Ayo, coba tunjuk jari, siapa yang bisa menjelaskan, bagaimana kira-kira struktur manajemen dan organisasi di negara-negara sosialis. Apakah di negara sosialis gaji semua pekerja sama rata? Apakah di negara sosialis mengenal istilah insentif atau uang bonus kerja? Apakah struktur organisasi di negara-negara sosialis bersifat kaku dan tidak bisa diubah? Dan, apakah di negara sosialis tidak ada orang kaya?
Sederet pertanyaan tantangan tadi, saya rasa akan membuat generasi yang lahir pasca tumbangnya pemerintahan Soekarno begitu kebingungan. Generasi pasca 1966 memang generasi yang absen dalam perdebatan ideologis. Generasi pasca 1966 adalah generasi yang tidak ikut merasakan betapa hebatnya perdebatan ideologis antara kubu agamis, nasionalis, dan sosialis-komunis.
Memang, generasi pasca 1966 masih bisa menyaksikan psi-war, perang urat syaraf, perang ideologis, antara dua blok besar, blok negara sosialis pimpinan Uni Soviet dan blok negara liberal pimpinan Amerika Serikat. Kondisi dunia pada dasawarsa 1960-an sampai 1990-an memang masih dalam suasana perang dingin. Namun dampak perang dingin pada masyarakat Indonesia sudah tidak begitu terasa. Masyarakat Indonesia sudah tidak terlibat dan dilibatkan dengan konflik-konflik ideologis.
Jenderal Soeharto telah menyeret bangsa Indonesia pada kubu liberal pimpinan Amerika Serikat. Dengan kudeta merangkak, sebuah istilah politis-akademis yang diperkenalkan John Rosa dalam buku Dalih Pembunuhan Masal (2006), Jenderal Soeharto telah meninggalkan panggung politik bebas aktif, yang selama orde lama menjadi prinsip politik bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia di bawah pimpinan Jenderal Soeharto, tidak lagi netral dalam pertarungan ideologis antara Uni Soviet dan Amerika Serikat. Bangsa Indonesia telah bersekutu dengan negara Amerika Serikat dalam perang ideologi. Semua itu disebabkan oleh satu motif: Hutang Luar Negeri!
Pasca tahun 1966, bangsa Indonesia pun menjelma bidak catur dalam peta pertarungan politik global. Demi hutang luar negeri, dan mungkin juga hutang budi atas bantuannya menyingkirkan Soekarno dari mimbar politik Indonesia, bangsa Indonesia dibawah ”bimbingan” Jendral Soeharto telah sukses menjadi pion dalam penghancuran elemen-elemen progresif di Indonesia.
Wacana-wacana progresif yang berasal dari kalangan nasionalis, agamis, dan sosialis-komunis, dilenyapkan dari bumi pertiwi. Yang perlu digarisbawahi di sini, khasanah keilmuan yang dihilangkan dari Indonesia bukan hanya yang berasal dari kalangan sosialis-komunis, namun juga dari kalangan nasionalis kiri, dan islam progresif pro Soekarno.
Tokoh-tokoh dan buku-buku dari orang-orang Nasionalis seperti Oka Putu Sukanta dan Sitor Situmorang dilarang bebas, dikrangkeng oleh aparat orde baru. Buku-buku islam progesif dari Haji Mohammad Miscbah pun bernasib serupa. Dibiarkan merana dalam dinginnya gedung arsip tua di Jakarta.
Hasilnya, sebagian besar rakyat Indonesia menjadi buta politik dan ideologi. Rakyat Indonesia yang semula bergairah dalam memimpin pergerakan bangsa-bangsa Asia-Afrika, berubah menjadi kadet bagi kepentingan politik Amerika Serikat. Bangsa Indonesia telah kehilanggan kebanggaan diri dalam khasanah keilmuan dan kepemimpinan bangsa-bangsa di benua Asia-Afrika
Maka, sangat masuk akal pula, jika generasi yang lahir pasca 1966 tidak tahu dan tidak bisa menjelaskan bagaimana rupa manajemen organisasi negara-negara sosialis. Andai ada yang berusaha menjelaskan struktur bangun dan bentuk manajemen organisasi negara sosialis, saya rasa penjelasannya akan sangat mbulet dan penuh kebencian. Sebab, generasi yang lahir dan dibesarkan pada jaman orde baru, kebanyakan, hanya melihat sosialisme sebagai ancaman.
Mereka mengira, sosialisme sama dengan ateis, sosialisme tidak bermoral dan sosialisme pasti bejat. Sangat sedikit, orang-orang yang lahir dan besar di jaman orde baru, yang mau berpikir jernih dan bisa mengkaji sosialisme dengan objektif-tanpa kebencian. Orang-orang yang sedikit itulah, yang telah berhasil keluar dari lingkaran kebencian dan berhasil mendirikan orde reformasi.
Dalam keterbatasan wacana dan peluang ruang kebebasan berekspresi yang masih terbuka, buku berjudul Struktur Manajemen dan Organisasi dalam Beberapa Negara Sosialis karangan Drs Pamglaykum dan Drs Hazil menjadi sangat penting. Buku yang terbit pada tahun 1962 ini adalah jembatan ingatan, yang memungkinkan kita menggapai pulau sosialisme secara akademis, dengan menghilangkan sedikit pretensi negatif tentang sosialisme.
******
Buku berjudul Struktur Manajemen dan Organisasi dalam Beberapa Negara Sosialis karangan Drs Pamglaykum dan Drs Hazil adalah buku yang dibuat pertama kali untuk keperluan ”MUSYAWARAH PENJESUIAIAN MATA KULIAH EKONOMI PADA MANIPOL USDEK” di departemen perguruan tinggi dan ilmu pengetahuan. Buku ini, jika lolos seleksi dalam musyawarah tersebut, akan dianggap sebagai buku manajemen ekonomi revolusioner yang sesuai dengan semangat revolusi Indonesia.
Di jaman Soekarno, memang ada suatu kewajiban yang dibebankan pada para dosen dan guru seluruh Indonesia, agar menyesuaikan pelajaran di kelas dengan api semangat revolusi yang sedang berkobar di Indonesia. Jika si dosen atau guru tidak sanggup menjalankan kewajiban ini, maka si guru atau dosen tadi akan dianggap kontra revolusiner. Konsekwensinya, si guru atau dosen akan diretool dari jabatannya di instansi pemerintah, atau paling sedikit dikecam dan dicap sebagai penghianat revolusi.
Sebagai buku mata kuliah, buku Struktur Manajemen dan Organisasi dalam Beberapa Negara Sosialis disebut para pengarangnya sebagai buku pengantar. Mereka berdalih, buku ini adalah suatu usaha pertama untuk mempelajari masalah manajemen dan keorganisasian di negara-negara sosialis. Buku ini dihasilkan dari library study dan bukan pengalaman empiris. Maka, pengarang merasa perlu untuk menjelaskan keterbatasan buku dan permohonan kritik dari mereka yang telah melihat langsung manajemen dan struktur organisasi di negara-negara sosialis.
Hal tersebut sangat penting, mengingat, banyak orang Indonesia yang telah melakukan lawatan ke negara-negara sosialis, selain juga banyak mahasiswa dan sarjana yang telah belajar di negara-negara sosialis. Dengan kritik dan masukan dari orang-orang tersebut, keobjektivan serta keakuratan buku ini akan semakin terjamin.
Buku ini menyuguhkan aneka ragam struktur manajemen dan organisasi negara sosialis yang dianggap besar. Dari puluhan negara sosialis, penulis memilih 6 negara sosialis antara lain; Soviet Rusia, Yugoslavia, Republik Rakyat Tiongkok, Polandia dan Hungaria. Ke enam negara sosialis tersebut dianggap paling besar dan sangat representatif untuk dijadikan sampling.
Buku ini sangat beraroma didaktis. Maklum saja,buku ini adalah buku mata kuliah. Bagi mereka yang tidak terbiasa membaca buku semacam ini, saya yakin, mereka akan bosan. Apalagi, ditambah dengan pengunaan ejaan lama, buku ini akan semakin sukar dipelajari.
Namun bagi mereka yang masih bisa bertahan dengan segala keruwetan itu, mereka akan mendapatkan suatu hikmah yang besar. Meraka akan mendapat pemahaman yang benar tentang struktur manajemen organisasi di negara-negara sosialis serta bagaimana rupa manusia-manusia di dalamnya. Apakah rupa seorang manajer di suatu industri berat Uni Soviet bersifat begis, akan terjawab dalam buku ini, atau, apakah manajemen organisasi negara-negara sosialis lebih adil dari negara liberal?
Perkataan tokoh-tokoh sosialis dan Pengalaman-pengalaman organisasi mereka juga begitu tersebar di buku ini. Semisal perkataan Stalin dalam memadamkan protes Tomsky, seorang tokoh buruh Uni soviet, yang menolak gagasan pembedaan upah pada buruh kasar dan buruh terlatih. Untuk persoalan itu Stalin berujar ”persamaan upah bagi semua buruh akan berarti bahwa, buruh jang bodoh tidak akan mempunyai rangsangan (incentive) untuk mencari kemahiran. Djadi untuk memadjukan produksi, harus ada perangsang, harus ada perbedaan upah dan gaji. Bagi negara Uni Sovjet dewasa ini berlaku: dari setiap buruh menurut kesanggupannja, untuk setiap buruh menurut hasil karyanja”. ( Halaman 10)
Lenin, sebagai panglima revolusi dan pendiri negara sosialis Uni Soviet juga diceritakan pengalaman organisasinya selama melakukan revolusi Boljevik. Kekecewaanya pada kaum intelektual Rusia yang terlepas dari realitas dan tanggung jawab sosial membuat Lenin geram. Lenin bercita-cita jika negara Uni Soviet berdiri, pendidikan harus melahirkan intelektual yang mampu menjembatani antara teori dan praktik.
Intelektual jenis ini bisa dilahirkan dari pendidikan yang didasarkan pada nalar patriotisme kemanusiaan. Nalar patrioisme kemanusiaan menanamkan sifat-sifat ksatria pada peserta didik. Pamrihnya, peserta didik bisa sadar pada kewajiban kemanusiaan mereka dan pada revolusi yang sedang terjadi. Para sarjana dan intelektual yang seperti ini adalah para calon manajer yang diharapkan mampu menggerakan organisasi agar berjalan baik dan manusiawi.
Selain itu, pengalaman nagara Uni Soviet dalam merubah orientasi mereka dari negara agraris yang paling terbelakang di Eropa, menjadi negara industri maju yang mampu menyaingi Amerika Serikat, juga dijelaskan secara panjang lebar dan berulang-ulang. Negara Uni Soviet melakukan pembanguan lewat perencanaan periodik berjangka lima tahunan. Rencana pembangunan lima tahunan itu berlangsung selama enam peiode, dengan periode ketujuh selama tujuh tahun (sampai tahun 1965). Rencana pembangunan selama tujuh tahap itu dirasa sangat mujarab sebagai strategi dalam mengangkat derajat negara Uni Soviet dari negara terbelakang menjadi negara industri.
Rencana pembangunan Periodik Uni Soviet berjangka lima tahunan tadi, mungkin terasa akrab bagi telinga orang Indonesia. Di Indonesia, selama jendral Soeharto berkuasa, juga dikenal istiah rencana pembangunan Lima Tahunan. Rencana pembangunan itu disingkat Repelita, kepanjangan dari rencana pembangunan lima tahun.
Penggunaan istilah dan sistem manajemen organisasi sosialis oleh Jendral Soeharto, mungkin bagi sebagian orang akan terasa janggal. Sebab atas persetujuan Jendral Soehartolah buku-buku sosialis lenyap dari peredaran buku di Indonesia. Namun mengapa Jendral yang murah senyum ini sedikit-banyak, meniru sistem manajemen negara sosialis ?
Bagi beberapa orang, seperti kakak beradik Sri Edi Swasono – Sri Bintang Pamungkas, hal-hal diatas tidaklah aneh. Mengingat, latar belakang Soeharto yang dekat dengan laskar rakyat dan orang kiri Indonesia. Soeharto, selama jadi presiden juga mempertahankan adanya Bapenas, suatu badan perencanaan pembangunan nasional, yang ditengarai oleh beberapa tokoh intelektual, hanya ada di negara-negara sosialis. Di negara-negara liberal, seperti Amerika Serikat atau Inggris, tidak dikenal suatu badan resmi negara seperti Bapenas.
Jika struktur organisasi dan manajemen Indonesia, juga semasa orde baru berkuasa, tidak lepas, dari pengaruh-pengaruh ideologi sosialisme, pertanyaanya, mengapa kita masih phobia pada wacana-wacana sosialis? Apakah itu suatu yang sehat bagi perkembangan intelektual kita?
Jika tidak, inilah saatnya kita membuka buku-buku lama untuk menggali kembali memori yang sempat putus. Kita adalah bangsa yang besar. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menjalin ikatan dengan masalalu tanpa menimbulkan luka dan dendam. Buku Struktur Manajemen dan Organisasi dalam Beberapa Negara Sosialis adalah buku yang tepat untuk melatih mental. Apakah kita bisa dewasa dalam belajar dan berilmu? Hanya kita sendirilah yang bisa menjawabnya. Begitu.
*)Penulis adalah pencinta buku dan film. Aktif dalam komunitas pencinta buku dan film serta koperjas
Belum ada tanggapan.