Seperti biasa di sore hari, dengan kameja yang sangat kusukai dan ditemani secangkir kopi hangat di teras rumah, aku menunggu datangnya senja yang menghampar sejuta perasaan. Sambil mengecap manisnya rasa kopi yang nikmat aku memandang lekat-lekat jam tangan yang baru kubeli pagi ini. jam sudah menunjukkan waktu kedatangan senja, kekasihku. Saat lembayung mulai membiaskan warnanya, aku segera merapikan kamejaku yang tak terlalu kusut dan tersenyum penuh ranum, seolah-olah senja adalah kekasih yang lama kunantikan penuh kerinduan. Padahal setiap hari, kami selalu menghabiskan waktu bersama-sama sambil tertawa terbahak-bahak mengingat kisah cinta yang diwarnai kegilaan dan juga asmara yang bernyala. Aku teramat mencintainya walau harus kutunggu mencumbui dirinya di akhir hari. Di bawah hamparan langit yang membiaskan warna-warna kekasihku, terlukis banyak kenangan yang samar-samar dalam ingatan. Mungkin waktu berlalu terlalu cepat tanpa disadari meninggalkan serpihan-serpihan kenangan yang ingin kuulangi beribu kali.
Senja kali ini mungkin adalah yang terakhir. Tak seperti biasanya aku ingin mengucapkan selamat tinggal. Namun seakan lidah ini dirantai, aku tak sanggup menghamburkan kata-kata. Kata-kata adalah ungkapan rasa yang begitu nyata namun ternyata seringkali disalahartikan dari maksudnya. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan karena aku tak punya kata-kata yang tepat, dan nyatanya senja tak punya telinga untuk tempat kata-kataku nanti. Kami berdua adalah sepasang kekasih yang serasi, mungkin seperti si bisu dan si tuli. Meskipun tak saling menggapai, kami tahu membagikan kasih yang lebih mesra daripada para kekasih.
Rasa ini begitu dalam senikmat secangkir kopi yang hampir habis kuteguk. Waktu memang memiliki takdir yang berlalu begitu cepat. Senja pun mulai meredup dan membiaskan magenta yang miris. Aku begitu takut kehilangan kesempatan yang diberikan waktu namun aku lebih tidak berani lagi mendengar kata-kataku sendiri. Hal itu hanya akan meyakinkanku bahwa kami tak pernah bersama dan tak akan pernah bisa bersama. Aku mungkin sudah gila, namun apakah orang gila pernah mengatakan dirinya gila. Mungkin aku memang gila saat dicemoohkan para tetangga bahwa aku ingin menggapai sesuatu yang tak pernah tergapai. Jika itu adalah gila, maka aku akan lebih gila lagi jika aku tak sanggup menggapai impianku. Kekasihku senja, aku bahagia, karena aku gila sehingga mendapatkan dirimu sebagai kekasihku.
Saat ini aku takut menutup mata. Jika aku menutup mata, dan ketika kubuka, seketika itu juga aku takut ia telah lenyap. Maka hanya malam dan perpisahan juga penyesalan yang mengiringi kepergian senja. Aku pun menahan tangis walau sedari tadi kedua mata ini banyak digenangi kesedihan. Aku takut senja akan lenyap saat kuusap air mataku. Lenyap seketika dan tak bisa kembali. Aku mulai gelisah dalam pikiranku yang berkecamuk. Apa yang harus kulakukan? Secangkir kopi kini telah kosong dan senja perlahan mulai lenyap. Semakin membuat diriku risau tak menentu. Kegelisahanku ini sungguh nyata dari mimpi-mimpiku. Saat di mana ketenangan tak bisa kutahan, kebahagiaan tak bisa kujaga tetap ada. Aku mengatur kata-kataku namun tidak berhasil, aku berbicara bak orang bisu yang meronta-ronta, tetapi senja tetap sunyi. Senja seakan-akan ikut bersedih namun pintar bersembunyi di balik kebisuannya. Aku ingin terbang menggapai senja, menahannya lama-lama agar aku bisa berpamitan dengannya meskipun cuma mengucapkan sebuah kata. Apa yang harus kulakukan? Sedari tadi warnanya mulai memudar meski semakin indah dipandang. Tapi aku tak bisa menahan senja lebih lama, maka aku berteriak sekuat tenaga, “Senja.” Dan saat itu pun senja lenyap ditelan gelap.
Lilin itu kunyalakan dengan pemantik yang biasa, yang sering kupakai menemani hari-hari yang gelap. Semburan nyala apinya semakin menampakan jemari yang telah kaku dan kulit sawo matang yang sudah mulai keriput. Lilin itu mulai bernyala perlahan dan lama-kelamaan melebur dalam diam seperti isyarat bahwa senja segera datang.
Belum ada tanggapan.