Kabut tipis mengepul seputih kapas dari mulutku. Pukul 4.35 pagi saat aku menapakkan kaki turun dari kereta malam. Lembab masih malas menggelantung di pojok-pojok stasiun menelurkan embun-embun yang tidak pernah paham untuk apa ia dilahirkan sekejap, lalu musnah. Seperti embun itukah diriku? Sekejap menikmati rindu dalam balutan harapan yang mungkin hanya sia-sia belaka.
Gontai langkahku menerjang pekatnya gelap sisa-sisa malam. Malam yang tak lagi ramah di kota ini. Kota tua yang terhimpit di antara kota-kota legenda. Kediri di timur, Blitar di tenggara dan Trenggalek di Barat. Agak jauh di barat daya terbentang deretan pegunungan Liman yang memberi jarak cukup jauh dengan kota Ponorogo. Sebelah selatan teronggok gunung kapur yang gersang sebagai pelindung dari badai Samudera Hindia. Hanya sebelah utara kota yang sedikit indah dengan pemandangan kebun teh di sepanjang lereng gunung Wilis. Tulungagung, tempat di mana sejumput suka cita pernah kukecap sebelum Bram meninggalkanku tanpa sebab.
Meski terletak di antara kota-kota legenda, kota yang dibelah jalur tua kereta api Kediri Malang itu tidak lebih baik dibanding tetangga-tetangganya. Begitu tampak tua, letih dan menyedihkan, sesedih hatiku. Dukalara di Jakarta aku tinggalkan sekedar melepaskan penat hidupku. Penat yang menyiksa malam-malamku sejak aku sadar ada separoh hatiku yang tertinggal di Tulungagung. Masih mungkinkah cinta itu kurengkuh kembali, meski tampaknya sangat mustahil.
Lima belas menit berlalu di peron stasiun di antara kerumunan tukang ojek dan tukang becak yang menatapku seperti mahkluk asing yang turun dari langit sekedar memuaskan dahaga mereka akan sosok jelita.
“Sendirian Mbak? Pulang ke mana?” tanya beberapa orang di antara mereka berulang-ulang.
“Ada yang jemput,” tegasku berkali-kali.
“Saya antar gratis gak popo Mbak. Mumpung bini masih lelap nih…” celetuk nakal mulai terdengar.
Dari jauh terlihat sorot lampu putih kebiru-biruan mendekatiku. Honda jazz silver. Kulihat plat mobil itu, AG 444 TA. Namaku masih terpampang manis di sana. Agata.
“Lama nunggunya Mbak?” tergogoh-gopoh Jati berlari mendatangiku.
“Lama bener sih!” ucapku sedikit sewot.
“Maaf Mbak. Baru saja tiba dari Surabaya,” jelasnya mencoba memberi pengertian.
Sepintas kutatap wajahnya. Tampak letih dengan kantung mata menghitam sehitam kulit yang membalur tubuhnya. Ah, sopir orang tuaku yang setia. Masih seperti dulu, raut muka tenang memantulkan kedalaman keikhlasan dalam menjalani hidupnya.
“Ya sudah. Piye kabare?” sesalku sedikit tertutup keangkuhan.
“Apik Mbak. Mbak Tata semakin anggun saja,” katanya sambil menatapku sejenak binar.
“Isok ae koen iku Jat. Itu karena lama kamu nggak ngeliat aku.” kilahku. Sebersit rasa bangga tiba-tiba menyergap ruang sunyi batinku. Ada rasa dingin yang lebih menusuk kulit daripada dinginnya udara pagi itu.
Jati, sopir orangtuaku, sudah seperti saudara bagiku, karena kami dibesarkan bersama. Orangtuanya menghibahkan warisan pekerjaannya sebagai sopir di keluargaku setelah dia dewasa. Sementara, aku pergi mengembara untuk merasakan belaian ibu kota, berharap dapat melupakan angan konyol dan luka tolol yang kucipta.
