iblis-tak-pernah-mati

Bahkan Iblis Pun Tahu Diri

Bahkan iblis pun tahu diri, meminta penangguhan hidup hingga kiamat saat menolak bersujud pada Adam. “Tapi mengapa takdir membawaku sampai di sini?” Hujan menampakkan diri makin deras. Tetesannya menjuntai keras ke emperan toko yang kusinggahi. Satu-satunya cara agar celana dan baju tak basah adalah merapatkan tubuh ke dinding, sambil meringkik menunggu reda.

Sepasang anak sekolah yang ikut berteduh menatapku hati-hati. Barangkali mereka mengira aku orang gila baru. Sang lelaki menyuruh pasangannya berdiri paling pinggir. Sedangkan ia memasang badan di dekatku, dengan lengan baju yang disingsing. Dasar darah muda. Tak bisa membedakan mana yang sebenarnya gila.

Si perempuan bergeser ke tepi. Sesekali pandangannya bersitatap denganku. Ah, mata itu. Mata teduh serupa dengan sepasang mata yang kuhapal betul aroma parfum yang dipakai. Disusul bulu mata lentik nan hitam. Dipadu bibir tipis tak lebar. Menambah kesan ia perempuan menawan. Meski sesungguhnya, cantik tidaknya tidak ditentukan bentuk muka atau warna kulit. Misal kau pergi ke Afrika, sedangkan perempuan cantik menurutmu kudu berkulit putih, maka sampai Israfil meniup sangkakala pun kau belum jua temukan.

Cantika. Begitu nama yang selalu memantrai tubuhku akhir-akhir ini. Dia adikku. Adik bungsu dari tiga bersaudara dan aku tertua. Sepertinya ia sepantaran dengan anak SMA di emperan toko ini. Ah, tidak. Tentu Cantika lebih tua. Barangkali dia lulus kuliah. Memilih bidang yang ia cita-citakan dari kecil. Psikologi.

“Bah, kalau kau jadi psikolog, pikiranku bisa terbaca.”

“Ai, Abang ini. Macam Tuhan saja bisa baca pikiran manusia. Ya, tak mungkinlah, Bang. Nanti kalau aku jadi psikolog, aku siap menampung cerita Abang saat putus sama Mbak Fei.”

“Bah, belum jadi kau malah mendoakan abangmu putus.”

Cantika tertawa. Lalu menarik lengan menuju garasi. Meminta diantar ke sekolah.

“Kau mau diantar? Temanmu nyetir sendiri, kok.”

“Nanti aku telat. Ayo, berangkat!” ajaknya sambil menyodorkan kunci dan helm.

Dibandingkan Dina, adikku yang nomor dua, Cantika paling manja. Apa-apa sering diminta. Tak jarang ia bergelayut mesra, seakan-akan ia kekasihku. Kau tahu, Fei-Fei sempat salah paham dan benar-benar mengira Cantika pacarku. Ah, perempuan. Kalau sudah dihadapkan pada cemburu, laut pun rasanya mau ditumpahkan ke muka.

“Kabari kalau sudah pulang. Nanti Abang jemput.”

Layaknya ajudan memberi hormat pada atasan, Cantika menaruh tangannya di dahi kanan. Aku senyum-senyum geli mendapati tingkahnya yang bagiku –ia tetaplah anak kecil. Usai memastikan Cantika memasuki halaman sekolah, kuarahkan motor menuju toko buku. Sebentar. Jangan kau kira aku mahasiswa yang cerdas, keluar masuk perpustakaan dengan banyak buku di genggaman. Kalau bukan Bu Dewi–dosen pembimbingku yang kelewat pintar itu- tak mungkin kuinjakkan kaki di gedung ini.

Berkali-kali aku ajukan proposal skripsi, beribu kali pula mentah di tangannya. Tulisan itu harus runut. Harus berdasar. Tak boleh asal-asalan. Katanya suatu siang. Boleh jadi kau sibuk mengurus organisasi, tapi jangan lupa kau punya kewajiban skripsi, Ram. Apalagi ini tahun ketujuh kuliahmu. Ai, Bu Dewi ini. Mana mungkin aku lupa. Buntalan kertas itu selalu dibawa tidur dan kujadikan bantal di kamar.

“Perbanyaklah baca. Kau tak mungkin bisa menulis tanpa membaca.”

Kata-kata Bu Dewi seperti ultimatum Belanda di Surabaya. Menakutkan dan aku berusaha tegar. Seketika kuputuskan meminjam banyak buku di perpustakaan atau membelinya di toko buku.

