Cerpen Victor Delvy Tutupary
Entah setan apa yang merasuki anjing kaskadu[1] itu hingga ia dengan lidahnya yang terjulur dan kupingnya yang bernanah mengendus sepotong tempe busuk dari tempat sampah, menggigitnya lalu membawa lari dan membuang tempe busuk itu di belakang rumah Abraham Silahooy di pagi hari ketika sang pemilik rumah baru saja bangun dan mengelap tahi mata.
Jika tidak karena terburu-buru, Abraham Silahooy pasti tidak lupa bahwa ia telah bermimpi aneh tadi malam. Mimpi itu membawa dia jauh ke masa lalu, di saat perutnya belum membuncit dan kulitnya pun belum ditumbuhi bulu selebat sekarang. Dalam mimpi itu ia mematung di persimpangan jalan menunggu angkot yang hendak membawanya pulang ke rumah setelah seharian dipaksa duduk di bangku sekolah demi melahap habis pelajaran-pelajaran suntuk yang dianggapnya tak berguna. Sebelum Abraham betul-betul hangus dibakar terik matahari, angkot berwarna merah terang itu akhirnya muncul di kejauhan, dan berhenti dengan sendirinya di depan Abraham meski ia sama sekali tidak mengacungkan tangannya. Ia naik dan duduk di bangku panjang yang kebetulan kosong. Sejenak ia mengira bahwa ia satu-satunya penumpang di dalam angkot itu, namun akhirnya ia sadar bahwa di pojok sana, duduk persis di sebelah kaca belakang angkot, nyaris tak kasat mata ada seorang manusia berkepala anjing, bermata hijau berbinar-binar bak zamrud dan berkulit pucat seperti mayat, sedang memamah sepotong tempe busuk dengan rakus, di pinggangnya terselip sebilah parang yang cukup panjang. Mimpi itu berhenti di adegan tersebut.
Abraham terbangun tanpa mengingat sedikit pun isi mimpinya. Masih ada sisa-sisa gelisah dan lelah di wajahnya, namun ia harus cepat-cepat bangun dan melaksanakan pekerjaan wajib di pagi hari: menjerang air, mengepel rumah, mencuci piring, menyapu kintal[2] rumah, sarapan, lalu kemudian mandi dan bergegas pergi ke kampus. Rutinitas pagi yang tentunya sangat membosankan bagi seorang pria dewasa seperti Abraham, yang seringkali membuat akal sehat dan nuraninya mengeluh dan mengumpat di dalam hati.
Itu yang harus ditanggungnya tiap pagi. Sebab, meski di kepalanya mulai tampak uban yang semakin beranak pinak, dan kerut-kerutan kecil di sudut bibir dan mata, ia belum juga mempunyai seorang istri. Tampaknya kau bisa membayangkan bahwa rumah Abraham yang tidak seberapa besar itu tampak suram dan tak terurus dengan baik, sebab tak ada sentuhan tangan seorang wanita. Namun, Abraham bukanlah tipe pria yang rela membiarkan dirinya digerogoti oleh keterbengkalaian dan kesepian yang biasa menjangkiti pria-pria tua yang belum beristri. Ia menghiasi halaman rumahnya dengan aneka ragam bunga dari bunga kenop, bunga mentega, bunga kertas, bunga jam sembilan, sampai bunga tahi ayam, lalu menatanya sedemikian rupa hingga terlihat meriah dan enak dipandang mata. Ia juga mengecat rumah dinasnya itu dengan cat merah jambu yang sangat menyolok mata.
Tetapi pagi ini adalah pagi yang sedikit berbeda. Seharusnya Abraham tidak perlu bangun terburu-buru untuk menggelar rutinitas membosankan itu. Ketika matanya terbuka, ia lega sebab hari itu adalah hari minggu dan ia bisa berlama-lama di atas tempat tidur, namun tetap saja ia kesal karena ia mesti bangun dan cepat-cepat pergi ke gereja. Sebetulnya ia tidak tergolong orang yang sangat religius, tetapi sudah tiga pekan lewat tanpa kehadirannya di bangku gereja, jadi pagi ini ia harus ke gereja.
