Ingat novel Suti karya Sapardi Djoko Damono (SDD), saya jadi ingat novel yang ditulis oleh Kim Dong Hwa, novelis grafis Korea. Ia pernah menulis novel berjudul Warna Air, Warna Tanah, Warna Langit. Novel itu berkisah tentang bagaimana dunia batin perempuan saat berubah dan beranjak menjadi perempuan dewasa.
Novel Suti karya SDD pun demikian halnya, SDD memotret bagaimana perjalanan kehidupan Suti dari kecil hingga menjadi ibu. Suti yang dari usia belasan tahun sudah menikah membuat ia harus belajar banyak hal dan dituntut untuk mengerti bagaimana cara memposisikan dirinya dalam kehidupan ini. Kebetulan posisi Suti serba tak mengenakkan, ia dipaksa kawin ibunya karena takut tak laku. Sampai akhirnya ia menikah dengan Sarno yang sudah duda. Pernikahan itu diam-diam memang direncanakan ibunya agar ibunya bisa memiliki Sarno.
Ketika Sarno bekerja sebagai tukang becak, Suti pun memilih bekerja dan mengabdi di tempat pak Sastro yang dikenal sebagai keluarga ningrat. Pak Sastro dulu merupakan abdi dalem keraton. Dan Suti pun harus menghadapi dunia yang ganjil dan serba salah. Di satu sisi Suti sudah bersuami, sedangkan di sisi lain Suti juga harus menghadapi Kunto dan Dewo anak pak Sastro yang semakin tumbuh dewasa dan memendam perasaan kepadanya. Suti pun juga diam-diam mengidamkan Pak Sastro.
Di keluarga Pak Sastro, Suti sudah dianggap sebagai bagian keluarga mereka. Kunto menganggapnya sebagai adik. Meski demikian, Bu Sastro juga mengerti bagaimana kedua anaknya tumbuh menjadi seorang lelaki dewasa. Kunto sendiri memiliki perangai kalem, tak banyak bicara, dewasa dan cerdas. Sedangkan Dewo sendiri punya perangai yang baik pula, namun agak berandal.
Novel ini dibumbui mitologi jawa yang erat dengan tempat keramat seperti makam mbah Parmin di novel ini. Termasuk Bu Sastro disini juga memiliki ritus unik di makam mbah Parmin, ia sering mengunjungi makam ini untuk menumpahkan keluh kesahnya. Novel ini diakhiri dengan kematian pak Sastro, yang ternyata sebelum meninggal telah menaruh bibit di rahim Suti. Suti pun menghilang beberapa saat dan muncul kembali di keluarga Bu Sastro setelah melahirkan anaknya. Di saat menghilang itulah, ia dan ibunya pergi ke Jakarta bekerja disana.
Novel ini memberi sentuhan kepada pembaca tentang bagaimana sebenarnya kehidupan kita ditentukan oleh sesuatu di luar diri kita. Sebagaimana yang dialami Suti saat ia harus menghadapi dunia yang sebenarnya diluar kuasanya, diluar kehendaknya. Tetapi pada sisi inilah, Suti, tokoh utama di novel ini mencoba untuk lentur menghadapi masalah dalam kehidupannya. Saya jadi ingat falsafah Ki Ageng Suryomentaram, urip iku kudu mulur mungkret, yang maknanya harus bisa luwes sebagaimana yang dialami Suti.
Sayangnya, SDD tak memberi sentuhan religi, yang dirasakan saat-saat Suti menghadapi ketidakberdayaan dalam menghadapi persoalan batin yang ia alami. Suti justru terkesan mengalir saja menghadapi apa yang ditakdirkan baginya, meski dalam pandangan jamak terasa musykil. Barangkali karena itulah, ia juga merasa tak terbebani atau merasa canggung saat kembali lagi ke rumah Bu Sastro.
Ketidakhadiran sentuhan religi ini membuat pembaca menaruh curiga bagaimana Suti menghadapi segala masalah rumah tangganya, persoalan batinnya di rumah Bu Sastro, atau persoalan yang harus ia pecahkan di saat ia menghadapi dilema. SDD seolah menyerahkan begitu saja kepada pembaca untuk bermain tafsir. Atau bisa jadi penulis memang hendak menghadirkan dongeng yang dalam khazanah jawa diartikan dipaido keneng (boleh dibantah atau tidak dipercaya).
Tetapi bagaimanapun juga, novel ini layak dipuji karena keluwesan bahasanya yang begitu mengalir. Meski banyak kosakata jawa, kita dibantu dengan hadirnya indeks yang membuat pembaca tak lekas bosan untuk menuntaskan novel ini.
*) Penulis adalah Alumnus UMS, Pegiat BILIK LITERASI SOLO
Belum ada tanggapan.