Setiap orang mempunyai rahasia yang terlalu mengerikan untuk diutarakan kepada teman atau kekasih, pendeta atau psikiater, terlalu berbelit sehingga sukar untuk diungkap tanpa menimbulkan bahaya. Beberapa orang memilih untuk mengabaikannya; yang lain menguburnya dalam-dalam dan membawanya sampai mati. Kita menyembunyikannya dengan begitu rapi bahkan sampai kita sendiri lupa kalau rahasia itu ada.
Berita Buku – “Jangan buru-buru ingin hidup seperti peri, karena Anda tidak tahu bagaimana rasa sesungguhnya menjadi peri.” Begitu kira-kira pesan Keith Donohue ketika orang-orang berpikir tentang sesosok makhluk kecil cantik yang mempunyai sayap keperakan dengan baju terbuat dari bunga-bunga. Sesosok peri yang identik dengan keindahan dan kebahagiaan. Dunia rekaan yang penuh keindahan itu tampaknya ingin didobrak oleh pengarang top: Keith Donohue lewat novelnya The Stolen Child.
The Stolen Child. Jika Anda pernah membaca puisi William Butler Yeats, tentu akan sedikit memiliki gambaran akan novel The Stolen Child versi Keith Donohue. William Butler Yeats yang dikenal sebagai penggemar cerita klasik Irlandia mengangkat dunia peri dalam puisinya. Dan Keith Donohue mengakui bahwa novelnya terinspirasi oleh puisi WB Yeats tersebut. Perbedaan mendasar di antara keduanya, Keith menonjolkan sisi ‘menyedihkannya’ dunia peri.
Novel The Stolen Child menyinggung cerita rakyat tentang peri yang sudah lama dikenal di berbagai tempat di Eropa. Dalam cerita itu dikisahkan kehidupan sesosok changeling yang bertukar tempat kehidupan dengan anak manusia. Changeling secara fisik tampak seperti anak-anak, namun pikirannya tumbuh dewasa. Seorang changeling dapat hidup selamanya, tidak bertambah tua atau pun memiliki keriput, karena dia adalah peri. Seorang changeling memiliki siklus seratus tahunan untuk dapat bertukar tempat dengan manusia dengan syarat tambahan, manusia yang dapat ditukar adalah anak-anak dengan kehidupan rohaninya rusak.
Dalam novel ini, Gustav,- sesosok changeling, bertukar tempat dengan Henry Day. Dikisahkan, pada tahun + 1950-an, di sebuah kota kecil di dekat Chicago, seorang anak bernama Henry Day bertukar tempat dengan seorang changeling bernama Gustav. Henry Day menjadi changeling bernama Aniday, dan Gustav menjadi anak manusia dengan nama Henry Day.
Aniday hidup dalam sebuah kelompok bersama 11 changeling lainnya. Setelah diculik pada suatu malam dan melakoni ritual di sungai, dia mulai hidup menjadi seorang changeling. Aniday mulai berlatih bagaimana mengasah indra pendengaran, penciuman, dan penglihatannya sebagaimana seorang peri. Dia juga berteman dengan changeling lainnya, yang salah satu di antaranya menjadi changeling yang paling dia cintai. Meski begitu, dia sangat merindukan keluarganya, dan ingin sekali pulang. Dia sering memimpikan kedua orangtuanya dan adik bayi kembarnya. Dalam penantiannya menjadi manusia lagi—karena siklus seratus tahun itu, Aniday belajar bahwa teman-teman changeling-nya sebenarnya juga tidak suka menjadi changeling. Semua sama-sama merindukan keluarga masing-masing yang tentunya sudah lama sekali hilang dan ingin menjadi manusia lagi.