Jati dengan senyumnya yang khas merangkul pundakku, ach kami berpelukan layaknya dua sahabat yang lama tak jumpa. Kutuang perlahan-lahan rindu yang meluap agar Jati tidak menyadari keanehan tingkahku. Sejak aku dikhianati Bram, baru pagi itu kembali kurasakan dekap dan degup begitu dekat.
Sejenak aku tengelam dalam lamunan masa lalu ketika kami bersekolah bersama, saling bertukar cerita tentang gadis-gadis manis dan cowok-cowok tampan. Bercerita tentang polah tingkah mereka yang biasanya kami tutup dengan gelak tawa mentertawakan kekonyolan mereka. Jati memang ganteng dan aku tahu banyak gadis di sekolah menginginkannya. Jati juga tahu kalau aku selalu jadi bahan pembicaraan mulut usil yang belum tuntas akhil baliknya itu. Dan kami mentertawakan mereka karena mereka mengira kami pacaran. Pacar? Kata yang aneh buat kami saat itu. Meski demikian, kami tidak menyalahkan prasangka mereka itu karena kami memang selalu pergi berdua. Lha wong Jati anak sopir Bapakku, pikirku saat itu.
Celakanya, suatu ketika beberapa temanku mendapati kami basah kuyup di tepi kali Ngrowo. Masih terbayang jelas saat sepeda motorku terperosok di selatan Kali Ngrowo karena Bram menggodaku tiada henti sepanjang jalan. Bram, kakak kelas idolaku di SMA Boyolangu. Begitu bahagia hatiku saat ia mengiringiku berkendara sambil berhaha-hihi hingga terjadilah tragedi terjun ke kali. Aku menyebutnya tragedi karena bagiku itulah bencana paling memalukan sepanjang hidupku. Lebih sial lagi, Bram tidak berhenti malah mentertawakanku sambil berlalu. Jati yang bersepeda di belakangku bergegas membantuku keluar dari kepungan air comberan hingga kami basah kuyup berdua. Keyakinan teman-temanku menjadi-jadi bahwa aku dan Jati pacaran. Ingin sekali memutar mundur sang waktu dan kukatakan pada teman-temanku bahwa sebenarnya itulah yang ingin kukatakan, kami pacaran.
“Fiuuuhhh..” tanpa sadar kuhempaskan nafas sesal itu. Teringat kejadian itu, semestinya aku tidak menerima pinangan Bram. Semestinya aku dulu dapat membedakan antara emas dan loyang.
“Kenapa Mbak, capek?” tanya Jati menyadarkanku dari lamunan.
“Oh, nggak. Asem aja nih mulut. Bawa rokok nggak, Jat” jawabku mengalihkan perhatian.
“Sejak kapan Mbak ngrokok?” tanyanya sambil menyodorkan rokok kretek lokal.
“Waduh…rokok apaan tuh? Beli mild sebentar deh!” suruhku agar tidak harus menjawab pertanyaannya.
Jati bergegas ke kaki lima. Sekejap ia sudah berdiri di sampingku sambil menyalakan rokokku. Asap putih menggumpal membasuh mukaku. Kuhisap dalam dan semakin dalam lalu kuhempaskan keras-keras. Aku tidak pernah mencoba mengubah kepulan asap rokok itu menjadi deretan bentuk hati susul menyusul karena aku benci bentuk hati. Bagiku, bentuk hati dari asap rokok persis sama dengan cinta setipis kabut. Sekejap terbentuk, sekejap kemudian buyar.
“Bapak sudah menunggu Mbak. Mari kita ngobrol di mobil saja,” ajaknya.
“Oke!”
