mantan-biarawati-gila

Si Gila

Hari ini, tertanggal 05 september 2016. Entah mengapa aku menatap langit biru cerah di siang ini dengan keragu-raguan yang amat dalam. Aku hampir gila karena yakin bahwa satu rahasia tergila tersembunyi di balik keagungannya. Namun aku perlu diam sejenak dan membiarkan hati ini berbicara semaunya dalam keheningan. Hati yang tak semurni hati malaikat. Hati yang dapat remuk di tengah kegelisahan hidup.

Tidak jauh dari tempat aku berdiam diri, seorang wanita tua sedang menari dengan senyumannya yang khas merona pada wajahnya. Tentu saja ia gila. Semua orang tahu bahwa keanehan yang dilakukannya jarang terjadi di tengah keramaian kota. Pakaiannya kusam tak menarik dengan motif penuh bunga seperti hendak ke pantai. Rambutnya pun kusut dibiarkan terurai dengan bebas menjuntai pada bahunya. Ia terlihat cukup rapi untuk kebanyakan orang gila, sehingga aku ragu kalau ternyata ia adalah orang gila yang dipikirkan oleh banyak orang yang menatapnya. Di tengah keramaian ini di mana setiap orang sibuk dengan segala tetek bengek kehidupannya, wanita ini malah menari dengan penuh pesona hingga tak tahu diri.

Apakah ia seorang yang paling bahagia dalam kehidupannya? Sejenak aku bertanya. Apakah kesombongannya itu ingin ditunjukannya kepadaku dengan tak tahu malu, hingga aku iri melihatnya?

Tentu saja orang di sekitarnya merasa terganggu. Seorang asing berkata: “banyak orang dan mungkin semua orang mempunyai batasan dalam bergembira karena waktu selalu habis oleh berbagai masalah kehidupan. Ia pasti sudah gila, karena tak memiliki satu pun masalah yang membuatnya bahagia. Aku iri kepadanya.” Beberapa orang melihat hal itu sebagai hiburan gratis yang menarik, sebab segala sesuatu di dunia ini, apalagi yang menyangkut hiburan mata tak mungkin diperoleh secara gratis. Beberapa orang memilih untuk tinggal sebentar menyaksikan situasi menyenangkan itu, dan aku berpikir kalau mereka pun ingin menjadi gila. Dan ternyata benar, sebagian orang itu sudah menjadi gila karena telah menari bersamanya.

Dengan sedikit menampakan senyuman di bibir, sebenarnya aku diganggu oleh perasaan yang tak kukenal. Rasanya menjadi seperti orang yang paling menyedihkan jika aku terus menyaksikan hal itu. “Aku belum gila dan mungkin akan gila.” cetusku dalam hati.

Kembali kutatap langit ini. Akankah kutemukan sebuah jawaban. langit yang sama pada masa yang silam yang belum kulupa, di tanggal yang sama namun pada tahun yang sudah berbeda. Saat itu aku berumur 8 tahun dan berada di sebuah panti asuhan yang dikelola oleh para suster Alma yang sangat baik. Aku selalu bahagia dan gembira menjalani hidupku sebagai seorang anak panti. Maka tidak heran, jika aku disukai oleh semua anggota panti, waktu itu. Aku selalu mengajak anak-anak yang lain untuk bernyanyi dan menari. Karena dalam hati kanak-kanakku, aku tahu bahwa kami memiliki Tuhan yang selalu menemani hari-hari kami walaupun tanpa orang tua dan kasih sayang dari orang lain. Kami cukup bahagia dengan kehidupan kami. Beberapa orang asing mengira bahwa kami sudah menjadi gila, namun bukankah Tuhan itu hadir dalam pribadi seperti kami? Orang-orang yang kecil dan malang. Untuk sebagian orang, kami tak layak disebut manusia.