Aniday juga merindukan kehidupan manusia. Pada awal-awal menjadi changeling, Aniday yang baru berusia tujuh tahun mulai melatih dirinya untuk membaca dan menulis lagi, agar tidak lupa. Dia bahkan belajar membuat kalender karena tidak ingin ketinggalan hari-hari raya yang biasa dirayakan manusia. Dia juga sering mengunjungi perpustakaan bersama Speck, changeling wanita yang dicintainya. Teman-teman changeling-nya, yang sama sekali tidak mempedulikan hal-hal itu, pada awalnya mengecamnya dengan alasan takut akan manusia yang jahat dan tidak ramah. Changeling jangan sampai ditemukan oleh manusia karena bertemu manusia berarti sesuatu yang buruk pasti akan terjadi. Namun, pada akhirnya, teman-teman changeling-nya menganggap hal itu sebagai sesuatu yang baik, dan bahkan sering mendengarkan cerita-cerita yang dibacakan oleh Aniday.
Di sisi lain, Gustav yang menjadi Henry Day diterima oleh keluarganya—ibu dan adik bayi kembar. Kecuali ayahnya, yang tampak curiga padanya sejak dia ditemukan di hutan pada hari dia bertukar tempat dengan Henry Day yang asli. Meski begitu, semuanya berjalan dengan mulus. Gustav yang tidak ingin identitas aslinya terbongkar mulai berlatih membaca dan menulis. Dia bahkan belajar piano lagi; sesuatu yang dulu pernah dia pelajari sebelum menjadi changeling. Karena dulunya dia memang berbakat bermain piano, Gustav dengan segera menjadi pianis handal. Dia kuliah untuk belajar membuat komposisi. Namun, ayahnya tetap curiga. Di kemudian hari, Sang Ayah ditemukan bunuh diri dengan menembakkan pistol ke kepalanya sendiri ketika mengetahui identitas Gustav. Identitas Gustav juga hampir terbongkar ketika seseorang menghipnotisnya di sebuah bar dan dia berbicara dalam bahasa Jerman.
Gustav menikahi teman SD-nya dan mempunyai seorang anak. Anaknya tidak mirip sama sekali dengan Henry Day—penyamarannya, tetapi mirip dengan keluarga Ungerland, keluarga aslinya. Gustav akhirnya memutuskan untuk menelusuri jejak hidup keluarga Ungerland.
Sementara itu, kelompok changeling mulai terancam keberadaannya oleh manusia. Hal ini dikarenakan Igel, sang pemimpin kelompok, memutuskan untuk tidak bertukar tempat dengan anak manusia bernama Oscar Love. Dalam sebuah percakapannya dengan Aniday, Igel berkata bahwa dia tidak yakin apakah dia dapat kembali untuk hidup bersama manusia lagi. Dia merasa kalau dia sudah pergi sangat lama.
Ketika ritual di sungai dijalankan, Igel membatalkannya dengan cara menggantikan Oscar Lova. Igel mati; mayatnya ditemukan dan membuat bingung penduduk sekitar. Ada dua Oscar Love; yang satu mati, dan yang satu hidup. Ketika diotopsi, meskipun dari luar mayat itu terlihat seperti anak laki-laki, organ-organ dalamnya berusia lebih dari satu abad, seperti organ dalam seseorang yang sangat tua.
Pencarian besar-besaran dilakukan karena kejadian aneh itu sehingga membuat kelompok changeling tergusur dan mulai berpindah-pindah tempat. Beberapa bahkan meninggal ketika mereka menghuni gua yang tidak aman. Akibatnya, perpecahan terjadi karena ketidakpuasan dengan pemimpin baru. Beberapa changeling bahkan pergi begitu saja untuk hidup bersama manusia; berharap kalau ada yang menemukan dan merawat mereka, yang pada akhirnya malah ditemukan manusia dan dibedah untuk mengetahui sebenarnya jenis makhluk apa mereka. Yang lain memutuskan untuk tidak mengikuti siklus seratus tahunan lagi, atau, dengan kata lain, memilih untuk menjadi changeling selamanya.
Ketika menetap di sebuah tepi sungai di hutan, Aniday melihat seorang laki-laki yang dikiranya sebagai ayahnya, yang ternyata adalah Gustav. Setelah diberitahu Speck, Aniday tahu kalau dia bukan ayahnya, melainkan Gustav, changeling yang mengambil tempatnya. Aniday marah pada Gustav yang telah mencuri kehidupannya. Aniday dan teman-temannya mulai meneror Gustav. Hal ini membuat Gustav ketakutan dan bayangan akan hutan serta changeling menghantui hari-harinya.
