Kalau aku sampai mati dalam tidurku, aku berdo’a semoga Tuhan menerima jiwaku di sisi-Nya. Kalau aku sampai mati dalam tidurku, aku berdo’a semoga Tuhan menerima jiwaku di sisi-Nya. Kalau aku sampai mati dalam tidurku, aku berdo’a semoga Tuhan menerima jiwaku di sisi-Nya. Kalau aku sampai mati dalam tidurku, aku berdo’a semoga Tuhan menerima jiwaku di sisi-Nya…
Membaca cerita horor memang memiliki keasyikan tersendiri. Cerita horor mempunyai hal-hal menakutkan yang dapat membuat pembaca merasa ketakutan sekaligus penasaran. Lalu, bagaimana rasanya membaca cerita horor untuk anak-anak?
Cerita horor untuk anak biasanya identik dengan boneka yang bisa berjalan sendiri, monster-monster menyeramkan, dan benda-benda aneh yang menimbulkan kekacauan, seperti cerita dalam Goosebumps karangan R.L. Stine. Selain itu, beberapa cerita horor untuk anak berakhir dengan ide bahwa bukan hantulah yang telah menakuti-nakuti si anak, namun bayangan ketakutan yang diciptakan oleh si anak sendiri.
Namun tidak dengan novel ini. Setelah sukses dengan novel bertema horor sebelumnya, Devil’s Footsteps, E.E. Richardson berhasil membuat anak-anak ketakutan lagi dengan novel bertema sama, yakni The Intruders. Tidak seperti dalam cerita horor untuk anak-anak lainnya, The Intruders benar-benar memiliki “arwah” dalam ceritanya, yakni arwah dari seorang anak yang telah dibunuh, yang terperangkap di dalam sebuah rumah tua tak berpenghuni.
Dikisahkan, Joel Demetrius dan Cassie, kakak perempuannya, pindah untuk tinggal bersama calon keluarga baru mereka. Ibu mereka, Amanda, berencana akan menikah dengan Gerald Wilder. Gerald mempunyai dua orang putra bernama Tim dan Damon. Usia keempatnya hampir sama: Joel hampir sebaya dengan Tim, dan Cassie hampir sebaya dengan Damon. Bagi Joel, anak-anak keluarga Wilder bisa menjadi teman baru baginya. Tapi, bagi Cassie, calon keluarga barunya itu penganggu. Joel justru tidak terlalu memikirkannya; dia hanya bersemangat dengan hal-hal baru yang menantinya, terutama rumah baru itu.
Rumah yang akan mereka tempati adalah sebuah rumah tua yang sudah bobrok. Dulunya rumah itu pasti bagus. Namun karena ditelantarkan, rumah itu dipenuhi bau apak dan banyak pelapis dindingnya yang sudah mengelupas. Yang menyenangkan dari rumah itu, menurut Joel, yakni ruangan-ruangannya yang lebih luas jika dibandingkan dengan apartemen keluarganya dulu. Ada juga loteng dan gudang bawah tanah, yang entah kenapa segaja dibangun berukuran kecil, seolah-olah ada ruang tersembunyi di balik keempat tembok gudang. Menurut Amanda, rumah itu dibangun oleh seorang kaya bernama Patrick Sanderson. Dia dan istrinya, Victoria Hawkins, tinggal di situ selama beberapa waktu.
Awalnya, semua terlihat baik-baik saja—kecuali pertengkaran Cassie dengan Damon—sampai kejadian-kejadian aneh mulai bermunculan. Pada malam pertama mereka pindah, kamar Cassie dibuat berantakan. Sampah yang sudah dibungkus rapi di halaman juga berceceran. Damon dan Cassie saling menyalahkan atas kejadian-kejadian aneh itu. Joel dan Tim, yang lebih muda usianya, mulai melihat penampakan-penampakan aneh; sosok kurus dan kecil seperti anak-anak yang berlari cepat. Hantu itu terlihat di mana-mana; di sudut mata Joel, di taman, di lorong, dan bahkan di kamar mandi.