Sebenarnya, aku senang jika dikatakan gila, sehingga aku tidak perlu malu untuk bernyanyi, menari dan tertawa. Memang waktu itu umurku masih kecil dan belum mengerti akan kerasnya derita hidup. Namun pada suatu saat yang tak kami duga, panti asuhan kami akan ditutup karena alasan yang tak aku mengerti. Saat itulah kami menyerah dari kegilaan kami dan menjadi pribadi-pribadi yang tak pernah dikenal. Apakah kebahagiaan itu telah direnggut dari kami? Jika kebahagiaan itu hak setiap orang, Mengapa kami tidak berhak memilikinya?. Begitulah tangisan kami terdengar dan tak sanggup kami tutup-tutupi. Berbeda dengan anak kecil, para suster menangis di dalam doa yang hampir mereka pertanyakan. Dimanakah mukjizatMu yang nyata? Mungkin kah Tuhan sedang tidur dan bermimpi kalau kami sedang bernyanyi dan menari-nari?. Mungkin Tuhan pun sudah gila.

Di suatu pagi yang dingin selepas embun, mendung datang muramkan wajah Panti. Ataukah mungkin langit pun lupa untuk menangis bersama kami, tak mau lagi bercerita tentang pelangi yang indah. Aku menyaksikan seekor kupu-kupu dapat terbang dengan bebas setelah terlepas dari kepompongnya di sebatang ranting. Aku sadar di dalam otakku yang kecil ini bahwa Tuhan itu ada. Ia tahu kalau aku pun ada. Aku yakin bahwa Ia senantiasa mendampingi anak-anakNya. Dalam hati anak kecilku waktu itu, imanku sangat kuat. Kami harus sabar, itulah mengapa kami selalu mencintai-Nya. Saya yakin kalau kami pun dapat menjadi seperti kupu-kupu yang indah dan bahkan Tuhan dapat mendandani kami melebihi kupu-kupu itu. Disitulah kegilaanku berkobar-kobar. Aku mulai kembali bernyanyi dan menari. Dan tidak ada sanksi untuk hal itu. Semua anggota perlu gila agar sedikit dapat melupakan masalah yang terjadi. Para orang dewasa mulai bernyanyi sambil tertawa seolah-olah kejadian yang tengah terjadi adalah lelucon di malam minggu. Para suster bergandengan tangan, sambil meneteskan air mata, mereka tertawa.

Kini kami benar-benar terbebas dari kegilaan itu yang kami anggap sebagai penderitaan tanpa sebab dan kini kami telah dewasa dan sukses menjadi orang berkarir. Bukankah saat kita berhasil, kita akan dihormati mungkin dengan sebab? Entahlah,memang kehidupan ini sulit dimengerti. Setelah usaha dari para suster, kami mendapat asuhan yang baik dari orang tua yang mengangkat kami menjadi anak mereka. Dan wanita itu, yang sedang menari bersama orang-orang itu, yang hampir membuatku gila, ialah ibu asuhku. Karena tak satu pun orang tua yang mau merawat aku karena menganggapku gila, aku pun tinggal di sebuah panti asuhan lain, hingga kudapatkan sesosok manusia yang berani keluar dari tembok yang memisahkannya dengan sesama. Dialah ibuku yang aku banggakan. Ibuku yang dikatakan orang sebagai mantan biarawati. Mungkin aku memanggilnya si gila. Karena kami memiliki harapan yang tidak dimiliki banyak orang. Harapan kami adalah membahagiakan orang lain yang dianggap gila. Agar mereka terus bernyanyi dan menari, hingga kegilaan membuat mereka bahagia. Ah, saat ini aku ingin tertawa sejadi-jadinya. Mangapa aku tidak menyadari kalau hari ini adalah hari ulang tahunku? Mungkin itu yang membuat ibuku ini menari penuh gembira. Selalu saja, di hari ulang tahunku dia menunjukkan hal-hal yang aneh kepadaku. Sebenarnya aku ini lebih aneh daripadanya, lebih gila dari kelihatannya. Namun, layaknya seorang penyair dan seniman, aku butuh sensasi atau inspirasi yang menggetarkan. Dan wanita ini, adalah inspirasiku yang sangat aku puja melebihi siapapun di dunia ini. ya, dia ibuku. Dia yang selalu aku banggakan, dialah pelita di malam gelapku, dan cahaya yang tak pernah padam di hatiku.

Aku pun sadar, aku seharusnya menari saat ini. Biar dunia tahu bahwa setiap orang seharusnya bergembira. Dan menari bersama, bukankah jauh lebih menyenangkan? Aku mau menari dan terus menari bersama kamu, dia , kita, mereka, hingga orang asing itu berkata bahwa dia, mereka, sudah gila.

Ledalero, 29 april 2016
Saat sensasi itu ada

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan