Bruk.
Akar melintang yang menyembul dari tanah membuatku terjatuh. Ngilu seketika menghampiri pergelangan kaki. Namun, segera aku bangkit dan kembali berlari.
Di atas sana bulan mati. Dalam gelap, ranting-ranting rendah dan semak-semak begitu saja kuterobos. Sesekali hampir pula aku menabrak batang-batang keriput pepohonan. Semakin jauh berlari, pepohonan semakin rapat dan aku semakin sering terjatuh.
“Cepat, cepaaat!” teriak salah satu dari mereka.
“Kepung dia!” sahut yang lain.
“Jangan biarkan dia lolos!” Yang lain menimpali.
Terengah-engah, aku mengerahkan tenaga untuk bergerak lebih cepat, tak ingin tertangkap oleh mereka. Benar-benar tak ingin.
Kudengar teriakan-teriakan mereka—para manusia yang mengejar—timbul tenggelam dan bersahutan. Kata-kata seperti penyihir, monster, dan sebagainya seolah melintas begitu saja di telingaku.
Kuingat-ingat lagi kenapa mereka mengejarku. Oh, benar. Itu karena manusia adalah makhluk yang paling kejam dengan sesamanya. Mereka membawaku pada ruang pengap di dalam sebuah rumah yang sunyi dan berbau rempah-rempah dan juga bangkai tikus yang kulihat sudah setengah mengering tergantung di atas pintu kamar.
Dalam kegelapan yang begitu pekat, tubuhku seperti mengayun ke atas dan ke bawah seperti halnya dalam ruang tanpa gravitasi. Hingga pada saat kesadaranku kembali waras secara samar-samar, segaris cahaya terlihat seolah membelah secara vertikal yang semakin lama semakin melebar. Setelah itu tak terjadi apa-apa –dan aku menemukan diriku meringkuk memeluk guling di tengah ranjang kamar.
Senja merah. Di antara bebatuan yang di tumbuhi bunga-bunga dan gulma illalang yang meliuk di belai angin senja merah, kutemukan sebaris tulisan yang terukir di salah satu permukaan batu nisan tanpa nama. Begini bunyinya: “Sudahkah kau melihat orang yang menjadikan keinginannya sebagai tuhannya. Apakah kau akan menjadi pelindungnya?(Qs:25:43). Aku berpikir keras dengan maknanya, dan merasakan ada korelasi yang kuat diantara kalimat yang tertulis itu dengan semua peristiwaku beberapa tahun silam yang menyisakan trauma sampai detik ini.
Aku merenung sejenak dan kemudian memutuskan meneruskan membersihkan gulma itu, menyianginya sembari sibuk dengan pikiran dan doa-doa.
Kuingat-ingat lagi kenapa mereka mengejarku sampai kini. Oh, benar. Itu karena manusia adalah makhluk yang kejam terhadap sesamanya. Kesadaranku datang terlambat setelah aku kehilangan Rega Ranu Semesta, Kakak kembarku yang didaulat menjadi pengantin bom di malam natal.
Aku selamat.
“Itu dia, di sana!” teriak mereka sahut-menyahut. Lalu, moncong-moncong senapan serupa naga api menyemburkan ludah apinya. Api-api itu mulai beterbangan dan jatuh di sekitar Rega dan diriku, bertubi-tubi letupan panah api menyerang dari berbagai arah.
Menghindari letupan panah api yang melesat, Rega mempercepat lari. Di depan sana, tampak sebuah telaga yang memantulkan cahaya purnama.
Rega hampir mencapai telaga ketika tembakan-tembakan menembus perut. Lalu, lengan. Dada. Kaki.
Rega melompat saat sebuah tembakan tepat mengenai jantungnya. Dan…, Rega pecah. Menjadi apa dirinya sesungguhnya. Kelopak-kelopak bunga berhamburan sebagai ganti tubuhnya, lalu luruh, berjatuhan di permukaan telaga.
Aku berhasil selamat. Menceburkan diri ke dalam telaga. Lalu, seperti tentara berudu yang terlatih terus berenang di kedalaman telaga. Lalu sembunyi di dalam hutan.
Sekumpulan camar datang menukik lalu betengger di ranting -ranting kamboja, sebagian lagi asik mengasah paruh di atas bebatuan yang tertutup lumut hijau. Seliur illalang terus bertasbih, beristighfar di senja merah kali ini. Demikian pula hati dan pikiranku sembari menuntun langkah menjauh dari batu nisan tanpa nama.
Belum ada tanggapan.