Joel dan Tim juga mengalami mimpi-mimpi buruk seperti dikejar sesuatu. Ada seseorang yang mengejar mereka, dan mereka harus berlari sepanjang rumah, bersembunyi agar tidak ditemukan oleh si pengejar itu. Dalam sebuah mimpi, Joel melihat ada seorang anak yang bersembunyi di lemari sambil mengulang-ulang potongan doa:
“Kalau aku sampai mati dalam tidurku, aku berdo’a semoga Tuhan menerima jiwaku di sisi-Nya. Kalau aku sampai mati dalam tidurku, aku berdo’a semoga Tuhan menerima jiwaku di sisi-Nya. Kalau aku sampai mati dalam tidurku, aku berdo’a semoga Tuhan menerima jiwaku di sisi-Nya. Kalau aku sampai mati dalam tidurku, aku berdo’a semoga Tuhan menerima jiwaku di sisi-Nya…” (hlm 76).
Joel mulai dihantui penampakan lainnya, seperti bayangan darah dan pisau di kamar utama. Dia juga menemukan sebuah foto. Dalam foto itu, ada dua gambar anak laki-laki kurus dan berambut hitam, yang anehnya mirip dengan hantu anak-anak yang sering dia lihat. Hal-hal aneh terjadi semakin intens, dan membuat Joel dan Tim berpikir bahwa memang ada sesuatu di rumah itu. Keempat anak itu akhirnya melakukan ritual untuk berkomunikasi dengan arwah. Pertama, di loteng. Kedua, pada suatu malam berbadai di ruang tamu. Hantu itu selalu mengatakan escape—kabur, dan no escape—tidak bisa kabur.
Usai ritual komunikasi dengan arwah yang kedua itu, badai semakin mengamuk dan membuat keempat anak itu mencari tempat yang aman di dalam rumah, mengingat rumah mereka sudah bobrok; apalagi ditambah dengan badai. Ketika sedang berlindung di kamar utama, keempat anak itu melihat bayangan darah di mana-mana. Joel dan Tim menyadari bahwa hantu si pengejar juga berusaha mengejar mereka, ketika mendengar pintu belakang terbanting. Mereka semua berlari menyelamatkan diri, seolah-olah mengulangi mimpi buruk Joel dan Tim.
Joel berusaha memecahkan apa arti semua itu: penampakan hantu anak-anak kurus, perasaan ingin kabur dan bersembunyi dalam mimpinya, nama “Michael H” yang terukir di lemari di loteng, foto misterius itu, serta bayangan pisau dan darah di kamar utama. Dia juga menghubungkannya dengan informasi yang dia temukan di perpustakaan kota beberapa waktu lalu: Patrick Sanderson sebenarnya hanyalah orang gila yang begitu terobsesi pada rumah sampai-sampai istrinya meninggalkannya. Pada akhirnya, Sanderson ditemukan bunuh diri.
Joel menyadari ada ruang kosong dalam mimpi dan ingatannya. Adanya bayangan darah dan pisau membuat Joel mengira-ngira bahwa anak-anak itu pasti dibunuh oleh si pengejar itu, yang entah kenapa tidak terungkap identitasnya—atau mungkin arwah anak-anak itu tidak bisa mengungkapkannya. Siapa sebenarnya arwah anak-anak itu? Kenapa arwah anak-anak itu selalu berkata “tidak bisa kabur”? Lalu, benarkah istri Sanderson benar-benar meninggalkannya?
Puncaknya, ketika keempat anak itu bersembunyi di gudang bawah tanah, Joel menemukan kenyataan mengerikan yang tersembunyi dengan rapi selama bertahun-tahun, -jawaban atas semua pertanyaan yang menghantuinya semenjak dia menginjakkan kaki di rumah bobrok itu.
Di Indonesia, novel ini sudah diterjemahkan dengan judul Para Pengganggu. Novel ini cukup unik, karena jika dibandingkan dengan cerita horor untuk anak-anak lainnya, novel ini berhasil melibatkan arwah dan bukannya monster-monster sebagai sosok yang ditakuti anak-anak. Atmosfer kengeriannya membuat pembaca serasa diteror. Setiap babnya dikisakan dengan begitu mencekam, bahkan orang dewasa yang membacanya pun bisa ketakutan. Pada akhir cerita, Anda akan mengetahui siapa pengganggu sebenarnya. Apakah anak-anak keluarga Demetrius? Ataukah anak-anak keluarga Wilder? Ataukah sesuatu yang lain dalam rumah itu?
Judul : Para Penganggu
Penulis : E.E. Richardson
Penerjemah : Mukti Mulyana
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Tebal : 240 halaman
Terbit : Juni 2008
Belum ada tanggapan.