Kehadiran buku 150 Kisah Ali Ibn Abi Thalib (2016) garapan Ahmad Abdul Al Al-Thahthawi, terbitan Mizania ini meneroka pada kita (pembaca) untuk melongok sebentar pada buku-buku sejarah peradaban Islam. Dalam hal ini, kita ingat bahwa peradaban awal Islam, terutama, sejak dimulainya penyebaran ajaran Islam dilakukan Nabi Muhammad saw, terjadi sekitar 622 Masehi. Maka, bila ini menjadi titik tolak untuk mengukur eksistensinya Islam sampai abad ke-21 ini, kira-kira lebih dari1400 tahun.
Dan, selama itu, tak bisa dipungkiri, ajaran Islam, sedikit demi sedikit mulai mengalami pergeseran, perubahan, pengikisan, bahkan pencampuran dengan ajaran lain. Bagi, beberapa kalangan Muslim, biasa disebut: Muslim orthodoks, atau muslim yang berpegang teguh pada aturan dan ajaran agama kuno (sesuai zaman Nabi Muhammad saw), keadaan pada masa sekarang ini menjadi masa ‘darurat’ bagi kita semua—tak sekadar Muslim. Maka, tak ayal, jalan untuk mengembalikan ketauhidan itu, dilakukan baik lewat lisan, tulisan, diimbangi sikap dan perilaku.
Buku, merupakan salah satu jalan, di antara jalan-jalan lain untuk mencapai tujuan itu. Dimana, setiap buku, tak selalu meriwayatkan dan mengulas biografi Nabi, keluarganya, sahabat, para pengikut sahabat, disertai norma-normanya. Maka, seperti yang digarap Ahmad Abdul Al Al-Thahthawi, ia mencoba menyuguhkan kisah beberapa sahabat, salah satunya Ali Ibn Abi Thalib.
Ali Ibn Abi Thalib ini, dalam sejarah peradaban Islam, dikenal sebagai anak pertama yang masuk Islam. Dimana, bila kita ketahui, waktu itu, ia belum balig. Usianya baru sekitar delapan atau sepuluh tahun. Oleh Nizar Abazhah, Ali, yang masih sepupu Nabi Muhammad saw, sangat dicintainya. Dan rasa cinta Nabi pada Ali tak pernah redup. Bahkan, tak pernah Nabi meninggalkannya, merawatnya, hingga dewasa, kecuali saat Perang Tabuk. Nabi meninggalkan Ali di Madinah.
Adapun, bila tiba waktu salat, Nabi mengajak Ali ke celah-celah perbukitan untuk mengerjakan shalat, sembunyi-sembunyi dari orang-orang, termasuk dari Abu Thalib. Ali sering mendapat tugas penting dari Nabi. Dalam banyak peperangan, ia bertugas membawa bendera. Keilmuannya diakui Nabi. Ia orang yang dianggap pantas untuk dimintai keputusan. Kata Rasulullah, “Ali adalah orang yang paling pandai memutuskan perkara.”
Oleh Nizar Abazhah lagi, tak terhitung buku yang mengulas keutamaan keponakan Nabi ini. Dimana, ia (Ali) sendiri telah meriwayatkan 586 hadis dari Rasulullah.
Dan, saat mengetahui hal itu, maka tak aneh bila Ali Ibn Abi Thalib disebut-sebut sebagai sahabat Rasulullah yang memiliki kemampuan ilmu pengetahuan lebih. Seperti, dikatakan Mu’awiyah, saat mendengar wafatnya Ali, begini: “…. Sungguh, engkau tidak tahu betapa manusia telah kehilangan keutamaan, fiqih, dan ilmu dengan wafatnya ‘Ali,” atau khutbah anaknya, Hasan, ketika pasca-wafat ayahnya, “ Seorang laki-laki yang tiada satu pun dari pribadinya yang terdahulu dan akan datang yang bisa menyamai ilmunya, kemarin, telah meninggalkan kalian,” telah tertera dalam buku ini.
Adapun, membaca buku ini, disadari atau tidak disadari, imajinasi kita akan melayang dan melambung pada masa ketika Ali Ibn Abi Thalib masih hidup, wafat, dan setelahnya. Seperti kita disuguhkan bagaimana kisah anak-anaknya, yang menghadapi pergolakan kekuasaan, serta dalam menancapkan panji Islam ke pelbagai daerah. Hanya saja, saat kita mengetahui itu, Ahmad ‘Abdul ‘Al Al-Thahthawi, sadar akan sejarah yang digarap, dan cermat tiap-tiap kisah Ali Ibn Abi Thalib. Yakni, setiap kisah Ali yang dihadirkan penulisnya, dipenuhi hikmah, dan memang kehidupan Ali Ibn Abi Thalib sendiri mengandung hikmah. Seperti, kesederhanaan hidup, keagungan akhlak, kezuhudan, kebijakan dalam menghadapi segala persoalan hidup, kegigihan membela Islam, dan penguasaannya terhadap berbagai disiplin ilmu serta pengamalannya yang memberi banyak manfaat bagi umat, sehingga dapat kita cerap-ejawantahkan dalam keseharian.
Belum ada tanggapan.