cerita G 30S PKI versi pemerintah. Buku ini menyajikan bagaimana konsepsi kekerasan budaya yang berlangsung selama puluhan tahun dan langgeng sampai sekarang untuk mencoba menghapus dan menyudutkan PKI dalam kesejarahan Indonesia. Dari karya sastra, buku pelajaran, museum, hingga film, Soeharto memang mencoba membunuh dan memberangus “PKI” dan komunisme. Apa yang dilakukan oleh Soeharto tak lepas dari kontribusi para aktifis kebudayaan yang ikut serta memberikan sumbangsih karyanya dalam melegitimasi apa yang dikampanyekan oleh Soeharto sebagai gerakan anti-komunisme. Melalui buku kekerasan budaya pasca 65 ini, Herlambang mengajak kita, bahwa dalam dunia sastra tidak dipungkiri akan ada hubungan yang tak terlepas dari realitas. Realitas yang dibangun dalam karya sastra tak bisa dianggap sebagai sesuatu yang final. Melalui buku ini, Herlambang menegaskan, bahwa pengarang bisa menjadi alat politik suatu rezim tanpa sadar. Sebagaimana yang dilakukan oleh Arswendo Atmowiloto yang melakukan novelisasi film pengkhianatan G 30S/PKI. Kemudian, Herlambang juga menjelaskan kepada kita bahwa melalui karya September (2006) Noer Massardi, sejarah bisa direkonstruksi melalui karya sastra. Karya sastra, singkatnya, jelas tak terlepas dari realitas sebagai bagian penting dari sejarah. Apa yang sering disebut sebagai realisme sosialis yang merupakan pandangan aktifis lembaga kebudayaan rakyat di masa lalu memang ada, dan semua itu tergantung dari para sastrawan kita. Apakah mereka akan menuliskan sesuatu yang bersinggungan dengan realitas kita, atau sebaliknya ia akan menuliskan yang bersifat ekstase dan fantastisme semata. Buku Herlambang ini membuat benang merah yang brilliant bahwa sejarah dan sastra tak bisa dilepaskan, melalui karya sastra sebenarnya kita bisa membuat sejarah atau bantahan terhadap sejarah yang digelapkan. Begitu.
Ideologi sastra “humanisme-universal” inilah yang pada satu sisi mencoba mendorong kebebasan berekspresi, tapi di sisi lain tidak membiarkan PKI dan aktifis lekra menyebarkan gagasannya. Karena gencarnya para aktifis “manifesto-kebudayaan” inilah, kaum kiri dan lembaga kebudayaan rakyat melakukan konfrontasi dan perlawanan melalui “Bintang Merah” dan media lainnya. Saat Soekarno masih memimpin, perlawanan mereka berbuah pelarangan Manikebu. Setelah dilarang, para aktifis manikebu masih tetap menjalin kerjasama bawah tanah dan perkumpulan sembunyi-sembunyi sambil melakukan kolaborasi bersama militer.
*)Penulis adalah Pegiat di BILIK LITERASI SOLO, Guru MIM PK Kartasura
Belum ada tanggapan.