Oleh: Arif Saifudin Yudistira*
Riwayat Soekarno seperti tak habis diceritakan. Meski ia sudah wafat puluhan tahun yang lalu, kisah tentangnya seperti tak habis. Namanya membesar seiring dengan besarnya bangsa Indonesia. Soekarno dikenal sebagai pencetus pancasila, sekaligus bapak proklamator negeri ini. Hidupnya penuh dengan teka-teki, banyak orang yang memujanya, tetapi di akhir hidupnya, banyak orang menghujat dan mengkritiknya. Pamor dan kebesaran namanya tak hanya dikenal di dalam negeri, tetapi juga sampai luar negeri. Pelbagai kajian dan penelitian terhadap pemikiran dan kepemimpinannya begitu banyak baik dari sejarawan dalam negeri maupun luar negeri.
Di tahun 2014 kita disuguhi buku tentang Soekarno yang ditulis oleh Sejarawan Peter Kasenda, diterbitkan oleh Komunitas Bambu. Di tahun sebelumnya, kita menemui buku Petite Historie 5 garapan Rosihan Anwar terbitan Gramedia. Di buku serial Petite Historie dipaparkan sisi lain Soekarno yang lebih dalam dari pandangan seorang wartawan. Soekarno bukan hanya presiden yang akrab, tetapi ia juga presiden yang memiliki selera humor yang tinggi.
Ini sejalan dengan apa yang ditulis oleh Walentina Waluyanti De Jonge penulis buku ini tatkala mengisahkan perbedaan Orasi Pak Tjok dengan Soekarno. “Pak Tjokro monoton dan tidak bergaram. Monoton, tidak mengatur kapan harus meninggikan atau merendahkan suara. Tidak bergaram, pidato pak Tjokro tidak punya sentuhan humor, atau menurut istilah Bung Karno, “Tak pernah membuat lelucon” (h.34). Berbeda dengan Tjokro, Soekarno adalah orator ulung yang memperhatikan intonasi, memperhatikan kapan harus melucu dan kapan harus serius. Karena itulah, publik tak bosan meski pidato diucapkan berjam-jam lamanya.
Buku garapan De Jonge ini menguak sisi lain kehidupan Soekarno yang jarang diungkap. Di buku ini kita akan menemukan kisah tentang Soekarno dari kehidupan pribadi sampai kehidupan politiknya. Dari sisi kehidupan pribadinya misalnya, dikisahkan mengenai kehidupan pribadi Soekarno yang waktu itu sudah menikahi Inggit Garnasih dan belum mendapatkan pekerjaan. Sewaktu itulah, Bung Karno sering mendapat suguhan teh pahit dari Inggit karena tak memungkinkan membeli gula. Begitupun para tamu yang hadir pada waktu itu.
Kita juga akan menemui bagaimana kisah Soekarno yang terpaksa mengucapkan sindiran tak sedap tatkala melihat kembali gadis pujaannya semasa di HBS, Mintje. Soekarno menuturkan pengalamannya ketika puluhan tahun tak bertemu Mintje. Ia menuturkan pengalamannya ini kepada Cindy Adams. “Dia seorang nyonya tua dan gemuk. Jelek, badannya tak terpelihara”. Kepada Soekarno yang terlihat pangling, Mintje menanyakan kepada Soekarno “ Dapat kau menerka siapa saya ini?” Soekarno menjawab “saya tidak dapat menerka siapakah Nyonya”. Tetapi di waktu membaca buku yang ditulis Cindy Adams, Soekarno menyesal mengucapkan kata-kata demikian kepada Mintje.
Pada kisah lain di buku ini diceritakan mengenai betapa sedihnya hari-hari terakhir Soekarno. Soekarno merasa sedih sekali tatkala ia dijauhi dan ditinggalkan rakyatnya. Di akhir kepemimpinannya, Soekarno banyak mendapat tuntutan pembubaran PKI. Tuntutan ini juga datang dari Soeharto, ketika ditanya mengenai pembubaran PKI oleh Soeharto, Soekarno menjawab: “Muka saya mau ditaruh di mana, Har, kalau saya melarang PKI” (Soekarno menyapa Soeharto dengan panggilan Har). Nasakom ( Nasionalisme, Agama, Komunisme) adalah konsep yang dibentuk oleh Soekarno. Konsep NASAKOM pada waktu itu merupakan konstruksi gabungan dari partai yang menyatakan dukungannya kepada pancasila. Terdiri dari tiga partai Nasionalis, tiga partai Islam, dua partai Kristen, dan dua partai Marxis, diantaranya PKI (h.163). Karena sikap Soekarno yang tak mau didekte itulah, Soeharto mengambil jalan tengah dengan mengambil strategi lain yakni—“kudeta merangkak” meminjam istilah Wertheim mengenai gerakan Kudeta 65.
