Langkahmu semakin menjauh, tak lagi kudengar bunyi sepatumu yang beradu dengan lantai. Nafasku sesak, ini takdir yang digariskan untuk kita, perpisahan selalunya dapat mengiris hati, ‘Perih’ kita merasakan hal yang sama, kubiarkan tanganmu menjamah leherku, mengalungkan cahaya senja yang semakin buram, ada namamu dalam setiap bias jingga yang menggantung. Ini adalah senja terakhir yang kita nikmati, aku tahu hatimu meradang, terlebih aku, namun kita tetap tak bisa mengelak dari takdir, aku harus pergi, memamah nasib, menjadikanmu sketsa utuh dalam keping kenangan yang sudah kutanam dalam urat dan melebur dengan darahku untuk selalu mengingatmu, ya kamu lelaki yang senantiasa menemaniku menikmati senja, di sini di balik jendela koridor rumah sakit, tempat kita saling beradu tatap.
****
“Apakah kamu benar-benar ingin pulang ke rumah” Aku menggeser letak tiang infusku, menariknya agar lebih dekat dengan badanku, wajahnya tetap menatap senja, aku menarik nafas panjang, tak mengucap sepatah kata pun. Aku memandangi wajahnya yang semakin pucat, “Jika kau lelah pulanglah, tak perlu menjagaku” Ruei menatapku, tatapan yang sama yang selalu membuatku mengutuki diri sendiri, “Aku hanya ingin bersamamu” Kupalingkan wajahku darinya, siapa yang tidak ingin hidup bersama orang yang dicintainya, namun ketika keadaan telah berubah, ketika takdir mngharuskan seseorang memilih garis nasibnya, ketika kematian telah digariskan datang dalam hitungan bulan, atau mungkin besok pagi. Apakah cinta masih memiliki arti?.
Senja mulai buram, matahari menghilang berganti malam, tak ada bulan malam ini, langit dipenuhi bintang, kami masih berdiri pada jendela koridor rumah sakit, aku masih belum ingin beranjak, masih ingin bersamanya, dan ingin terus bersamanya, paling tidak bersamanya ketika mataku masih mampu menatap wajahnya, “Jane! hidungmu mimisan lagi, tunggu di sini, akan kuambil kursi roda untukmu” Ruei berlari meninggalkan koridor, tubuhku terasa dingin aku menggigil, kupandangi punggung Ruei yang menghilang pada tikungan koridor, pandanganku mulai kabur kemudian semua menjadi gelap.
****
Aku tersadar, perlahan bayangan-bayangan kabur itu menjadi jelas, semua berwarna putih, selimutku yang berwarna putih, dinding dan gorden yang juga berwarna putih, sudah bisa dipastikan aku berada di dalam kamar rumah sakit, entah ini pagi malam atau siang, semua nampak sama dengan gorden tertutup dan nyala lampu yang tak begitu terang, aku melihat Ruei tertidur disampingku, wajahnya tersembunyi di balik tangannya yang menangkup, sepertinya dia menjagaku sepanjang malam, atau mungkin sepanjang hari, rasanya ritual ini sudah menjadi kebiasaan kami, sejak dokter memvonis leukimia untukku. Ketika aku tak sadarkan diri Ruei akan menjagaku sampai aku siuman, ketika tubuhku sudah merasa bosan dan pengap bau ruangan, Ruei akan membawaku ke salah satu sudut koridor dengan jendela kaca yang besar, dari sana kami bisa menikmati senja, sesekali deru mesin pemotong rumput tukang kebun mengaburkan pendengaran kami, pada saat seperti itu kami lebih memilih untuk diam, saling mendekap erat memandangi beberapa pasien yang sedang berjalan-jalan ditaman, hingga senja menjadi buram dan remang semakin mesra mencumbu malam.
“Kau sudah bangun, maaf aku ketiduran” Mulutnya berucap cakap, jari-jari tangan mengusap sudut matanya yang lancip, dia menguap, “Istirahatlah aku tidak apa-apa” Aku tersenyum ada rasa hangat yang menyelinap ketika pandangang kami saling menumbuk. Tatapannya selalu bisa meneduhkan hatiku, karena itu aku semakin takut, takut tak bisa melihat tatapan itu lagi.
“Aku pergi cari makanan dulu, kamu mau makan apa?”
“Terserah, belikan apa saja untukku”
“Aku cepat kembali, jangan turun dari ranjang”
Aku mengangguk, Ruei pergi meninggalkan ruangang, dia terlalu menghawatirkanku, bagaimana aku bisa turun dari ranjang, jika mengangkat kepalaku saja aku tidak mampu, tulangku terasa sangat nyeri, aku memandangi beberapa lebam pada tubuhku, bukan karena aku terjatuh. Bintik-bintik merah semakin banyak bermunculan pada kulitku, beberapa helai rambut tertinggal pada bantal, nafasku mulai sesak, darah segar mengalir dari hidungku, bisa kubayangkan ribuan sel darah putih yang sedang menggerogoti tubuhku. “Jane!” Bahuku menjingkat mendengar suara Ruei yang sedikit berteriak “Kamu tidak apa-apa” Ruei berlari menghampiriku “Tidak apa-apa, hanya darah” Kusunggingkan sebuah senyum untuknya, dengan cepat Ruei merengkuhku “Hei, ambilkan tisu untukku” Kujauhkan tubuhku dari dekapannya, dapat kulihat matanya yang merebak, dia mengambil selembar tisu kemudian mengelap darah yang masih menetes dari hidungku, “Biar aku saja” Aku merampas tisu dari tangannya, dia tertegun matanya begitu lekat menatapku, kupalingkan wajahku ke arah jendela.
