Resensi Arif Saifudin Yudistira*)
Kitab Al-qur’an bagi seorang muslim dimaknai sebagai pedoman hidup untuk keselamatan di dunia dan akhirat. Hadirnya Al-qur’an diturunkan secara bertahap. Ia tak turun langsung, ia turun dengan peristiwa yang melatarbelakanginya. Al-qur’an pun tidak seperti sekarang yang berbentuk mushaf. Dalam perjalanannya, ia adalah kisah yang panjang. Ia tak hanya mengisahkan sejarah, mengisahkan perintah dan larangan, kabar gembira dan peringatan. Dalam perjalanannya itu pula, Al-qur’an menjadi mushaf seperti sekarang, dan sampai sekarang pun masih banyak orang yang meragukan dan menyangkal Al-qur’an. Sebagai penutup para nabi, Muhammad dikaruniai mukjizat Al-qur’an. Orang tak percaya, ragu apa yang hebat dari kitab ini. Orang mulai bertanya, mengapa kitab ini begitu diagungkan dan dijunjung tinggi dalam kehidupan orang Islam. Banyak kalangan orientalis mencoba mengutak-atik, merusak dan merubah tafsir Al-qur’an, tetapi sepertinya tak bisa. Sebab Qur’an sebagaimana janji Alloh, bahwa Al-qur’an diturunkan oleh yang Maha bijaksana lagi Maha dipuji. Al-qur’an menjadi penanda, bahwa tak hanya keberadaan Islam dan sejarah manusia, ia mewakili sebuah keniscayaan antara hubungan sang Khalik (Tuhan) dengan makhluk masih ada pertautan. Darinya kita faham, bahwa hidup di dunia ini tak lebih dari sebuah titah, sesuatu yang tak main-main.
Di zaman sekarang, membincangkan Al-qur’an mungkin dianggap sebagai sesuatu yang usang sekaligus asing. Diskusi tentang Al-qur’an seringkali dianggap sudah usai. Orang sudah menganggap bahwa Al-qur’an adalah kitab terima jadi. Ia tak bisa diutak-atik dan ditafsirkan. Dari itulah, kita mengenali bahwa umat Islam menjadi umat yang mundur, menjadi semakin kehilangan jati diri dan identitasnya. Aktualitas Al-qur’an sebagaimana yang dipesankan oleh Nabi benar adanya. Bila manusia berpegang pada Al-quran dan sunnah, maka orang akan selamat di dimensi dunia dan akhirat. Pesan ini adalah untuk semua umat, ketika orang berjalan diatas hidayah Al-qur’an, maka ia akan menemukan pelbagai hikmah dan ditinggikan, dilebihkan dibanding umat yang tak mengetahui. Karena itulah, seringkali Al-qur’an mengatakan : “Apakah sama orang yang mengetahui dengan yang tidak mengetahui? (Az-zumar :9). Apakah sama orang yang berfikir dan yang tidak berfikir?. Seruan ini adalah tanda dan batas bahwa orang yang mencari pengetahuan dan kebijaksanaan dalam Al-qur’an akan menemukannya. Karena itulah, Ziauddin Sardar mengajukan tafsir Qur’an dihadapkan dengan persoalan dan tema mutakhir. Cara Ziauddin ini bisa dibilang menguras pikiran dan butuh permenungan dan refleksi mendalam. Sebab selama ini, kiai dan ulama di masa lampau terlalu membawa Al-qur’an sebagai kitab dengan tafsir konservatif dan mencoba kembali kepada persoalan-persoalan lampau. Padahal, Al-qur’an pun bersifat futuristic, apa yang ada di dalam Al-qur’an pun bersifat aktualitas. Karena itulah, Alqur’an tidak memerintahkan kita untuk menerima sesuatu secara pasif; melainkan ia justru mengajak kita terlibat aktif dalam proses bertanya dan menalar (h.60). Ziauddin menilai, bahwa Al-qur’an bukan hanya sesuatu yang dibunyikan, diucapkan, lebih dari itu, ia menuntut sebuah tafsir dari bahasa Tuhan ke bahasa manusia. Dari itulah, kita diajak untuk terus bertanya dan menanya, karena tafsir tak bisa dimonopoli dan berhenti pada satu hal saja. Sebab dari berbagai pikiran manusia itulah, kita akan menemukan kebenaran diantaranya. Karena itulah, membaca Al-qur’an seperti kita melakukan hubungan menemukan thesis, kemudian merumuskan anti thesis, bahkan melakukan sintesa.