Sedang Bernhard Dahm penulis buku biografi Soekarno menuliskan pendapat yang lain mengenai alasan mengapa Soekarno tak membubarkan PKI. Dalam percakapan dengan Soekarno beberapa minggu sebelum ia dipecat, Bernhard Dahm bertanya “ Mengapa Anda tak membubarkan PKI?” Soekarno menjawab “Kita tidak dapat menghukum suatu partai secara keseluruhan karena kesalahan beberapa orang”. Ketika Dahm menanyakan balik bahwa Soekarno pernah membubarkan PSI dan Masjumi di tahun 1960-an, Soekarno mengatakan “Masjumi dan PSI telah merintangi penyelesaian revolusi kami. Akan tetapi, PKI merupakan pelopor kekuatan-kekuatan revolusi. Kami membutuhkannya bagi pelaksanaan keadilan sosial dan masyarakat yang makmur” (Dahm, 1968:xiv).
Kisah Soekarno sebagai seorang yang pernah besar dan membesarkan bangsa ini begitu menyedihkan. (Baca juga Kisah Soekarno yang Tersembunyi) Soekarno menulis dalam catatan hariannya, ia mengutip filsuf Jerman “ Man toten den Geist nicht” (tak ada yang bisa membunuh jiwa). Ia mengatakan “Aku ingin mati ditembak saja”. Di buku Petite Historie 5 Rosihan Anwar menuliskan betapa kesepiannya Bung Karno : “Saya mau terus terang kepada dokter. Saya merasa kesepian sekali. Tidak seorangpun mengunjungi saya”. Kisah Soekarno memang seperti tak ada akhir. Di buku ini, ditulis pula mengenai Kapten Westerling yang menyepelekan Soekarno melalui candaannya ketika ia gagal mengkudeta Soekarno. Ia menjawab tatkala ditanya “Mengapa Anda tidak menembak saja Soekarno waktu melakukan kudeta?”, lalu Westerling menjawab : “Orang Belanda itu perhitungan sekali. Satu peluru harganya 35 sen. Sedangkan harga Soekarno tak lebih dari 5 sen. Jadi rugi 30 sen. Kerugian yang tak dapat dipertanggungjawabkan” (h.103).
Nama Soekarno tetap tak bisa dilupakan oleh rakyat Indonesia meski semenjak naiknya Soeharto hampir selalu dikumandangkan desoekarnoisasi melalui banyak cara bahkan di buku pelajaran sekolah-sekolah kita. Namun demikian, kontributor majalah Gatra (1/6/2013) untuk Rusia memberikan pengakuan betapa nama Soekarno masih memukau “Ia adalah presiden yang terkenal di seluruh dunia, ia membawa nama Indonesia ke mana-mana setelah merdeka, pidatonya begitu memukau masyarakat dunia termasuk Russia, orang-orang terpikat mendengarkan pidatonya”.
Meski Soekarno sudah wafat, namun jasa dan perannya di negeri ini tetap dikenang oleh seluruh rakyat indonesia. Mengutip kalimat dari penulis bahwa “Tak ada kekuasaan yang abadi. Setiap saat kekuasaan bisa saja jatuh. Namun, ada satu hal yang tak perlu ikut jatuh bersama kekuasaan, yaitu kehormatan”. Soekarno meski dijatuhkan dengan cara yang tidak terhormat, ia tidak membawa satu harta pun kekayaannya dari negara. Ia pun harus merelakan kekuasaannya diduduki oleh Soeharto yang sering menamakan pemerintahannya sebagai Orde Baru.
Judul Buku: Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen
Penulis: Walentina Waluyanti De Jonge
Penerbit: Galang Pustaka
Tahun: 2014
Halaman: 209
ISBN: 978-602-9431-29-2
*) Penulis adalah Pegiat Bilik Literasi, Pegiat Komunitas Tanda Tanya, Menulis di www.doeniaboekoe.blogspot.com
Gmn caranya mau beli buku2 soekarno ini ya?