“Berilah aku sepotong roti. Anakku sedang kelaparan. Tidak bisakah aku mendapatkan belaskasihanmu tuan. Tolonglah aku. Aku tak tahu di mana lagi aku bisa mengharapkan bantuan.”
“Pergi kau dari sini pengemis. Jangan mengotori tempatku. Aku tak ingin melihat orang sepertimu ada di tempatku.”
“Tolonglah tuan. Tidakkah hatimu tergerak. Biarlah engkau memaki diriku. Tapi tolonglah beri sepotong roti. Anakku sedang kelaparan. Tolonglah tuan.”
“Pergi kau dari sini pengemis. Tidak ada yang gratis di dunia ini. Pergi!!”
###
Panas terik yang begitu menyengat kulitku. Seakan ingin membakar tubuhku. Bahkan seluruh bumi ini. Tak tahu kenapa akhir-akhir ini keadaan cuaca di kotaku begitu panas. Cuacanya juga tidak jelas arahnya. Musim hujan juga tak menentu. Kadang-kadang kota ini diguyur hujan kadang juga tidak. Kadang hujan tapi hanya beberapa detik saja hujan langsung berhenti. Setelah itu akan timbul panas yang begitu panas. Layaknya panas itu sebagai srigala yang terbangun dari tidur panjangnya sehingga amarahnya membuncah. Itulah yang kurasakan saat ini. Panas sekali setelah beberapa detik tadi ada hujan yang turun. Sedikit saja air itu jatuh dari langit. Kasihan juga para petani saat ini yang sedang menantikan hadirnya air yang jatuh dari langit. Aku paham betul bagaimana artinya menanti satu hal yang penting. Curah hujan yang semakin tidak jelas statusnya memang membuat para petani galau memikirkan tumbuh kembang tanaman mereka. Tak ayal mereka hanya pasrah dan menerima keadaan. Syukurlah bahwa mereka masih bisa hidup karena masih ada persediaan beras.
“Buat apa aku memikirkan para petani. Mereka masih bisa makan nasi dengan sayur. Aku hanya bisa makan itu juga kalau aku mendapatkan belas kasihan. Akukan seorang pengemis. Pengemis yang tinggal di kolong jembatan. Malahan aku harus berterimakasih kepada Tuhan karena tidak ada hujan yang deras selama ini. Kalau tidak tempat tinggalku akan hancur dihantam air sungai yang deras. Itu tandanya aku bakal sial berat. Mau tinggal di mana lagi kalau sudah seperti itu. Syukurlah belum ada hujan sejauh ini.”
Aku masih berjalan di atas trotoar sambil memegang sepotong roti. Roti ini lezat sekali. Aku lapar. Belum makan dari tadi malam. Aku kadang-kadang menyeka mukaku yang sudah penuh dengan keringat. Memang sangat panas siang ini. Aku juga mencari masalah dengan berjalan siang bolong begini. Tapi tak apalah tujuanku keluyuran saat ini sudah membuahkan hasil. Sepotong roti. Ini sudah cukup. Aku tak ingin mencari yang lebih.
Kadang-kadang aku melirik ke belakangku. Aku takut ada yang mengikutiku lalu mengambil rotiku. Ini barang penting bagiku untuk hari ini. Sangat penting jadi harus aku jaga erat-erat. Aku terus berjalan sampai di persimpangan jalan lampu lalulintas. Lalu aku melihat ke belakang. Ternyata ada segerombolan orang yang mengejarku. “Sialan”, umpatku. “Hei jangan lari!”. Itu kalimat peringatan untukku dan aku memang harus lari. Aku mulai mengayunkan kakiku dengan cepat. Semakin cepat. Aku tak boleh menoleh kebelakang. Aku harus lari sekuat tenaga agar mereka tidak bisa mengejar aku lagi. Mengapa mereka mengejar aku? Untuk sepotong roti ini? Ini hanya sepotong roti. Seharusnya mereka mengejar para koruptor yang membawa uang ratusan juta bahkan miliyaran bahkan triliun. Masa mereka mengejar aku hanya untuk sepotong roti yang tak ada nilainya sama sekali ini untuk mereka.
“Aku rasa aku sudah berlari cukup jauh dan mereka tidak bisa mengejar aku lagi” pikirku sambil menoleh ke belakang. Benar. Tidak ada lagi segerombolan orang yang mengejar aku. Pikiranku mulai tenang dan aku mulai berjalan lagi. Sat. Pol. PP memang kejam kepada para pengemis.
Masih panas. Kali ini tubuhku sudah basa kuyup. Bagaimana tidak basah kuyup, aku baru saja berlari di tengah terik matahari yang panas. Tak apalah, untuk sepotong roti ini aku rela berbuat demikian. Intinya bahwa aku punya tujuan. Sepotong roti ini berarti bagiku jadi harus kujaga baik-baik.
