Nama buku : Kebudajaan Rakjat
Serial : –
Penulis : S Mangunsaskoro
Penerbit : Usaha Penerbitan Indonesia N.V Jogja
Tahun Terbit : 1951
Halaman : 38 Halaman
Sumber : Koleksi Pribadi
Membidani lahirnya kebudayaan baru bukanlah perkara mudah. Apalagi jika kondisi masyarakat masih belum mendukung. Kelahiran kebudayaan baru dirasa akan semakin sulit.
Hal inilah yang dialami oleh Mas Marco Kartodikromo, Sutan Takdir Alisjahbana, S Mangunsarkoro dan Joebar Ajoeb. Mereka adalah bidan-bidan kebudayaan yang bermimpi mencipta kebudayaan baru bagi masyarakat indonesia.
Jika Mas Marco disebut Pramoedya sebagai pelopor kebudayaaan sosialis awal, maka Sutan Takdir adalah pelopor kebudayaan baru yang berorientasi ke barat. Lewat majalah bertajuk Pujangga Baru, Sutan Takdir mernggebrak khasanah kebudayaan kita dengan tawaran alternatif. Digiringnya kebudayaan kita untuk mengimami kebudayaan barat. Dalihnya adalah agar masyarakat kita lebih modern dan maju.
Alih-alih tergapai cita-cita menghidupkan kebudayaan barat di Indonesia, bangsa Belanda malah keburu kalah perang oleh Jepang. Belanda yang barat dan diagungkan oleh Sutan Takdir, tumbang di ujung samurai Jepang yang timur. Akibatnya tamatlah kehidupan kebudayaan barat di bumi pertiwi.
Namun, itu bukan berarti akhir dari gerakan pembaruan kebudayaan di negeri ini. Setelah Belanda kalah perang, kita mengalami kebudayaan baru yang berorientasi ke timur, tepatnya ke Jepang. Sebagai pewaris syah kekuasaan kolonial Belanda, bangsa Jepang mempromosikan keluhuran budayanya sebagai kebudayaan nomor wahid di dunia. Kebudayaan Jepang di impor ke Indonesia hingga sampai ke pedalaman yang paling terpencil. Bangsa Indonesia mabuk kebudayaan jepang. Kehebohan itu seketika terhenti saat kita mengalami apa yang disebut sebagai revolusi agustus 1945.
Sekelumit gerak dinamis kebudayaan bangsa Indonesia tersebut adalah salah satu bahasan S Mangunsaskoro dalam buku berjudul Kebudajaan Rakjat (1951). S Mangunsaskoro melalui buku Kebudajaan Rakjat hendak memperkenalkan kepada kita sketsa-sketsa kebudayaan rakyat yang pernah berkembang dan diupayakan eksistensinya di Indonesia.
Saat buku ini pertama kali ditulis, bangsa Indonesia baru menggenggam kemerdekaan selama 6 tahun. Sketsa-steksa teoritis dan definitif sepeti itu memang sangatlah penting bagi bangsa yang baru lahir. Seketsa-seketsa kebudayaan rakyat yang ditampilakan S Mangunsaskoro ialah sketsa-sketsa yang paling awal yang membahas persoalan kebudayaan rakyat pasca Indonesia merdeka.
Bukti dari pentingnya buku Kebudajaan Rakjat (1951) karya S Mangunsaskoro bagi tonggak awal perkembangan kebudayaan rakyat Indonesia adalah pengakuan Jaboar Ajoub, Seketaris Umum Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) di tahun 1957. Dalam buku berjudul Sebuah Mocopat Kebudaaan Indonesia (1990) Joebar Ajoeb menulis:
“Ki Mangunsaskoro, di samping seorang pemimpin Partai Nasional Indonesia, juga salah seorang pemuka Taman Siswa. Dan Taman Siswa bukan hanya sebuah gerakan pendidikan nasional, tetapi juga sebuah gerakan kebudayaan nasional pertama yang modern. Taman Siswalah gerakan kebudayaan nasional pertama yang dengan sadar-sesadar sadarnya menempatkan “politik” sebagai kredonya.
…
Konsepsi “kebudayaan rakyat” Ki Mangunsaskoro bukan hanya sekedar bertolak dari rakyat dan kerakyatan yang anti imperialisme dan kolonialisme, tetapi juga anti feodalisme. Beliau menempatkan perjuangan melawan feodalisme sebagai yang tak terpisahkan dari perjuangan melawan imperialisme. Hanya dengan demikian kebudaaan nasional yang berdasarkan pancasila itu dapat dibangun (Ajoeb 1990, 32:35).
Kesadaran akan pentingnya peranan rakyat dalam pembentukan budaya poluler di buku S Mangunsaskoro bisa dibilang mengilhami gerakan kebudayaan selanjutnya yang digawangi Lekra. Secara eksplisit Joebar Ajoeb mengganggap penting keberadaan Taman Siswa dan terbitnya buku Kebudajaan Rakjat (1951) karya S Mangunsaskoro bagi perkembangan kebudayaan di Indonesia. Dengan kata lain, buku karya S Mangunsaskoro adalah buku yang menjadi rujukan bagi para pegiat Lekra dalam merealisasikan sketsa kebudayaan rakyat di Indonesia.
Dengan pertimbangan tersebut, akan sangat mustahil bagi generasi yang dibesarkan dalam alam politik orde baru atau dalam alam politik reformasi untuk mengabaikan peranan S Mangunsaskoro dan buku Kebudajaan Rakjatnya, saat membahas dinamika kebudayaan yang pernah terjadi di Indonesia. Pengabaian peranan S Mangunsaskoro dan buku Kebudajaan Rakjatnya sama halnya dengan penghilangan satu fragmen sketsa gerak dinamika kebudayaan Indonesia. Dengan begitu gambaran utuh tentang pasang surut dinamika kebudayaan tidak akan didapatkan. Sebab satu fragmen yang berkisah tentang sketsa kebudayaan rakyat telah hilang. Alhasil, kita akan tetap memiliki titik buta dalam merangkai sketsa kebudayaan rakyat yang pernah terjadi di Indonesia.
Belum ada tanggapan.