Relikui
Parta, lelaki tanggung yang bermimpi mengejar matahari, berharap dapat mencuri secercah cahaya yang datang dan pergi. Pagi yang lalu, ia berhasil bebas dari maut. Kereta api yang ia tumpangi menuju Brebes terjungkal ke dalam jurang sedalam dua meter, gerbong kedua dari belakang, tersangkut di antara dahan pohon jati dan mahoni. Entah bagaimana, semua penumpang di kereta itu tak selamat, namun ajaibnya Parta hanya mengalami lecet di pelipis dan dengkul yang tak seberapa parah. Tentu ia merasa bersyukur akan anugrah itu, baginya seperti seakan ia orang yang terpilih. Satu-satunya.
Kini ia sudah boleh pulang dari klinik, sepanjang lorong menuju gerbang ia hanya menemui keluarga-keluarga korban yang menangis, meratap, menjerit, bulu kuduknya meremang, mungkin keluarganya juga akan begitu jika ia menjadi salah satu korban yang meninggal. Tapi tidak tentu saja, kerena sekali lagi ia satu-satunya korban selamat.
Ada rasa riang di antara trauma dan takut yang menghampiri sesaat lalu. Langkah kakinya mantap, meski agak timpang karena lecet di lututnya. Keningnya berkerut, mencoba menerawang kejadian yang baru saja ia lalui. Kereta yang ia tumpangi melaju cepat menindih besi-besi panjang yang berkeretak. Parta masih ingat ketika ia berdiri berdesakan di antara dua wanita paruh baya, dengan lipstick tebal dan bedak luntur membentuk peta di wajah mereka, mungkin keringat, atau mereka baru saja berjalan di antara hujan. Tapi tentu saja hari ini terik, tak ada hujan yang turun sejak pagi. Di depannya berdiri seorang lelaki tambun, yang kepala depannya mengkilat, botak. Lelaki itu berdiri tepat menghadapnya, tak berhenti bicara pada seseorang di telpon yang ia genggam. Parta dapat melihat titik-titik ludah di pojokkan mulut lelaki itu, atau beberapa yang muncrat seiring kata-katanya.
Tak banyak yang bisa Parta nikmati dalam perjalanan itu, sepanjang waktu ia hanya memandangi orang-orang yang berekspresi datar dan kalut. Sedang ia mengamati seorang pria muda, berwajah bersih duduk dekat jendela. Berkemeja putih bersih, dengan tas yang ia pangku, tiba-tiba Parta mendengar suara keras. Seperti ledakan atau benturan, tak berapa lama gerbong yang ia tumpangi bergoncang, penumpang yang sesak terlempar ke sisi kiri dan kanan, suara ngeri besi yang berkeretak diiringi jeritan- jeritan dari wanita yang ketakutan, panik. Tiba-tiba ia merasa terdorong dari belakang, keseimbangannya hilang, Parta jatuh tersungkur bersama penumpang lain, ia merasa kepalanya terantuk sesuatu yang keras, dalam situasi itu tubuhnya kembali terdorong ke sisi depan, seperti setrika namun ia terjebak di bawah orang-orang. Setelah itu sesuatu yang keras menghantam sisi gerbong, untuk beberapa saat ia merasa seperti mengambang, kemudian gelap, sunyi.
Kilasan-kilasan itu datang silih berganti seperti film sorot yang ia lihat sewaktu kecil. Tengah nikmat menerawang, tiba-tiba ia terkejut oleh bunyi klakson panjang, dan ciiit dari rem yang dipaksakan. Sebuah mobil box membanting setir menghindari Parta yang termangu.
Tuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuutttt tuut tuuuut!!!
“Hei, kalau jalan lihat-lihat, kamu mau mati eh!”
Kata seseorang dari dalam mobil sambil mengacungkan kepalan tangan
“Ma..maaf, saya tidak sengaja..maaf.“
Parta berlari segera menjauh dari mobil itu, ngeri, masa iya ia akan terbunuh oleh mobil setelah lolos dari kereta. Parta kembali berjalan, tas ransel yang bergelayut di sebelah bahunya terasa semakin berat. Menyusuri jalan pinggiran kota, Parta berbelok di satu jalan kecil. Jalan sempit dengan aspal rusak, menebar debu saat angin berhembus. Parta merasa lemas, lututnya yang lecet semakin perih saja. Luka di pelipisnya membuat pening.