Tidak berapa lama kemudian kami sudah melintasi jalan-jalan sepi Tulungagung. Dari stasiun ke selatan, kemudian membelok ke Barat, mengitari alun-alun kota. Sejenak kami berhenti di bawah pohon beringin tua pojok utara alun-alun. Jati membelikanku jahe susu panas dan beberapa jagung rebus. Cukup nikmat buat menghangatkan perut. Lalu kami kembali mengarahkan mobil terus ke barat menuju arah Trenggalek sampai kami tiba di atas jembatan kali Ngrowo. Di sepanjang perjalanan kami lebih banyak diam. Jati tampak letih, seperti tidak tidur semalaman. Aku tidak ingin mengganggunya dengan pembicaraan berat. Sesekali saja aku tanya keadaan rumah. Dan aku menikmati kesunyian itu. Suara Indah Pertiwi menyeruak dari CD Changer mengalunkan lagu “baru aku tahu cinta itu apa”. Aku melirik Jati, tatapannya tetap lurus ke depan memangsa jalan. Kesempatan yang sungguh menyenangkan untuk menguliti setiap lekuk wajahnya. Aku seperti menatap lautan di wajah itu. Begitu indah, begitu menentramkan. Ah, sengajakah ia memutar lagu itu? Baru aku tahu cinta itu apa, sialan, pikirku.
“Berhenti sebentar Jat,” pintaku.
“Ada apa Mbak?” tanyanya penasaran.
“Aku ingin menghirup udara pagi di atas kali ini sebentar,” jawabku sekenanya sekedar menyembunyikan hasratku untuk mengenang tragedi kecebur kali.
Jati menghentikan mobil di tepi selatan, persis di atas tanggul tempat dimana harga diriku terbanting. Tidak ada suara gemericik air, hanya desau angin dari puncak gunung Wilis sesekali mengusik telinga, membawa dingin menusuk tulang. Kupandangi anak Kali Brantas di depanku itu. Basah. Kusut. Lelah. Pasrah menghiasi sudut utara kota. Sesekali menjadi tempat sampah tanpa sempat bertanya mengapa, yang lalu akan segera dimuntahkannya ke rahim laut selatan.
Seperti purel, pikirku. Basah. Kusut. Lelah. Pasrah. Menghiasai kota dan sesekali menjadi tempat sampah, tetapi tidak tahu kemana akan memuntahkan semuanya itu. Apakah kehidupan juga seperti itu? Berjalan tanpa bisa diprediksi apa yang akan terjadi pada menit berikutnya. Dulu aku begitu bahagia menikmati masa kecilku bersama Jati, Bapak dan Ibu. Lalu muncul Bram yang memenuhi ruang mimpiku sepanjang malam hingga purel warung kopi merampasnya dari sisiku. Dua belas jam lalu aku masih memimpin rapat di kantor. Dan sekejap kemudian hampir tak percaya sudah berdiri di atas tanggul sialan pengorek luka lama sekaligus penyadar kebodohanku.
“Sudahlah Mbak. Yang lalu biarlah berlalu,” tiba-tiba suara Jati terdengar begitu dekat di telingaku.
“Ah, sok tahu kamu Jat. Orang aku cuma menikmati udara pagi kok,” kilahku. Aku bersyukur gelapnya hari mengaburkan rona merah yang sempat menghangat di wajahku.
“Lho? Kok sewot? Hehehe. Bram sudah bahagia dengan..,” kata-kata Jati seperti mentertawakanku.
“Sudah-sudah. Aku capek. Yang kuinginkan sekarang cuma satu, tidur!” sergahku.
“Ok bos….”
Aku tersentum simpul mendengar suaranya. Andai dia tahu bahwa aku tidak menyesali Bram sekarang. Andai dia tahu bahwa aku sedang mencoba merasakan saat-saat ia memelukku yang kotor dan basah kuyup air comberan. Andai dia tahu bahwa aku sedang reka-reka ulang mengapa aku tidak menyadari kasihnya saat itu. Ah, andai saja dia tahu. Letihku melelapkan mataku. Sekejap kemudian mobil kami sudah melesat menuju rumah!