Ibu Henry Day rupanya sudah mengetahui identitas asli Gustav. Meski begitu, Gustav tetap ketakutan jika istrinya, Tess, mengetahui identitas aslinya.
“Setiap orang mempunyai rahasia yang terlalu mengerikan untuk diutarakan kepada teman atau kekasih, pendeta atau psikiater, terlalu berbelit sehingga sukar untuk diungkap tanpa menimbulkan bahaya. Beberapa orang memilih untuk mengabaikannya; yang lain menguburnya dalam-dalam dan membawanya sampai mati. Kita menyembunyikannya dengan begitu rapi bahkan sampai kita sendiri lupa kalau rahasia itu ada. Aku tidak ingin kehilangan anak kami, aku tidak ingin kehilangan Tess. Aku takut identitasku sebagai changeling terungkap. Aku takut ditolak Tess. Ini membuatku harus menanggung rahasia seumur hidupku.”(hlm 516).
Gustav akhirnya memutuskan untuk membuat sebuah simponi berjudul “Anak yang Diculik” untuk Aniday sebagai permintaan maaf agar para changeling itu berhenti menerornya. Di konser itu, Aniday menatap Gustav dari balik jendela dan memutuskan untuk memaafkannya. Dia juga melihat seorang wanita paro baya yang membuatnya teringat akan ibu aslinya.
“Ingin rasanya masuk lewat jendela gereja itu dan berlari ke arahnya, untuk merasakan tangannya menyentuh pipiku, untuk dipeluk, dikenali olehnya, tetapi tempatku bukan di sana bersama mereka. Selamat tinggal, Ma…” (hlm 575)
Pada akhir cerita, Aniday pergi mengikuti Speck, gadis changeling yang dicintainya, yang telah pergi lebih dulu untuk tinggal di suatu pantai, di suatu tempat di Pasifik. Dia berkata bahwa dia akan pergi dan tak pernah kembali, tapi dia akan mengingat semuanya.
Membaca novel ini seolah-olah mengusik rasa kemanusiaan kita—atau, mungkin lebih tepatnya, rasa akan bagaimana seharusnya hidup itu berjalan. Siapa kita dan bagaimana kita seharusnya memperlakukan hidup terlihat jelas dalam novel ini. Hal ini terlihat dari bagaimana Aniday dan Gustav sama-sama menginginkan kehidupannya kembali dengan cara memperjuangkan identitas masing-masing. Selain itu, hal ini juga terlihat dari konflik tokoh-tokoh yang lain, seperti Igel yang tidak percaya diri untuk kembali ke dunia manusia karena sudah terlalu lama hidup di hutan, atau bagaimana kepedihan para changeling yang menginginkan kehidupan manusianya kembali sampai bertindak ceroboh dengan pergi begitu saja untuk berbaur dengan manusia. Changeling–changeling lain mungkin begitu putus asa sampai tidak ingin menjadi manusia lagi dan memilih untuk hidup dalam keabadian selamanya. Rangkaian konflik yang memotret sisi-sisi batin para tokoh dalam cerita berhasil membawa novel ini sebagai salah satu karya The New York Times Bestseller. Dikisahkan dalam dua sudut pandang dari Henry Day dan Gustav, novel ini begitu pedih sekaligus manis.
Jika Anda tertarik membaca, Anda dapat mencari versi bahasa Indonesia. Terjemahannya cukup enak dibaca dan membuat kita larut ke dalam kisahnya. Lalu bagikan pengalaman Anda membaca The Stolen Child di ruang komentar artikel ini. (Editor: BBnet)
Judul : The Stolen Child
Penulis : Keith Donohue
Penerjemah : Anita Khairunisa
Penerbit : Dastan Books
Kategori : Fiksi Fantasi
Tebal : 600 hlm
Ukuran : 12,5 x 19 cm
Terbit : Juni 2007
Belum ada tanggapan.