Ia tak sanggup lagi rasanya, Parta berhenti di bawah sebuah pohon petai tepi jalan. Dekat sungai kecil di belakangnya. Duduk untuk sesaat melepas lelah, bekal minum yang ia dapat dari klinik tadi hanya tersisa seperempat botol. Pasti habis sekali teguk, namun ia tetap akan merasa haus.
“Untung Gusti masih menyayangiku, hanya saja kalau jalan begini payah juga..”
Gumam Parta sambil mengelus dadanya yang terasa sesak. Tak jauh dari tempatnya duduk, ia melihat beberapa orang mendekat. Alangkah leganya, ia.
“Syukurlah, aku akan meminta tolong orang-orang itu..”
Beberapa orang itu semakin dekat, namun ada yang aneh. Parta melihat sebagian dari mereka membawa kelewang dan clurit.
“Wah, gawat..”
Wajah Parta memucat, ia takut untuk bergerak. Jika ia lari pasti mereka akan curiga dan mengejarnya, namun jika ia hanya diam, bukan tak mungkin ia akan mati dibantai.
“Wah, ada mangsa Kang..” kata seseorang dari gerombolan itu.
“Mmangsa apa maksudmu, jangan menakuti kawan kita seperti itu..” Jawab seseorang yang disebut Kang, oleh orang sebelumnya.
“Hei Bung, situ siapa, kenapa duduk sendiri di sini?”
“Sa..saya Parta, saya habis kecelakaan..” jawab Parta takut.
“Waduh, kasian sekali. Pantas lesu begini, tapi itu tas ada isinya bukan?”
“Ti..tidak, jangan diambil, itu untuk Simbok saya.”
“Haha anak simbok rupanya, sudah berikan saja.” Seseorang yang membawa clurit mendekati Parta, beringas.
“Ayo berikan!” teriak yang lain.
“Ja..jangan kang..”
Parta mendekap erat ransel bututnya, ia tak bisa lari. Jalan itu pasti masih panjang, kampung terdekat masih memerlukan perjalanan 2 km lagi, ia tak mungkin kuat berlari dalam kondisi seperti ini. Parta berfikir keras, peluh membasahi baju dan wajahnya. Tak ada jalan lain, “Heeaaaaaa!”
Parta berlari menerobos seorang di belakangnya, melompati semak dan ‘Byuuur!’
Ia melompat ke dalam sungai, tak bisa berenang.
Seseorang di atas mengumpat, “sial, mangsa bego!”
“Sudah ayo pergi, tak ada untungnya mengejar orang sepertinya.”
Parta gelagapan, sebelah tangannya memegang ransel, tangan yang lain berusaha meraih ranting pohon ringin yang menjuntai. Ia tak mau mati tenggelam, sial saja masa dalam sehari ia mau mati hingga tiga kali. Seseorang datang dan meraih lengannya, pemuda tampan berkemeja putih yang menggendong tas, sepertinya Parta pernah melihatnya, tapi di mana,
kapan..entahlah yang penting saat ini ia lolos dari maut. Lagi.
“Terimakasih dik..” kata Parta, pemuda itu hanya tersenyum kemudian pergi.
Parta tak mau ambil pusing siapa pemuda itu tadi, yang jelas sekarang sekujur tubuhnya terasa remuk, dingin. Ia hanya ingin cepat sampai rumah. Kali ini Parta mengambil jalan berbeda, bukan yang ia lalui tadi, takut kalau-kalau bertemu gerombolan yang tadi. Jalan ini lebih panjang dan sunyi, tapi tak apa asal aman.
Beberapa saat berjalan, ia mendengar keresak seperti sesuatu, atau seseorang menginjak ranting dan rumput kering. Parta tak berani menoleh, jangan-jangan itu perampok. Ia mempercepat langkahnya hingga setengah berlari, tiba-tiba ia terkejut oleh satu gerombolan yang muncul dari semak-semak di dekatnya. Bukan orang, bukan gerombolan yang tadi. Parta bergidik ngeri, itu gerombolan anjing liar, gila mungkin.