***
Satu bulan sudah berlalu di Tulungagung. Pagi itu aku menyiapkan sarapan untuk keluarga. Tidak ada kebahagiaan yang melebihi bahagiaku saat itu sejak aku menjadi janda kembang. Urusan perusahaan di Jakarta sudah kuserahkan sepenuhnya ke Shanty, sekretarisku yang genit tapi sungguh sangat dapat diandalkan. Di Tulungagung aku hanya ingin menghirup habis nafas-nafas kerinduan di tengah orang-orang yang mau menerimaku apa adanya. Dan itu teramat sangat membahagiakanku. Mulut usil Jati. Perhatian Jati yang sederhana pelan-pelan menghapus luka-luka di kota ini. Sikap periang Jati seperti virus yang cukup cepat menular kepadaku. Aku tidak ingin semuanya cepat berlalu. Aku ingin menikmati bahagia itu sekecap demi sekecap hingga tandas semua rinduku.
Titit..titit…titit..titit…
Terdengar bunyi sms dari hape jadul. Nokia 3310 Jati tergetar di meja makan. Suka cita yang memenuhi dadaku mendorong tanganku untuk iseng membuka sms itu. Selama ini aku tidak pernah tahu siapa kekasih hati Jati. Siapa tahu sms itu dari perempuan, pikirku.
Rasa penasaranku semakin menggelora. Segera kubuka sms di hape itu.
Aku tunggu di candi gayatri, ada hal penting yang harus kita bicarakan.
Pengirim: Vidya.
Vidya. Nama pengirim itu mendadak mengejangkan otot-ototku. Vidya teman masa lalu yang aku kabarkan kedatanganku di kota ini, dan dia masih tetap seperti dulu menyukai tempat sejarah sebagai tempat mojok. Candi Gayatri merupakan salah satu candi peninggalan Majapahit, tanda cinta Shyangrama Wijaya untuk permaisuri keempatnya. Dulu sewaktu SMA aku bersama teman-teman sering mengunjungi tempat yang terbengkalai nyaris runtuh itu. Sering juga aku berdua dengan Bram sekedar menikmati matahari tenggelam dari pelataran candi. Berasa seperti raja dan ratu majapahit, pikirku saat itu. Konyol.
Dan kini Vidya sedang menunggu Jati di sana. Vidya sedang menunggu sang raja menemuinya. Vidya tidak menemuiku meski aku sudah memberitahukan kedatanganku. Mendadak ada yang terampas dari singgasana hatiku. Jati sudah ada yang punya!
Hape segera kutaruh di meja dengan perasaan acak-acakan entah macam apa rupanya. Aku tidak mampu mendefinisikan percampuran antara bingung, gelisah, iri, jengkel, tidak terima, lega atau…ah…rasa apa ini? Semua seperti berkelebat begitu cepat. Liar dan berpendar-pendar tak tentu bentuknya. Pagi itu aku tidak mampu menikmati pagi.
“Sarapan…sarapan…,” suara Jati seperti guntur menyentakkan lamunanku.
“Jat, kamu di tunggu Vidya di candi Gayatri. Barusan ia sms. Sori, aku buka,” mulutku mendadak melontarkan kata-kata yang sebenarnya tidak ingin kuucapkan.
“Lho Mbak, hape orang kok dibuka-buka,” sewot Jati.
“Salahmu sendiri, kamu naruh hape sembarangan,” jawabku sambil berlalu meninggalkannya.
“Lho? Sarapannya mana nih?” masih kudengar Jati berucap.
“Masak sendiri! Sejak kapan ndoro masakke babune!” teriakku keras-keras.
Kedongkolanku meledak tanpa sadar. Baru sekali itu aku mengeluarkan kata-kata kejam kepadanya. Aku tidak perduli! Aku habiskan pagi itu dengan segelas kopi dan rokok di teras rumah. Sempat terlihat honda jazz di mana namaku terpampang menghias bemper melintas. Jati menemui kekasihnya dengan mobil ada namaku.
