Tembakau telah menjadi tanaman yang tak asing di Indonesia. Sebagai negara penghasil kretek cukup tinggi ini, tanaman tembakau menjadi komoditi yang cukup memiliki nilai jual tinggi. Hasilnya bukan saja bisa membuat para petaninya sejahtera tapi juga bisa untuk membiayai anak petani tembakau untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Ingat tembakau jadi ingat memori di masa kecil sering main di sawah dekat rumah di kebun tembakau itu saya tak hanya merasa sejuk, tetapi juga senang bermain di aliran air disela-sela tanaman tembakau.
Dahulu, sebelum ditanami tembakau, jerami yang sudah kering harus dibakar. Dulu, sering aku ikut menjadi buruh yang membersihkan sisa-sisa jerami untuk dibakar. Upahnya waktu itu satu petak padi dua puluh ribu rupiah. Kini, memori itu pelan-pelan makin hilang. Kini, para kontraktor sudah tak lagi suka daerah di dekat desaku, sehingga tak lagi menyewa lahan untuk menanam tembakau disana.
Ingat tembakau juga ingat memori saat aku pertama kali mencoba belajar merokok. Sewaktu aku kuliah, teman sekosku perokok berat semua. Dan dulu, aku diajak untuk mencoba, semalam suntuk aku belajar, setelah bisa, maka malam itu pula aku menghabiskan rokok tingwe (linting dewe/ melinting sendiri) satu bungkus plastik besar. Tapi pada akhirnya aku berhenti merokok setelah mau lulus kuliah.
Buku Srinthil (2014) yang ditulis oleh Elva Laily mengajakku untuk mengingat kembali memori tentang tembakau. Tembakau selain merupakan hayat hidup bagi petani, ia juga tak bisa dilepaskan dari hikayat orang Indonesia yang sering ngudud atau merokok. Penulis melakukan penelusuran ke tempat penghasil tembakau terbaik di Indonesia yakni tembakau srintil. Ada yang menarik yang diungkap penulis mengenai istilah kretek dan rokok. Kretek memiliki bahan baku lain seperti cengkeh, yang digunakan saat merokok. Sedangkan rokok sendiri bisa menggunakan kertas sebagai pembungkus tembakaunya, atau klobot jagung.
Tembakau ternyata memiliki riwayat tersendiri. Ada cerita yang berkembang di Lereng sumbing. Suatu ketika, ada seorang datang kepada Ki Ageng Makukuhan, untuk meminta obat. Untuk mengobatinya, Ki Ageng Makukuhan memberikan salah satu tumbuhan tak bernama yang ditanamnya. Si orang sakit tersebut akhirnya sembuh, karena kesembuhannya, orang tersebut memegang tanaman tersebut sambil berkata “iki tambaku”, yang berarti “inilah obatku”. Oleh ki Ageng Makukuhan, ucapan itu kemudian dijadikan nama tanaman yang ditanamnya, yaitu “tambaku”. Lebih singkat menjadi “mbako”. Hingga sat ini, “mbako” adalah kata yang dipakai orang jawa untuk menyebut tanaman tembakau (h.35).
Tembakau Srintil yang terkenal itu ternyata memiliki varian masing-masing. Untuk mencapai tembakau srinthil amat susah, bukan hanya karena dibutuhkan tangan manusia yang terampil merawat tembakau, tetapi juga alam yang mendukung. Jenis-jenis tembakau srintil tersebut diantaranya : srinthil ajer, srintil ngelar kumbang, srintil nyambel iler, srintil nawon madu. Srintil ajer adalah tembakau srinthil jenis ini berwarna hitam pekat, dengan daun dan batang daunnya ajer (lumer) saat pemeraman sehinggga seratnya hampir tak terlihat, diasosiasikan dengan aspal yang hitam pekat, beraroma arum legi seperti nangka dan salak. Srinthil ngelar kumbang adalah tembakau srinthil berwarna hitam yang memantulkan sinar kebiruan ketika terkena cahaya. Sinar kebiruan tersebut menyerupai warna biru pada kumbang. Srinthil nyambet iler memiliki ciri-ciri berwarna hitam pekat seperti aspal. Jika dilihat dari jauh saat penjemuran, tampak seperti fatamorgana iatasnya. Srinthil nawon madu merupakan tembakau srinthil yang warnanya menyerupai warna perut lebah madu. Serat tembakaunya berwarna jingga kehitaman atau kuning kemerahan.
Sudah bertahun-tahun masyarakat lereng sumbing menandai tembakau dengan cara alami. Mereka menggunakan indera penciuman mereka yang sudah berpengalaman, sekaligus perawatan tembakau itu sendiri. Dalam menanam tembakau ini, para petani mesti memperhatikan pranata mangsa. Diantaranya adalah memperhatikan musim, memperhatikan ketersediaan air, sampai dengan perawatan dan kapan harus menanam dan memanen.
Mereka, para warga lereng sumbing, di desa Lamuk juga mengadakan upacara-upacara selametan sebelum menanam, sampai dengan syukuran selametan saat mereka sudah panen. Inilah yang membuat tembakau Srinthil tak bisa dilepaskan dari tradisi, ketekunan, sampai dengan tangan yang terampil dari para warga Lamuk.
Ketika kebijakan penolakan tembakau, tentu saja para petani ini menolak dan memberikan reaksi protesnya. Hal ini karena tembakau merupakan jantung hidup bagi petani lamuk. Selain itu, meminjam komentar dari warga lamuk yang ikut berdemonstrasi ke Jakarta saat diwawancarai penulis : “Mereka iri, kalau tembakau mereka, kalah dengan tembakau srinthil (tembakau indonesia), yang bikin kebijakan anti rokok itu takut kalau mereka kalah bersain dengan tembakau kita”.
Potret harmoni desa lamuk di lereng sumbing ini dipotret dan direkam dengan apik oleh penulis. Dokumentasi berupa foto dan data yang disajikan menambah jelas ilustrasi dalam teks. Penulis telah berhasil menyuguhkan bagaimana cerminan harmoni kehidupan petani tembakau di lereng gunung sumbing. Bagi masyarakat desa Lamuk, tembakau tak sekadar komoditi semata, tetapi hidup dan mati, denyut nadi kehidupan bagi masyarakat disana.
*) Pembaca Buku, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
Judul Buku : Srinthil Pustaka Saujana Lereng Sumbing
Penulis : Elva Laily
Penerbit : Putaka Indonesia
Tahun : 2014
Halaman : 210 halaman
ISBN : 978-602-1318-28-7
Belum ada tanggapan.