****
Hari ini langit begitu gelap, matahari bersembunyi, hujan mengguyur bumi sejak pagi, sudah bisa dipastikan senja tidak akan muncul hari ini, aku membiarkan tubuhku meringkuk di bawah selimut, tak ingin menatap punggung Ruei yang sedang termangu menatap hujan. Mungkin aku harus mulai membiasakannya, meski hatiku sakit, namun siapa yang dapat mengelak takdir, hidupku tidak akan lama, andai saja aku tidak terlalu mencintainya, mungkin tidak akan sesakit ini. Apa yang sedang dia pikirkan, apakah dia akan merasa sangat kehilanganku ketika aku meninggal nanti. Atau aku akan menjadi arwah dan menyaksikan seiring waktu berjalan, perlahan dia akan melupakanku. Begitu juga dengan orang-orang yang kukenal, apakah mereka juga akan melupakan aku, lantas bagaimana denganku, pikiran-pikiran bodoh itu terus berkecamuk dalam batok kepalaku.
Suara ambulan meraung tanganku makin erat mendekap Ruei, setiap kali ada bunyi ambulan aku seperti selalu mendengar suara yang mengatakan “Kau adalah berikutnya” Suara ambulan itu begitu menakutiku, aku tahu cepat atau lambat aku pasti berada di dalamnya, atau mungkin jenazahku akan diangkut oleh mobil ambulan yang sama, yang mengangkut beberapa pasien dari rumah sakit ini. Rumah sakit ini adalah tempat di mana orang-orang bersiap untuk menerima kematiannya, melihat tiap helai rambutnya yang rontok, hingga terbiasa dengan kepalanya yang mulai tak berambut. Rumah perawatan untuk para penderita penyakit ganas, di sini kami bersiap untuk mati.
Seperti yang kami tahu, leukimia tak dapat disembuhkan, yang bisa kami lakukan hanyalah mengurangi rasa sakit, belajar menerima dengan lapang tentang keadaan kami, belajar melepas orang-orang yang kami sayangi, hinga waktu itu datang, kepergian beberapa penghuni rumah sakit, membuatku sadar, cepat atau lambat aku harus rela meningalkannya, meningalkan Ruei, meningalkan segala kenangan tentang senja.
Udara pagi ini begitu segar, Ruei membawaku pergi ke taman rumah sakit, beberapa pasien berlalu lalang, kami saling menyapa dan tersenyum. Ruei menyuruhku menunggu pada sebuah bangku di sudut taman, aku menarik nafas, merasakan udara yang masuk mengisi paru-paru, “Selamat pagi Nona Jane” Seorang gadis kecil menyapaku, dia adalah Sarah, usianya sebelas tahun, dia mempunyai Leukimia pada usia yang sangat muda, dia nampak manis dengan topi warna merah muda menutupi kepalanya, “Hai Sarah, selamat pagi” Sarah tersenyum, kemudian memberikan setangkai mawar untukku.
“Ini untukku?”
“Iya, itu untukmu, tapi bukan dariku”
Aku mengeryitkan dahiku, kemudian aku menyuruh Sarah duduk di sampingku, aku memeluk tubuhnya yang mungil “Anak manis, siapa yang menyuruhmu memberikan ini untukku?” Sarah tak menjawab, dia hanya tersenyum, sesaat kemudian dia menunjuk seseorang yang berdiri tidak jauh dari kami, tentu saja aku mengenali sosok itu, Ruei sedang berdiri menatapku “Jadi dia yang memberikan ini untukku?” Sarah menganguk, Aku tersenyum melihat Ruei yang memandangi kami, Ruei berjalan mendekat “Terima kasih” Ucapku pada Ruei “Aku sering melihat kalian berdiri di sana” Sarah menunjuk jendela kaca, pada sudut koridor rumah sakit. “Apa yang kalian lihat dari sana?” Aku dan Ruei beradu tatap “Kami sedang melihat senja” Ruei menjelaskan padanya, “Aku sering melihat kalian dari sini, jika aku sudah mati, selain ayah dan ibu, aku akan mengingat kalian, dan jika aku hidup lagi aku ingin seperti kalian” Aku mempererat pelukanku. Sarah, anak sekecil ini, namun begitu kuat, dia lebih bisa menerima tentang takdir yang digariskan untuknya. Ruei mengusap tanganku yang sedang memeluk Sarah, kami bertiga seperti sedang mencari kekuatan pada diri kami masing-masing. Kekuatan untuk menjalani takdir.
Atas permintaan Sarah, sore ini kami kembali pada jendela koridor, kami ingin menikmati senja hari ini, Sarah bilang ingin memotret kami dari bawah sana, aku melihat Sarah berdiri pada bangku taman, dia tersenyum pada kami, kemudian membidikkan kameranya pada kami, dia melambaikan tangan, senyum Sarah membuatku lebih tenang, hari ini senja begitu merah, semburat jingga lebih terang, membuat kulitku terasa hangat, aku merasakan darah yang mulai menetes dari hidungku, namun aku tidak takut, entah kenapa hari ini semuanya terasa begitu damai, wajah Ruei menegang, aku menarik lengannya, “Jangan pergi, temani aku menikmati senja” Ruei mendekapku, aku tersenyum, ini sudah lebih dari cukup, “Aku mencintaimu Jane” Ruei berbisik pada telingaku, aku menggenggam tangannya yang melingkar pada pinggangku, bias senja memudar, menjadi gelap, menjadi tenang.
Belum ada tanggapan.