Tafsir
Dalam buku Ngaji Qur’an di Zaman Edan ini, Ziauddin Sardar melakukan penafsiran dan mencoba menarik garis panjang yang menghubungkan antara Al-qur’an dengan aktualitas zaman. Ziauddin Sardar mencoba menelisik dan menolak pandangan kuno yang dianggap justru menghambat cara kita belajar dan menemukan hikmah dari Al-qur’an itu sendiri. Ia menolak pandangan bahwa tafsir Qur’an hanya berhak dilakukan oleh ulama’, kiai dan ditentukan oleh kaidah-kaidah yang ketat. Pada aspek inilah, ia menilai bahwa cara tafsir yang demikian membuat Al-qur’an menjadi bersifat monolitik. Padahal, sejatinya dari yang beranekaragam itulah, kita akan menemukan kebenaran dan kekayaan perspektif.
Meminjam Muhammad Asad (1980 :viii) dalam bukunya The Message of the Qur’an : bahwa Al-qur’an bisa di dekati dengan akal, dan kita harus menyadari adanya unsur relativitas dalam semua penalaran manusia. Perbedaan pendapat kata Asad, merupakan faktor paling potensial dalam cara manusia memperoleh pengetahuan. Dari situlah, Ziauddin Sardar menganggap bahwa semua umat, termasuk umat non muslim, berhak untuk menafsir Al-qur’an. Karena dengan demikian, akan terjadi dialektika dan perdebatan yang segar bahwa Al-qur’an diterima dengan rasionalitas yang sehat bukan dengan cara taqlid (asal ikut).
Ziauddin Sardar membagi bukunya dalam empat bab besar, di bab pertama ia menguraikan bagaimana kehidupan di masa kecilnya, sampai pada persoalan penafsiran dan batas-batas terjemahan. Di bab kedua Ziauddin mencoba menafsirkan persoalan dan kandungan penting dari surah Al-fatihah sampai dengan Al-baqarah. Di bab ketiga, ia membagi tema dan konsep-konsep penting seperti persoalan kenabian, waktu, kemanusiaan, akal dan pengetahuan hingga persoalan membaca dan menulis. Sedang di bab terakhir, Ziauddin menarik garis besar dan titik temu bahwa tafsir Qur’an mesti menyentuh persoalan mutakhir. Seperti topik syariat, kekuasaan dan politik, poligami dan rumah tangga, seks dan masyarakat, hijab, kebebasan berekspresi, pengetahuan, evolusi, seni, musik dan imajinasi. Ziauddin dalam menguraikan tafsirnya tak hanya berbekal dari kitab tafsir para ulama kuno, tetapi juga mengkorelasikan dengan buku tafsir modern dari ulama kontemporer. Dalam tafsir kontemporer itulah, ia tak hanya mempertimbangkan dasar turunnya ayat, melainkan kontekstualisasi tafsir. Dari buku inilah, kita akan diajak untuk terus berdialektika dengan pikiran kita dan realitas zaman. Karena itulah, buku ini dikembalikan kepada pembaca, dan diharapkan akan ada dialog lebih mendalam mengenai topik dan tema penting yang diajukan oleh Sardar. Karena Sardar faham, bahwa ia tak berhak memonopoli tafsir, meski apa yang ia tafsirkan adalah cara bagaimana ia membaca Al-qur’an melalui sudut pandang yang berbeda. Bagi kita, cara Sardar mengkontekstualkan Al-qur’an dengan kondisi kekinian penting, sebab persoalan tafsir yang monolitik ini masih saja ada di negeri ini, sehingga Islam lebih terkesan ditafsirkan oleh sekelompok dan beberapa golongan saja. Begitu.
Judul Buku: Ngaji Qur’an di Zaman Edan
Penulis: Ziauddin Sardar
Tahun: Juli 2014
Halaman: 640 halaman
Penerbit: Serambi
ISBN: 978-602-290-009-2
*) Penulis adalah Peresensi Buku, Bergiat di Tadarus BUKU BILIK LITERASI
Belum ada tanggapan.