Parta berlari terbirit-birit, tak terasa perih di lututnya ataupun pegal dari sekujur tubuh. Yang ia tahu ia harus lari secepat dan sejauh mungkin. Anjing-anjing itu terlihat ganas, dengan air liur tak hanya menetes, tapi mengucur dari mulut terbuka dan lidah- lidah terjulur itu. Tak tahu lagi harus bagaimana, Parta hanya terus berlari. Tiba-tiba seseorang datang membawa galah panjang bercabang menghadang jalannya. Pemuda tampan itu, ia lagi. Ia mengarahkan galah itu pada gerombolan anjing liar yang gila itu. Entah bagaimana, mereka berbalik arah lari meninggalkan Parta.
Nafasnya belum lengkap, pendek-pendek dan nyeri.
“Bapak tidak apa-apa?”
“Tidak Dik, sekali lagi terimakasih.”
“Iya sama-sama” pemuda itu tersenyum hendak pergi. Tak ingi melewatkan kesempatan lagi, Parta bertanya, “sebenarnya kamu siapa dik, sepertinya kita pernah bertemu?”
“Sudah tak usah difikir Pak, anggap saja saya sahabat anda. Suatu saat kita akan bertemu lagi.” Pemuda itu kini benar-benar berlalu.
“Perjalanan macam apa ini. Berkali-kali aku hampir mati hari ini.” Parta sudah lelah, ia terlalu letih untuk berjalan lagi. Ia pening, tertidur di tepi jalan sepi. Suara-suara lirih
mengganggu tidurnya.
“Tolong pak Dokter, apa tak ada jalan lain?”
“Maaf Bu, kami sudah berusaha yang terbaik..”
“Tapi pak, ia masih bernafas..”
“Memang, ia selama ini bernafas namun alat yang berada di sekujur tubuhnya, organ-organnya sudah tak berfungsi..”
“Tapi, bagaimana bisa kami menghentikan hidup orang yang kami cintai..”
Suara itu, Parta benar-benar kenal. Ia istrinya, istri yang ia cintai. Dan seorang lagi, istrinya menyebut orang itu dokter. Tapi apa yang terjadi, Parta tak paham dengan yang mereka bicarakan.
“Duh, kang Parta, kenapa begini nasibmu..”
“Sudahlah bu, silahkan anda ambil keputusan, kasihan suami ibu. Sudah dua minggu lebih ia seperti ini. Tak baik terus menyiksanya.”
“Saya benar-benar tak tega Pak Dokter, ini suami saya satu-satunya..”
Apa ini, Parta merasa bingung, ia ingin menyahut tapi suaranya tak keluar. Ia mencoba duduk, namun tubuhnya tak berdaya sama sekali. Ia bisa melihat tapi tak bisa melakukan apa-apa.
“Baiklah Pak Dokter, kalau memang harus begitu. Saya relakan suami saya.”
Parta terkejut, ia ingin berteriak pada istrinya, berani sekali ia memutuskan untuk merelakannya. Apa maksud semua ini.
Perlahan Parta merasakan sesuatu di tarik keluar dari dadanya, perih melewati kerongkongan dan hidungnya. Dadanya terasa menyesak, kepala dan dadanya nyeri. Ia ingin bernafas namun seperti dibekap oleh sesuatu yang tak terlihat. Semuanya benar-benar gelap.
Sesaat kemudian, tiba-tiba ia bisa melihat sesosok tubuh terbaring di pembaringan putih rumah sakit. Orang itu, kepalanya remuk di balut kasa dan kapas. Kaki kanannya hancur tak berbentuk, orang itu, yang berada di pembaringan itu, tak lain adalah dirinya sendiri. Parta.
Sekejap saja ia ingin berteriak, terkejut. Tak percaya dengan penglihatannya. Ia sedang berdiri memandang dirinya sendiri. Tiba-tiba seorang pria meraih tangannya, Parta menoleh.
“Apa kabar sahabat, kini kau sudah siap bukan..?”
“Ka..kau?”
Suara Parta tercekat, pria itu, pemuda yang menolongnya berkali-kali. Kini Parta ingat, ia pemuda yang sama yang ia lihat di gerbong kereta hari itu. Ia merasa merinding dan linglung.
“Aku menepati janjiku untuk datang kembali sahabatku, kini aku benar-benar menjemputmu..” Suara pemuda itu dalam dan tenang.
“Ap..apa maksudmu, siapa kau sebenarnya..?”
“Aku..?”
“Iya, siapa kau..?”
“Aku mautmu, sahabatmu..” Pemuda itu tersenyum, dan Parta tak kuasa. Berlalu bersamanya.
Belum ada tanggapan.