Ia melompat dari atas tempat tidur lalu berlari ke kamar mandi. Waktu sudah menunjukkan jam tujuh kurang seperempat, lima belas menit lagi lonceng gereja akan berdentang.
Abraham mandi seperti tak mandi. Cuma lima menit pintu kamar mandi sudah kembali terbuka. Ia melenggang dengan hanya memakai celana pendek hitam menuju belakang rumah untuk menjemur handuk. Saat itulah matanya tertumbuk pada sepotong tempe busuk sebesar buku tulis teronggok begitu saja di atas rumput persis di sebelah meja tempat cuci piring – busuk, bau, bercampurpeci[3], diselimuti lumut dan dikerubuti semut, lalat dan agas.
Refleks, lidah Abraham memaki, menyebut nama seeekor binatang berkaki empat. Dalam benaknya ia tahu manusia jenis apa yang sengaja membuang tempe busuk ini di halamannya. Dengan marah ia mengambil benda keparat itu dengan tangannya sendiri. Tentu dengan menggunakan sarung tangan sambil menahan kejijikan, ia melempar tempe busuk itu ke halaman belakang rumah tetangganya, Simson Riupassa.
***
Lonceng gereja berbunyi tiga kali, teng..teng..teng. Rombongan berjubah hitam, pendeta dan para majelis jemaat memasuki gereja diiringi oleh nyanyian pujian oleh para jemaat. Di antara jemaat yang hadir, Simson Riupassa bernyanyi dengan begitu semangat, ia terilhami oleh keceriaan khas yang biasa menjangkitinya di hari minggu.
Jika kita menggeledah suara syukur yang dilantangkan Simson saat itu, kita akan menemukan bahwa ia gembira untuk alasan yang sangat sederhana: ia merasa beruntung karena dikaruniai Tuhan seorang istri yang penurut, cekatan dan penyabar, meskipun tidak benar-benar cantik dan bertubuh gembrot di usianya yang masih tergolong muda. Ia juga sadar apa yang membuat dirinya bahagia pagi ini: bocah-bocah yang duduk di sampingnya, yang sering disebutnya sebagai “anak-anak pemilik surga”. Satu perempuan dan satu laki-laki, yang menjadi alasan utama baginya untuk bertahan hidup dan tetap semangat menjalani pekerjaan absurdnya sebagai seorang dosen.
Ketika nyanyian sambutan berakhir dan jemaat dipersilahkan duduk, saat itulah momen khidmat nan bahagia yang dijaganya serentak buyar ketika pandangannya tertumbuk pada si leher hitam yang duduk dua baris di depannya. Ada bulir-bulir keringat yang menempel, membuat leher itu mengkilat semakin menjijikan.
Simson hafal betul siapa pemilik leher hitam yang menyusahkan hatinya itu. Leher hitam yang menyangga kepala berambut keriting yang mulai tampak botak, dan sungguh kasihan sebab leher itu harus pula menopang otak tak berguna yang bersarang di dalam kepala yang sudah lama ingin Simson hantam dengan tinjunya. Bagi Simson, tak ada satu pun manusia di bawah atap langit ini yang memiliki leher seprovokatif seperti itu selain tetangganya Abraham, si perjaka tua yang sering kali menjadi duri di dalam dagingnya.
***
Abraham merasa keliru memilih tempat duduk, Harusnya ia memilih tempat duduk jauh dari jangkauan mata tetangganya itu, tetapi apa boleh buat, ia datang terlambat sehingga tak ada lagi bangku kosong yang tersedia selain di tempat yang ia duduki itu. Perasaannya mengatakan bahwa saat itu Simson sedang menatap benci kepadanya. Ia tidak lagi memerhatikan pendeta, pikirannya telah tenggelam oleh rasa tidak nyaman, dan berubah menjadi benci ketika ia teringat kembali pada sepotong tempe busuk yang ia temukan tadi.
Ini bukan pertama kali ia berselisih dengan tetangganya yang bertubuh kerdil itu. Gerbong-gerbong masalah telah sambung menyambung begitu panjang sejak dua tahun lalu ketika mereka sama-sama menempati rumah dinas itu dan menjalani kehidupan bertetangga. Dimulai dari perebutan hak milik sebuah pohon pepaya (almarhum) yang tumbuh liar persis di perbatasan pekarangan belakang rumah mereka.