Aku terus melangkah. Sekarang aku sampai di jembatan tempat tinggalku. “Hei kau pencuri, mau lari ke mana lagi kamu”. Suara itu kembali mengagetkanku. Aku menoleh kebelakang. Mereka lagi. Sat. Pol. PP dan warga. Ternyata mereka masih mengejarku padahal aku sudah berlari sangat kencang tadi. Kurang ajar mereka. Mereka pikir aku sama seperti tikus-tikus rakus di DPR yang mencuri uang rakyat. Aku memacu kakiku untuk berlari lagi. Aku tak berlari ke arah jembatan tempat aku tinggal. Takutnya mereka akan tahu tempat tinggalku. Aku berlari ke arah yang lain. Kali ini aku berlari begitu cepat. Sangat cepat agar mereka tidak bisa mengejar aku lagi. Nanti saja aku pikirkan cara pulangku intinya aku harus menghindari mereka.
Aku terus berlari. Nafasku terengah-engah. Keringat membasahi tubuhku. Bajuku sudah basah kuyup. Tenagaku hampir habis. Tapi aku tak mau berhenti. Terus berlari. Kutambah kecepatanku. Mereka tak boleh mengikutiku lagi. Cukup sudah. Itu tekadku. Biar aku bisa cepat pulang ke tempat tinggalku. Aku mulai capai. Sikitar 5 meter di depanku aku melihat sebuah tempat sampah yang besar. Mungkin aku bisa bersembunyi di dalam situ sambil beristirahat dan melihat situasi apakah aku sudah aman dan tidak dikejar lagi. Aku masuk ke dalam tempat sampah itu. Napasku naik turun. Capek sekali diriku. Tak apalah aku punya tujuan hari ini. Bagaimanapun sepotong roti yang ada ditanganku memiliki makna meskipun aku harus berjuang mendapatkannya seharian ini dan mempertahankannya di siang bolong ini.
Hampir 10 menit aku berada dalam tong sampah ini. Sepertinya mereka tidak mengikutiku lagi. Aku harus segera pulang. Anakku menungguku di kolong jembatan, tempat kami tinggal. Dia sedang kelaparan saat ini. Sepotong roti ini bisa membuat dia kenyang dan tersenyum lagi. Aku harus segera pulang. Aku keluar dari tong sampah ini dan segera pulang ke rumahku. Ku percepat langkah kakiku. Rumah kardus kecilku di bawah kolong jembatan. Rumah terakhirku bersama seorang putriku yang sedang menunggu kedatanganku dengan perut yang kosong. Dia pasti sedang menahan lapar saat ini. Aku harus bergegas. Dia pasti sudah sangat lapar. Sepotong roti ini berarti untuk dia.
Aku sudah dekat rumahku. “Angel”, kuteriakan nama putriku. Dia keluar dari rumah kardus kami. Tersenyum melihatku dan belari menghampiriku. Aku juga sudah rindu padanya. Hampir seharian aku meninggalkan dia sendiri di sini.
“Mari nak, ayo kita masuk ke rumah. Ibu sudah membawa makanan untukmu”. Aku berjalan bersama anakku masuk ke rumah kecil kami. Aku sodorkan sepotong roti itu kepadanya.
“Ibu, mari kita makan bersama-sama. Aku juga tahu ibu belum makan seharian ini”. Aku menggelengkan kepala.
“Tidak nak, ibu sudah makan. Kamu saja yang makan. Ibu tadi sudah makan di warung. Makanlah nak.” Dia langsung melahap sepotong roti itu. Aku bahagia. Dia akan kenyang setelah itu dan aku bisa melihat senyumnya lagi.
“Roti ini enak sekali ibu. Di mana ibu mendapatkan roti ini?” Dia bertanya padaku. “Ibu membelinya di toko roti tadi”. Benarkah ibu. Dari mana ibu mendapatkan uang untuk membeli roti. Tampaknya roti ini mahal harganya. Roti seperti ini hanya bisa dimakan oleh orang-orang kaya ibu.” Aku sadar bahwa seorang anak kecil bisa berlaku begitu polos dan juga tahu apa yang kusembunyikan.
“Ibu tadi mendapatkan uang dari seseorang yang baik. Dia memberikan uang pada ibu lalu ibu menggunakannya untuk membeli roti itu”.
“Harap ibu tidak berbohong padaku. Meski kita miskin aku tak mau melihat ibu mengambil apa yang bukan milik kita”. Kata-kata itu seperti petir yang menyambar hatiku. Namun tak apa. Aku memang harus berbohong. Di dunia sekarang ini tidak ada tempat yang layak bagi kami orang miskin. Dan lagi tidak ada yang gratis bagi kami orang miskin. Roti itu memang kucuri dari sebuah toko roti yang letaknya jauh dari rumahku. Aku terpaksa mencuri roti. Tak apalah, biarpun aku harus mencuri roti setiap hari, semua itu demi anakku. Meskipun mungkin aku akan kedepatan nantinya aku melakukan semua itu demi anakku. Dialah harta yang berharga dalam hidupku. Dialah penyemangatku. Aku akan berjuang demi melihatnya tersenyum lebar ketika perutnya sudah terisi. “Makanlah nak, ibu akan selalu bersamamu”.
Belum ada tanggapan.