Pagi berganti siang, siang berganti malam. Aku mengamati Jati yang begitu tampak ceria sepulang dari candi Gayatri. Aku mengamati rambutnya yang kusut. Aku mengamati matanya yang berbinar. Aku mengamati bibirnya yang merekah. Aku membaui aroma lembut perempuan yang melekat di bajunya. Dan aku mendadak membenci semua itu.
Sehari itu aku tidak lagi menikmati hari. Beragam pikiran berkecamuk di benakku. Mengapa aku iri dengan kebahagiaan orang lain, renungku. Tidak mungkin aku mencintai Jati. Aku hanya iri. Dari segi apapun, mencintai Jati adalah sebuah kebodohan. Atau, kesepian yang dibiarkan berlarut-larut ini telah menumbuhkan benih-benih jahat? Aku harus segera kembali ke Jakarta. Tanpa terasa, air mataku meleleh malam itu.
Aku memutuskan untuk tinggal di rumah seminggu lagi. Rencanaku hendak membuka kantor cabang di Tulungagung terpaksa kubatalkan. Hari-hari berlalu seperti tidak terjadi apa-apa. Yang berubah mungkin hanya aku tidak lagi memasak sarapan pagi untuk Jati. Aku tidak mau terperangkap dalam cinta setipis kabut karena kesepianku. Dan sore itu kuputuskan berpamit pada Bapak.
“Kenapa kamu terburu-buru? Kantormu di sini belum jadi,” kata Bapak
“Lain kali saja Pak. Kantor di sini belum ada yang mengurus kalau kudirikan sekarang,” jelasku memberi alasan.
“Ah, siapa bilang tidak ada yang mengurus? Jati kan juga lulusan Unair. Masak nggak mampu ngurus kantor?” sanggah Bapak.
“Jati lagi. Jati lagi. Dia kan sopir Pak. Mana mampu ngurus kantor,” bantahku.
“Lha po koen iku kok mendadak sirik karo si Jati? Cemburu tah?”
“Cemburu? Hahahaha. Bapak ki isok ae. Aku masih belum bisa melupakan Bram kalau soal laki-laki Pak. Lagi pula, Jati sudah punya calon. Sopir tak tahu diri ya kayak gitu. Mosok mobilku dipakainya mojok sama perempuan!” kesalku membara teringat kejadian minggu lalu.
“Lha bener kan? Kamu itu sebenarnya cemburu. Kalau masih mikir Bram, kenapa kamu mesti marah mobilmu dipakai. Mau dipakai ke pasar, dipakai nganter Bapak atau nganter perempuan, kan gak ada pengaruhnya buatmu.”
Kata-kata Bapak terasa menghujam pendirianku. Aku tidak tahu apa yang ada di benak Bapak. Sesungguhnya, selama satu minggu itu aku sering merenung sendiri. Memutar ulang semua rekaman yang tersimpan di memori otakku. Mengulang-ulang saat-saat aku bersama Jati yang sepertinya tak pernah sedikit pun melukai perasaanku. Tetapi pikiranku selalu membantah bahwa itu adalah perilaku sewajarnya seorang sopir pada majikannya. Cuma ketika aku menikah dengan Bram, ia memutuskan pergi ke Surabaya, kuliah di Unair dengan biaya dari Bapakku.
“Jat…!” teriakan Bapak membuyarkan lamunanku.
“Dalem Pak.”
Jati keluar dari kamarnya dan menghampiri kami di beranda rumah. Tiba-tiba jantungku berdegup lebih cepat, tidak seperti biasanya. Aku sungguh kebingungan dengan apa yang terpampang di depanku. Segera kunyalakan sebatang rokok dan kuhisap dalam-dalam. Kebiasaanku jika gelisah mengerubuti batinku. Aku takut Bapak tahu perasaanku pada Jati. Aku takut dianggap perusak nama baik keluarga. Apa kata tetangga jika anak perempuan majikan mencintai sopir Bapaknya?