Entah siapa yang menanam pohon pepaya itu, menurut pak RT, yang saat itu datang untuk melerai pertengkaran, pohon pepaya itu sudah tumbuh jauh sebelum Simson dan Abraham menempati rumah dinas mereka. Namun, sialnya pohon itu tumbuh tepat di tengah garis perbatasan, dan lebih sial lagi, pohon itu tumbuh dengan subur dan berbuah lebat. Akhirnya dengan bijak pak RT membagi rata hasil panen kepada kedua pihak yang bersengketa dan membuat kesepakatan untuk menumbangkan pohon bermasalah tersebut.
Masalah kemudian berlanjut di akhir bulan November tahun lalu. Kepala Abraham hampir meledak ketika memergoki Simson dengan nafsu yang menyala-nyala sedang melempari bebek-bebek peliharaannya dengan batu. Simson berdalih, ia melakukan itu sebab bebek-bebek itu telah bertindak kurang ajar memasuki pekarangan rumahnya lalu mematuk-matuk dan menginjak-injak bunga-bunga hebras yang baru ia tanam. Abraham tidak tinggal diam, sebab bagi dia, bebek-bebek peliharaan itu sudah dianggap seperti sahabat yang mengisi kesunyian hidupnya. Bahkan dalam beberapa kesempatan, para tetangga sering melihat Abraham mengobrol dengan bebek-bebeknya. Bagi Abraham, siapa yang melempar bebeknya sama saja dengan menginjak harga dirinya. Pada malam itu juga, ketika Simson telah tidur, Abraham melakukan pembalasan dendam. Ia berjinjit-jinjit memasuki pekarangan Simson dengan gunting di tangan. Keesokan paginya, ketika Simson hendak menyiram bunga, ia terkejut melihat bunga-bunga mawar yang ditanamnya telah berguguran dan dicincang-cincang dengan sadis.
***
Ketika pendeta mengajak jemaat untuk berdoa syafaat[4], Simson melipat tangannya, menundukkan kepala dan mengatupkan matanya, seperti halnya sikap berdoa pada umumnya. Namun, siapa yang sangka ketika matanya menutup, justru pikirannya semakin bebas mengembara di padang kebencian akibat si leher hitam mengkilat yang ia lihat tadi.
Sebetulnya, Simson bukan tipe orang yang suka mendendam dan membenci orang lain. Ia juga tidak suka meributkan hal-hal sepele yang kerap kali menjadi sumber pertengkarannya dengan Abraham. Menurutnya, bertengkar hanya karena pohon pepaya, bebek, bunga hebras, mawar, dan hal-hal kecil lainnya merupakan bukti dari ketidakdewasaan mental dan moral seseorang. Di dunia ini ada banyak hal penting yang layak dipertengkarkan ketimbang pepaya, bunga dan bebek.
Namun apa yang membuat ia sangat membenci Abraham, yang berujung pada keterlibatannya ke dalam pertengkaran-pertengkaran tidak penting itu, adalah karena ada sebab besar yang melatarbelakangi pertengkaran-pertengkaran kecil tersebut, sebab yang teramat serius untuk tidak diabaikan. Sebab yang dimulai dari tersingkapnya tabir rahasia Abraham yang sesungguhnya, yang pada akhirnya membuat Simson berkesimpulan bahwa Abraham adalah contoh nyata dosen karbitan berintelektual rendah yang tidak bermoral.
Sudah lama Simson meragukan kemampuan intelektual Abraham sebagai seorang dosen. Sebab ia tidak percaya bahwa orang yang memiliki kebiasaan berbicara dengan bebek dapat menjadi dosen yang baik. Simson pun masih sulit menerima bahwa seorang bujang lapuk yang mengecat rumahnya dengan cat merah muda menyolok, apakah bisa menjadi dosen yang tegas. Namun, ia tidak memiliki bukti untuk semua argumentasi itu.