Setibanya di lantai dua, aku tak langsung mencari buku referensi. Mataku tertuju pada rak sastra. Di sana aku melihat tiga buku milik Pidi Baiq. Rasa-rasanya, baru seminggu yang lalu Cantika menonton di bioskop. Tetapi kata-kata Bu Dewi terngiang begitu saja. Membaca takkan sama dengan menonton meski keduanya berandil memberikan pesan. Maka, kuputuskan memborong serial Dilan itu. Meski aku tahu, lelaki yang mendekati Cantika tak senakal Dilan. Setidaknya, Cantika belajar dari Milea dan Dilan bagaimana menghadapi cinta.

Setelah bergeser dari rak buku sastra, dan berniat membeli buku politik hukum, sebuah pesan masuk. Cantika pulang pagi. Ada rapat. Aku menuju kasir lalu turun menuju area parkir. Rasa-rasanya aku ingin menulis surat dan mengirimkannya ke presiden. Siapa tahu berkenan menerbitkan peraturan yang berkenaan dengan rapat sekolah. Aku ingat, dua hari lalu Cantika pulang pagi. Alasannya serupa. Ada rapat. Ai, macam direktur saja rapat terus-terusan. Sayangnya, keinginanku mengirim surat itu harus dikubur dalam-dalam. Sebab aku juga senang saat tak ada dosen mengajar. Entah beralasan sakit, ke luar kota bahkan ke luar negeri, nyatanya kosong pelajaran adalah salah satu surga terindah di dunia pendidikan.

Di sekolah, aku tak melihat Cantika. Halaman parkir juga tersisa sepeda guru-guru. Ai, kemana anak itu. Padahal ia berjanji akan menunggu.

“Abang ini, kakaknya Cantika, bukan?” kata siswa laki-laki. Dari perawakannya dia sama sekali bukan Dilan.

“Tadi ada yang jemput. Seperti bapaknya.”

“Bapak?” kataku tak percaya. Anak itu mengangguk ragu.

Aku mengucap terima kasih lalu melajukan sepeda dengan kecepatan tinggi. Jika benar itu Bapak, aku harus cepat-cepat sampai di rumah. Memastikan Cantika benar-benar di sana atau tidak. Memastikan lelaki itu tak melakukan apa-apa. Lelaki yang amat aku benci sekaligus menaruh hati-hati. Sebab darinya bisa keluar madu sekaligus bisa ular.

Setibanya di rumah, darahku kian mendesir. Pintu depan tak terkunci. Aku lekas-lekas merengsek masuk dan menuju kamar Cantika. Benar dugaanku. Lelaki itu hendak melepaskan pakaiannya dan berusaha menindih adikku. Tanpa berpikir panjang, aku terjang hingga lelaki itu terjungkal. Berkali-kali kepalanya kubenturkan ke dinding. Berkali-kali sampai darah merembes dari kepala, mulut dan hidung. Berkali-kali sampai ia benar-benar mati.

“Lelaki ini tak bisa disebut Bapak, Cantika. Bapak kita telah mati. Ia hanya suami Ibu, bukan bapak kita.”

Cantika kian histeris. Menangis di pelukanku. Sebelum akhirnya aku menyerahkan diri di kantor polisi. Lalu dipindahkan ke lapas ibukota provinsi.

***

Bahkan iblis pun tahu diri, meminta penangguhan hidup hingga kiamat saat menolak bersujud pada Adam. “Tapi mengapa takdir membawaku sampai ke sini?” Hujan menampakkan diri makin deras, bahkan tetesannya menjuntai keras ke emperan toko yang kusinggahi. Satu-satunya cara menyambut hidupku di luar adalah memandang pasangan anak SMA yang mulai ketakutan ini. Ah, Fei-Fei. Kalau bukan karena peristiwa sepuluh tahun lalu, barangkali kita bermesraan seperti keduanya.

Aku menyadari. Segala perjalanan hidup tak bisa ditebak. Seperti sebuah mobil yang melewati kubangan dan menjimpratkkan lumpur ke muka. Anak SMA ini langsung marah. Bajunya kotor. Tetapi pengemudi mobil yang memilih menepi, tak peduli. Anak SMA itu berkali-kali menudingkan telunjuk ke arah pengemudi. Barangkali ia menuntut maaf atau bahkan meminta ganti rugi. Tetapi sekali lagi. Perempuan itu tetap tak peduli. Ia terus berjalan ke arahku. Aku pun menoleh. Bukan ikut marah-marah sebab baju dan muka ikut kotor. Tetapi aroma parfum yang dipakai. Wangi-wangian yang aku hafal baunya.

“Cantika.”

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan