Telaga di mataku ini sudah tumpah ruah, tiap menit bahkan tiap detik. Sekuat apa aku membendungnya, sungguh aku tak berdaya. Apa yang kulihat kali ini benar-benar di luar dari dugaanku. Mungkin ini salahku, karena aku yang terlalu setia, terlalu yakin dan begitu percaya.
Pada satu waktu yang tak diduga, kudapati segala untaian manis bak pujangga yang suamiku kirimkan kepada seseorang. Dengan tangis yang tertahan kutanyakan hal itu, lalu dengan tanpa dosa dia menjawab, “Ya, aku telah mendua.” Suamiku selingkuh di depan mataku!
Aku bukan wanita dengan seribu hati yang ikhlas berbagi cinta, maka bagiku hal terbaik adalah menjauhi ia yang telah menaruh neraka di hidupku.
Tanpa pesan dan kata, setelah Shubuh sedikit berlalu dan matahari belum membuka hari, dalam remang aku berjalan menyusuri gang kecil perkampungan. Tidaklah banyak yang kusertakan, selain malaikat kecil dalam gendongan. Dia masih tertidur, dan perlahan pipi halusnya ternodai butiran bening mataku.
Bis ini telah pergi menjauhi kota yang rupanya lebih kejam dari ibu tiri yang tak punya hati. Aku merasa benar-benar terlepas dari belenggu dan aku akan kembali ke pangkuan ibu.
Telah kutegarkan hatiku untuk tak lagi memalingkan wajah ke belakang. Namun kemudian ketegaran itu pupus ketika malaikat dalam gendonganku berucap”Ibu, kenapa ayah tidak ikut naik mobil?”
Dengan cara apa aku menjelaskannya pada ia yang belum mengerti tentang apapun, apalagi tentang itu dusta, tentang mendua, atau tentang air mata. Tidak ada kata-kata kecuali aku semakin memeluknya, memeluknya dan memeluknya.
Sudah berpuluh kilometer bis ini pergi, menjauhi apa yang ingin kujauhi. Lalu dering telepon tiba-tiba menembus gendang telingaku. Terdengarlah suara tinggi dari ujung telepon tersebut, “kamu dimana?!” Rupanya itu suamiku.
“Aku pulang.” Jawabku pelan.
Sebelum percakapan itu berlanjut, tiba-tiba anakku meraih teleponku dengan cepat, kepada Ayahnya dia berkata, “Ayah, besok jemput ibu sama Dede. Dede naik mobil dulu.” Tiba-tiba telepon mati begitu saja, suamiku sengaja menutupnya.
Anakku terdiam, dia seperti tak percaya bahwa Ayahnya tak mau berbincang dengannya. Tampak guratan rindu di wajahnya. Mungkin saja dia tengah membayangkan hari-hari penuh keceriaan yang dulu dilaluinya bersama Sang Ayah. Kucoba tenangkan hatinya. Aku bisikan sesuatu di telinganya, “nanti Dede temui Ayah kalau Dede sudah bisa bawa mobil sendiri. Dede bisa pergi tanpa ibu dan bawakan banyak hadiah buat Ayah. Ayah pasti suka.” Lalu kulihat anakku tersenyum, dengan suara yang keluar dari mulut kecilnya dia membalas ucapanku.”Sekarang Ayah pasti sibuk kerja.”
Aku pun mengangguk seraya tersenyum hampa. Dan dalam hatiku yang terdalam terbentuk satu janji, tidak akan pernah kuceritakan kisah pilu ini kepada malaikat kecilku dan akan kubawa sampai mati.
Belum ada tanggapan.