“Memproduksi ide dan memperjelas jalan yang harus dilalui adalah kegiatan yang paling penting dalam pelaksanaan kekuasaan.” Pernyataan menarik dari buku tipis dengan ide besar. Jika Anda tertarik dengan pemikiran “kiri”, maka tulisan besutan Pustaka IndoPROGRESS ini bisa jadi opsi menarik.
Marta Harnecker adalah penulis bukunya. Dia adalah mantan mahasiswa Louis Althusser, filsuf tersohor asal kota mode, Prancis. Kita semua tahu, Althusser adalah sosok berpengaruh dalam berbagai lini pemikiran “kiri” kontemporer. Harnecker disebut-sebut sebagai salah seorang pendukung penting ide-ide Althusser (hlm. 126).
Perempuan kelahiran Chili ,1937 adalah seorang psikolog, penulis, sekaligus jurnalis. Dia pernah bekerja pada lembaga penelitian Centro Internacional Miranda. Selain itu, dia juga aktif sebagai penasehat pada berbagai lembaga di Venezuela.
Tujuan buku ini ditulis untuk menjelaskan sosialisme abad 21 (SA21) dalam konteks Amerika Latin. Mantan presiden Venezuela, Hugo Chavez adalah pemopuler istilah ini. Kata ini pertama kali diucapkannya pada pidato Konferensi Puncak Hutang Sosial Keempat, 24 Februari 2005. “Kita harus menciptakan sosialisme abad keduapuluh satu”, begitu kutipan orasi “Bung Karno” dari Venezuela ini.
Buku ini menjadi penting dibaca mengingat gagasan sosialisme mulai naik daun di Indonesia. Orang tidak lagi takut membicarakan paham Marxisme dan berbagai turunannya. Gelaran diskusi banyak diselenggarakan membahas perihal ini. Sudah mulai banyak juga artikel di internet muncul dengan gagasan progresif.
Selain itu, kita harus akui, sejak tragedi 65, bisa dikatakan kalau kita kering dalam teori revolusioner. Kesudahannya, kita pun miskin dalam gerakan. Kita jadi dingin di hadapan status quo. Jadi benarlah perkataan Lenin, “Tanpa teori revolusioner tak mungkin ada gerakan revolusioner.” (1902). Lektur ini setidaknya mengisi kekosongan teoretis itu. Setidaknya, bacaan ini bisa menambah khasanah pemikiran sosialisme di Indonesia.
Sampulnya dominan berwarna merah. Che Guevara dan Hugo Chavez disorot sebagai ornamen utama. Secara pribadi, komposisi warna bungkusan buku cukup menarik.
Walau demikian, desainnya, menurut saya, tidak mencerminkan isi buku secara keseluruhan. Buku ini mengangkat wacana sosialisme Amerika Latin. Sehingga, dengan hanya menonjolkan kedua tokoh ini, terjadi proses simplifikasi. Seolah, persoalan sosialisme Amerika Latin hanya direpresentasikan oleh konteks Kuba dan Venezuela. Padahal, dalam buku ini jelas tersurat bahwa gerakan sosialisme memiliki ciri khasnya masing-masing. Seperti kata Harnecker, “model sosialisme untuk masing-masing negeri.” (hlm. 47). Dia tidak bisa dipukul-rata.
Garis besar buku berbicara tentang tafsir kontekstual terhadap pemikiran sosialisme. Didalamnya, terdapat banyak pertimbangan, evaluasi, bahkan (oto)kritik. Bukan hanya bersifat teoretis, buku ini juga menyediakan opsi praksis bagaimana konsep itu diterapkan. Tentu saja dalam situasi dan keadaan Amerika Latin.
Penulis menggunakan metode studi kritis dalam penelitiannya. Sebuah model penelitian yang bertolak dari asumsi bahwa pengetahuan bersifat subjektif. Oleh karenanya, perhatian dipusatkan hanya pada satu kasus khusus saja secara mendalam. Dalam hal ini, fenomena Amerika Latin.
Sumber-sumbernya pun primer. Harnecker mengombinasikan fakta di lapangan dan teori-teori sosialisme dari tangan pertama. Data-data itu didapat dari berbagai lembaga penelitian di Amerika Latin. Kritik teoretis pun dilancarkannya dengan mengacu dari tulisan para pemikir orisinal sosialisme.
Konteks buku adalah kondisi sosialisme Amerika Latin. Kawasan yang cukup unik sebenarnya. Dia adalah zona pertama di dunia dimana kebijakan neoliberal diberlakukan. Namun, di sini jugalah program ini pertama kali ditolak (hlm. 14). Agenda pro para pemodal ini dituding sebagai sebab meningginya tingkat kesenjangan sosial masyarakat di sana.
Kekalahan sosialisme diberbagai belahan dunia menjadi pemicu buku ini dituliskan. Beberapa bukti ditunjukkan, seperti runtuhnya tembok Berlin. Lihat juga Uni Soviet yang terjerembab dalam ngarai kehancuran pada akhir 1991. Jangan lupa pada nasib revolusi Sandinista yang kalah pada pemilu 1990. Begitu juga gerakan gerilya Amerika Tengah yang terpaksa didemobilisasi (hlm. 9)
Penafsiran dan penerapan Marxis-Leninisme dinilai gagal. Apalagi jika melongok ke dalam konteks perjuangan Amerika Latin. Banyak kesalahan dalam sosialisme seperti otoritarianisme, garis komando vertikal, dan dogmatisme minim analisis merupakan akar keruntuhannya.
Penulis menuntut perubahan bahasa dalam menerapkan sosialisme. ‘Harus dilakukan peninjauan terhadap sejarah sosialisme dan menyelamatkan konsep sosialisme’ (hlm. 45). Inilah yang menjadi semangat utama buku ini. SA21 bertujuan untuk “…menyesuaikan isi dan menganekaragamkan bentuk untuk subjek-subjek yang berbeda…” (hlm. 11).