“Sekarang coba jawab pertanyaanku Ta,” kata Bapak.
Waktu beberapa detik itu seperti berminggu-minggu lamanya. Detak jam terdengar berdebam menggedor segenap isi dada. Bahkan desah nafasku terasa bagai dengus seribu kuda kelelahan berlari berhari-hari.
“Ta…, kamu mencintai Jati atau tidak?”
Pertanyaan Bapak meledak seperti guntur di siang bolong. Sama sekali aku tidak menduga jika pertanyaan itu ditujukan padaku. Dadaku terasa sesak. Mulutku membuka menutup tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Tanganku seperti menggapai-gapai mencari pegangan, benarkah apa yang kudengar? Bumi tampak sejenak berhenti berputar. Aku tidak berani mangangkat mukaku. Aku pasrah. Aku menyerah.
Tiba-tiba kurasakan tangan Bapak mengelus rambutku. Begitu hangat. Begitu lembut.
“Sudahlah Ta. Bapak mengenalmu lebih baik. Aku yakin di sudut hatimu ada cinta untuk Jati. Dan Bapak tahu, Jati mencintaimu jauh sebelum kamu memutuskan menerima pinangan Bram. Bapak merestui kalian menjadi pasangan hidup.”
“Tapi Pak…”
Suaraku tercekik, tidak mampu lagi melanjutkan kata-kata. Sungguh, teramat banyak kejutan yang tak mampu kupahami dengan baik. Jati sudah punya calon. Namanya Vidya, teman baikku. Aku masih tidak percaya mendengar kata-kata Bapak. Itu lebih dahsyat dari kejutan gebyar BCA atau hadiah Mercedes dari Mandiri Viesta sekalipun.
“Bagaimana dengan Vidya?” lirihku berusaha memastikan apa yang sebenarnya sedang terjadi.
“Hahaha,” Bapak tergelak, lebih mirip mentertawakanku,”aku yang menyusun skenario itu. Aku yang menaruh hape Jati di meja. Aku yang melarang Vidya datang menemuimu dan menyuruhnya mengirim sms itu. Aku yang merancang semua itu Nduk. Supaya Jati dan Bapak tahu isi hatimu. Supaya Bapak dapat melihatmu hidup bahagia selamanya. Percayalah, ada cinta di depan matamu yang sekian lama kauabaikan.”
Seketika segenap daya tubuhku sirna. Lutut lunglai, tangan terkulai.
“Lalu dengan siapa kamu meninggalkan aroma perempuan di bajumu saat itu?” nanarku menatap Jati, mengharap ada jawaban yang berbeda.
“Itu semua sandiwara Ta. Ibu meminjamiku wewangiannya. Aku menyayangimu Ta. Jauh sebelum kamu menikah dengan Bram. Aku mencintaimu. Apa adanya,” tegas Jati dengan air mata mengambang di sudut matanya. Dan aku tak mampu menahan tubuhku untuk tidak memeluknya.
“Bapak jahat,” desisku lirih. Tak lagi kusadari bahwa kami tinggal berdua.
Air mataku runtuh membasuh dadanya.
Antara Jakarta – Tulungagung
Maret 2011
Catatan:
Gak popo : tidak apa-apa
Piye kabare : bagaimana kabarnya
Apik Mbak : baik mbak
Isok ae koen iku Jat : bisa aja kamu itu Jat
ndoro masakke babune: majikan memasak makanan untuk pembantu
Lha po koen iku kok mendadak sirik karo si Jati: mengapa kamu kok tiba-tiba benci dengan Jati
Dalem Pak : Saya Pak
Purel : perempuan penjaga warung kopi
Sumber Ilustrasi: Lembayung Senja
hmm….