Tetapi, cahaya kemenangan akhirnya datang. Dari beberapa sumber yang bisa dipercaya, keraguan Simson memperoleh jawabannya. Informasi itu membuat Simson tahu kalau tesis yang dibuat Abraham untuk memperoleh gelar master sebetulnya dibuat oleh orang lain. Sebagai imbalannya, Abraham menjanjikan sebuah pekerjaan sebagai asisten laboratorium bagi si pembuat tesis jika ia membantu Abraham, namun setelah tesis selesai dibuat, Abraham hilang tanpa jejak.
Simson juga pernah didatangi oleh seorang mahasiswa yang sedang mencari Abraham namun tidak berhasil bertemu. Mahasiswa itu bercerita bahwa Abraham sebagai dosen pembimbing sering meminta sejumlah uang dari mahasiswa yang ingin mengurus surat cuti kuliah, padahal menurut peraturan yang belakangan diketahui, bahwa untuk mengurus surat cuti tidak membutuhkan biaya apa-apa. Dan yang lebih memalukan lagi Abraham tanpa rasa malu sering meminta mahasiswa bimbingannya untuk mentraktir makan.
Dalam riwayatnya yang begitu buruk dan memalukan di mata Simson, Abraham masih sempat sesumbar bahwa ia sebentar lagi akan memperoleh beasiswa untuk sekolah Doktor ke Australia. Tawa Simson hampir pecah jika mengingat peristiwa itu kembali. Dalam doa syafaatnya yang sudah kehilangan arah itu, Simson bisa membayangkan bahwa leher hitam yang berkeringat mengkilat itu pasti tahu betul otak macam apa yang sedang disangganya.
Simson begitu bahagia dalam kebenciannya. Ketika ibadah selesai ia merasa lega. Kelegaannya bukan lagi karena menyadari anugerah Tuhan yang memberikan istri dan anak yang sangat disayanginya itu, tetapi bahagia karena kebenciannya terhadap seteru abadinya itu didasarkan pada alasan dan bukti yang kuat.
Lain halnya dengan Abraham, ia masih kesal dengan tempe busuk itu, tetapi cukup lega karena benda itu sudah ia buang ke halaman rumah Simson. Tempat di mana benda busuk itu semestinya berada. Ketika ibadah selesai, ia cepat-cepat pulang. Alasan utamanya ia tidak ingin berpapasan dengan Simson. Alasan kedua, ia sedang tidak ingin berjabat tangan dengan siapapun. Ia hanya ingin pulang dan mengucapkan selamat hari minggu kepada bebek-bebeknya
***
Saat itu aku sedang duduk di dekat pohon pepaya yang sudah tumbang. Hari itu hari yang cerah, dan cocok untuk bersenang-senang, lidahku kujulur-julurkan, dan aku tidak henti-hentinya menggaruk sekujur tubuhku karena gatal. Jauh di depan sana, aku melihat orang-orang berpakaian rapih lewat. Aku melihat Abraham masuk ke dalam rumahnya. Tak lama kemudian, di sisi kiri pandangan, Simson dan keluarganya juga masuk ke dalam rumahnya. Hanya sebentar, Simson membuka pintu belakang, ia keluar ke halaman belakang rumahnya dan melihat sesuatu di bawah. Di balik kacamatanya, aku bisa menandai mata yang dikuasai kemarahan. Ia lalu masuk ke dalam rumah, kemudian kembali keluar menenteng sebilah parang yang cukup panjang. Aku langsung melompat di tempat dan menyalak tak putus-putusnya. Simson seperti sudah tuli. Ia menyebrang ke halaman belakang rumah Abraham, menggedor-gedor pintu rumah Abraham dengan parang. Aku sempat melihat Abraham membuka pintu, tetapi aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya, sebab aku memilih lari sejauh mungkin dan bersembunyi di balik semak-semak yang tersembunyi dari siapapun.
Ambon, 2011
[1] Anjing kudisan
[2] Halaman rumah
[3] Lumpur
[4] Doa yang dilakukan sebagai perantaraan untuk menyampaikan permohonan kepada Tuhan.
Cerpen Tempe Busuk merupakan salah satu cerpen terbaik di Antologi Cerpen RetakanKata 2012: Hari Ketika Seorang Penyihir Menjadi Naga.
Jadi, ada apa sebenarnya dengan tempe busuk itu sehingga si anjing pun tidak mau memakannya dan malah meletakannya di halaman rumah Abraham