Jika mengacu pada rekam jejak, maka jelas, penulisnya sangat kredibel membicarakan topik ini. Konsistensi metodologisnya yang digunakannya pun jempolan. Sehingga, akurasi argumen yang diproduksi jadi tak meragukan.
Buku ini sangat relevan karena memiliki kesamaan konteks dengan Indonesia, yaitu kemajemukan. Pluralitas menjadi salah satu anasir penting dalam SA21. Gerakan sosialisme abad 21 adalah gabungan dari berbagai latar belakang identitas. “Ini adalah gerakan yang sangat majemuk, dimana unsur-unsur teologi pembebasan, nasionalisme revolusioner, Marxisme, indigenisme, dan anarkisme hidup berdampingan.” (hlm. 15). Gerakan “kiri” bertugas mengorganisir kesadaran rakyat, sebagai protagonis, melawan kapitalisme.
Solusi yang ditawarkan sangat menjawab persoalan yang diangkat. Harnecker menyediakan alternatif baru dalam menata masyarakat. Dia menyajikan ide “baru” tentang konstelasi perekonomian, menempatkan pekerja, pendidikan, birokrasi, dan sebagainya. Selain itu, buku ini juga mengantisipasi tahapan transisi perubahan masyarakat dengan hati-hati. Dalam sejarahnya, menurut Harnecker, rontoknya sosialisme disebabkan kecerobohan dalam menghadapi fase peralihan ini.
Selain terjemahan yang cukup baik, ada satu kelebihan, yang bagi saya, sangat menarik. Buku ini, setidaknya, berhasil membuktikan bahwa sosialisme bukanlah sebuah dogma. Paham ini tidak kaku. Dia bukan matematika yang terkesan dingin. Ajarannya bukan sesuatu yang tak bisa “direvisi”. Sebaliknya, sosialisme ditangani Harnecker menjadi begitu cair, relevan, dan kontekstual.
Perempuan hebat ini berhasil menunjukkan bahwa sosialisme adalah ilmiah. Artinya dia pun mengalami lompatan-lompatan paradigma, seperti yang dibuktikan Thomas S. Khun, sejarawan sains itu. Maka, tak mengherankan jika praktik dan teori SA21 menjadi sesuatu yang berbeda dengan versi klasiknya.
Satu lagi penekanan pentingnya. SA21 mengutamakan revolusi damai. Ini perlu diperhatikan, khususnya di Indonesia, mengingat propaganda terhadap komunisme telanjur suram. PKI dituduh, secara membabi buta, sebagai partai yang keji dan senang membunuh. Akhirnya, masyarakat Indonesia cenderung memaknai revolusi dalam konotasi negatif.
Tatiana Lukman, dalam buku “Alternatif” (2013), mengkritik habis SA21 ini. Dia menuding SA21 adalah sosialisme palsu. Itu adalah “konsep dan interpretasi terhadap sosialisme yang lain sama sekali dari pengertian atas sistem ekonomi sosialis yang diberikan oleh guru-guru teori revolusioner besar seperti Marx, Lenin, dan Mao.” (hlm. 305).
Putri sulung MH. Lukman ini lanjut mengkritik. SA21 bukanlah Marxisme, tapi lebih cenderung pada Revolusi Bolivarianisme. Keduanya, sebut Tatiana, tidak memiliki hubungan sama sekali. Kritik paling mendasarnya adalah SA21 “…tidak mengakui adanya kontradiksi antagonis antara sistem kapitalis dan sistem sosialis.” (hlm. 311).
Inilah kelemahan mencolok dalam buku ini. Penulisnya tidak memberi penjelasan yang ketat terhadap kritik Tatiana. Bahkan, Harnacker mengakui tudingan putri wakil ketua CC PKI 65 itu. Menurut saya, jawabannya kurang memadai. Dia hanya mengatakan, “tindakan-tindakan ini memiliki makna strategis yang berbeda jika pemerintah kapitalis atau pemerintah sosialis yang mengadopsinya.” (hlm. 41). Singkatnya, “pengkhianatan” ini hanya persoalan taktik semata.
Saya termasuk orang yang belum “tamat” membaca Das Kapital. Kenyataan ini membuat saya merasa kurang kredibel dalam memberi masukan penting pada buku ini. Syahdan, tentu saja, penilaian ini pun pasti masih jauh dari sempurna.
Namun, dengan segala kelemahan dan kelebihannya, buku ini layak dibaca. Setidaknya, dia mampu merangsang kita untuk memikirkan lebih lanjut tentang ide sosialisme. Apalagi, jika Anda merasa bahwa sosialisme memang perlu relevansi seturut konteksnya, maka buku saku ini layak untuk dibaca.
Akhirnya, tujuan ultima dari SA21 adalah perkembangan manusia yang penuh (hlm. 62). Dia bukan paham kapitalisme yang menghisap. Bagaimana strategi ini dijalan? Mungkinkah paham ini diterapkan? Pertanyaan-pertanyaan ini akan terjawab jika Anda sudi meluangkan waktu menelusuri tiap halamannya. Biarkan aksara itu merangsang imajinasi Anda tentang mekanisme mesin SA21 bekerja.
Judul : Sosialisme Abad Keduapuluh Satu: Pengalaman Amerika Latin
Serial : –
Penulis : Martha Harnecker
Genre : Non Fiksi
Penerbit : Pustaka IndoPROGRESS
Tanggal Perilisan : 2016
Format : Digital (PDF)
Halaman : 126 hlm
Sumber : Koleksi Pribadi
Belum ada tanggapan.