Saya mengingat Thomas Stamford Raffles sebagai seorang yang menulis The History of Java. Apa yang saya fahami ini tentu amat bertolak belakang dan sangat jauh dari yang dipaparkan oleh Tim Hannigan dibukunya Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa (2015). Membaca buku Hannigan, kita tak hanya diajak untuk membuka-buka kembali buku-buku sejarah yang ada dan mengoreksi pemikiran kita tentang apa yang terjadi berabad lampau. Yang ada di buku-buku sejarah kita hanyalah narasi pendek mengenai pergantian kekuasaan kolonial dari Belanda ke Inggris, yang dimulai pada tahun 1811 kemudian direbut kembali Belanda di tahun 1816.
Sistem sewa tanah yang diterapkan oleh pemerintahan inggris dianggap lebih meringankan daripada sistem tanam paksa yang dilakukan oleh pemerintahan belanda di masa itu. Di hampir buku-buku sejarah semasa saya sekolah amat berbeda dengan paparan Hannigan. Hannigan tak hanya menelusuri arsip-arsip di British Library dan membeli koleksi dan data yang berlimpah mengenai invasi inggris di jawa.
Ia juga membaca dan membandingkan referensi-referensi yang ditulis baik oleh isteri Raffles sendiri maupun oleh para penulis biografinya yang lain. Awal Raffles tiba di Batavia, ia sudah merancang bagaimana Palembang harus jatuh tanpa mengotori tangan Raffles. Dengan korespondensi dan surat menyurat dengan Sultan Badaruddin, Raffles telah membersihkan Belanda dari Palembang dan menguasainya. Hannigan menulis : Thomas Stamford Raffles mungkin tidak meminta secara langsung untuk membasmi komunitas Eropa kecil yang kesepian di Palembang ; dia bahkan mungkin tidak menginginkannya (meski pengiriman senjata merupakan tindakan yang bisa menjebak). Namun melalui kombinasi ketamakan dan kenaifan, dia telah menenggelamkan Belanda di Sungai Musi (h.155). Kekejaman Raffles sendiri memang tidak langsung ia lakukan, tetapi melalui pengiriman senjata dan korespondensi dengan Sultan Badaruddin, membuat Sultan susah untuk menentukan pilihan selain mengusir komunitas kecil Eropa yang sebagian besar orang Belanda.
Cerita lain tentang kekejaman Raffles juga berlangsung di Yogyakarta. Pada tanggal 20 juni 1812, Raffles telah berhasil meluluhlantakkan Yogyakarta dengan menghancurkan 11.000 prajurit dibawah pimpinan John Crawfurd dan Rollo Gillespie. Invasi ini berakibat hancurnya kerajaan Yogyakarta dan membuat para abdi kerajaan, hingga selir serta pelayan Sultan kocar-kacir. Raffles melucuti senjata mereka dan membuat Sultan Hamengku Buwono Kedua dipermalukan dengan tidak sopan. Hannigan mengisahkan kejadian memilukan ini denga sangat apik. Dalam panasnya suasana sosok Sultan tetap dihormati, keluarganya diamankan dan dilindungi. Dan harta miliknya tidak sedikitpun dijarah atau disentuh. Pernyataan tersebut ditujukan bagi publik India dan Inggris, dan bagi ahli sejarah patriotik kelak. Namun mereka yang berada di Yogyakarta pasti mengernyitkan dahi dan mengangkat alis ketika mereka membaca pengumuman itu. Jelas omong kosong (h.222).
Melalui buku ini, kita diajak untuk tak percaya sepenuhnya bahwa Raffles mencipta buku The History of Java yang mahsyur itu. “ The History of Java hanya praktik besar plagiarisme yang diizinkan. Meski buku itu berisi banyak klaim bahwa Belanda tidak berminat dengan sejarah dan budaya Jawa sebelum inggris tiba, Raffles menggunakan catatan dan naskah yang dia temukan di perpustakaan Buitenzorg ; terjemahan yang disebut di catatan kaki hanyalah terjemahan dari terjemahan, dan dia terkadang menggunakan keahlian orang Belanda berpengalaman ketika berburu rincian budaya yang kurang jelas. Namun yang lebih penting Raffles menggunakan sepasukan pengganti Leyden untuk pekerjaan lapangan (h.249). Bahkan Susuhunan pun diperintahkan untuk mencatat sejarah Mataram dengan narasumber orang-orang tua yang bijak di istana. Karya orang-orang yang tidak dikenal dan telah lama terlupakan itu memberi dasar untuk The History of Java (h.255).
Gagasan utama buku ini mengajak kita untuk tak mempercayai sepenuhnya dongeng dan kisah tentang kolonialisme inggris yang dianggap lebih lunak dibanding dengan masa kolonialisme Belanda. Dengan gaya penceritaan yang memikat, buku ini mengajak kita untuk menelusuri masa silam kita yang kelam di bawah alam kolonialisme terutama ketika dibawah invasi Inggris yang dipimpin Raffles. Buku ini telah mengubah dan merekonstruksi ulang sosok Raffles yang liberal, visioner, dan ilmuwan botani menjadi sosok yang kejam, bengis dan memuja kekayaan.
*)Penulis adalah Alumnus UMS, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
Belum ada tanggapan.