Baiklah, aku mengakui bahwa aku adalah seorang penakut. Seorang anak lelaki bernyali ciut, yang kadang harus berpikir puluhan kali sebelum memutuskan untuk pergi ke kamar mandi setiap lewat pukul 10 malam.
Dan malam ini, aku berusaha santai di ruang TV rumah baru yang sudah seminggu ini kami tempati. Ayah dan ibuku pergi ke rumah nenek di Surabaya dan baru akan pulang tiga hari lagi. Jadi mulai malam ini dan dua malam berikutnya, aku harus melewati semuanya seorang diri.
Aku tak tahu apa yang dilakukan orang-orang penakut lainnya ketika mereka terpaksa berada di rumah sendirian, tapi aku punya cara sendiri untuk sedikit mengurangi rasa takutku. Sebelum maghrib tadi, kuhidupkan semua lampu yang ada di rumah baruku ini. Memang terdengar bodoh, tapi rumah yang terang benderang membuatku merasa nyaman dan aman. Jadi kuhidupkan semua lampu, kecuali lampu di taman belakang yang entah kenapa tak bisa menyala.
Jam menunjukkan pukul 11.36 malam. Dan sampai saat ini semuanya baik-baik saja. Aku masih asyik menonton TV sambil menyantap camilan.
Hingga tiba-tiba, aku merasa mendengar sesuatu dari taman belakang. Seperti suara dua buah batu yang saling dibenturkan. Aku jadi ingat bahwa di taman belakang, ada kolam ikan kecil yang dikelilingi tumpukan batu-batu di pinggirannya.
Awalnya, suara itu terdengar samar. Aku berusaha tak mempedulikannya, walaupun sebenarnya aku mulai merasa tidak nyaman. Tapi, lama-kelaman suara itu semakin jelas. Intensitasnyapun semakin sering.
Bulu kudukku kian merinding, tapi tubuhku masih terpaku di sofa depan TV. Jantungku berdetak kencang. Pikiranku mulai berlari kemana-mana. Menciptakan imajinasi yang hanya membuat rasa takutku semakin besar. Tapi aku tak punya pilihan lain. Aku adalah satu-satunya orang yang berada di sini, jadi akulah yang harus bertanggung jawab atas keamanan rumah ini.
Setelah lima menit kukumpulkan keberanian (lima menit yang sama dimana suara itu terus-terusan terdengar), kuberanikan diriku untuk berdiri dari sofa, meraih senter di meja dekat jendela dan berjalan perlahan-lahan (dan dengan gemetaran) ke arah taman belakang.
Aku khawatir itu maling. Apalagi pagar belakang rumahku tak terlalu tinggi. Kusorotkan cahaya senter ke arah pintu yang menghubungkan rumahku dengan taman belakang sambil terus melangkah. Dengan tangan gemetaran, kubuka pintu itu dan kuedarkan cahaya senterku ke sekeliling area taman. Kakiku tak bisa diajak melangkah lebih jauh. Jadi aku hanya berdiri tepat di depan pintu.
Dan jantungku nyaris copot! Seekor kucing hitam tiba-tiba melompat dan berlari kencang dari arah kolam ikan. Brengsek! Batinku. Darimana kucing sialan itu masuk?! Dengan emosi tinggi, aku berjalan mengikuti arah lari si kucing dan pada akhirnya aku menemukan bahwa pagar samping rumah ternyata berlubang. Lubang yang cukup besar untuk dimasuki kucing sialan ini.
Aku kembali ke dalam rumah dengan jengkel tapi juga lega. Jengkel karena merasa bodoh dipermainkan seekor kucing (yang aku pikir kucing milik tetangga sebelah) dan lega karena rasa takutku kini sudah hilang sepenuhnya.
Dan yang tersisa kini hanyalah rasa ingin kencing yang sedemikian besar karena situasi menegangkan yang tadi sempat terjadi. Jadi aku langsung menuju kamar mandi. Kuhidupkan lampu dan segera kulepaskan yang tertahan di kandung kemihku sedari tadi. Rasanya lega sekali…
Sambil kencing aku berfikir. Besok, aku harus menutup lubang itu agar tak ada lagi kucing yang bisa masuk ke areal rumahku.
Oke, sejak menulis cerita ini, 21 November kemarin, belum ada yang menanyakan pertanyaan ini:
“Si aku SENDIRIAN di rumah, sebelum maghrib dia menghidupkan SEMUA LAMPU DI RUMAHNYA kecuali lampu di taman belakang. Kenapa ketika aku masuk kamar mandi, aku MENGHIDUPKAN LAMPU? Siapa yang mematikan lampu kamar mandi?”
Itu sebenarnya poin dari cerita ini.
jempolll