Hati yang terpaksa. Iya. Hati ini sejatinya memang tak dapat dipaksa. Tapi jika Tuhan telah takdirkan, apa mau dikata. Seribu cara menolak, seribu kepandaian pula yang dipertontonkan Ruswan dalam upaya menarik hatiku. Juga keluargaku. Dan Ruswan, terlalu pintar untuk dilawan. Aku akhirnya terperangkap pada ikatan yang tak mudah untuk dilepas. Pernikahan. Walau dalam hati yang terpaksa.
Bukan ingin menggadaikan hati pada cinta yang tak kukehendaki. Tapi lihatlah, bagaimana terpesonanya orangtuaku pada segala rayuan manis Ruswan. ” Dia laki-laki baik. Rajin ibadah dan punya pekerjaan. Lelaki seperti apa lagi yang kau cari?” Begitu ibu bilang.
Benar. Ruswan lelaki baik dan alim. Rasanya terlalu keji jika aku bilang bahwa kebaikan yang diperlihatkannya di depan orangtuaku adalah rayuan semata. Ruswan tidak merayu. Dia ikhlas mencinta. Dia lelaki ideal untuk menjadi seorang imam. Dia akan menahkodai rumahtangga dengan penuh tanggung jawab. Dia akan mendidik anak-anak dengan segala kematangan ilmunya. Dia faham benar, bahwa dia adalah tulang punggung yang akan senantiasa memuliakan tulang rusuknya. Karenanya, betul apa yang dikatakan ibu bapak, lelaki seperti apa lagi yang kucari jika semua telah ada pada Ruswan?
Wahai ibu bapak, tapi kalian tidak pernah lihat ke arah kiri dan kanan. Manusia semulia Ruswan tidak hanya satu. Andai ada satu menit kesempatan untuk aku membawakan Ruswan-Ruswan lainnya ke hadapan kalian, mungkin hari itu aku akan bisa terbebas dari keterpaksaan. Mungkin kalian akan memintaku untuk menimbang dan memilih, lelaki mana yang sejatinya kukehendaki.
Di sini. Dalam hati ini. Rupanya masih tertinggal satu nama. Aku tak memungkiri, bahwa kesejatian cinta ini begitu abadi adanya. Sesungguhnya aku ingin mengenyahkannya. Lelaki bernama Amsyar itu telah lama menggerogoti otakku. Aku tak pernah bisa tenang. Senantiasa terjebak pada kerinduan yang seolah tak menemui ujung. Hati kecilku terbagi dua, satu sisi aku sadar bahwa aku seorang istri dari manusia paling sabar yang pernah kutemui, Ruswan. Kepadanya aku layak berbakti. Bagaimanapun aku telah melahirkan anak-anak darinya. Tapi di lain sisi, Amsyar, kekasih lamaku, selalu terdiam di relung dada ini. Cintanya seakan masih mengalir di setiap nadiku. Setiap nafasku, seakan mendambakan kehadirannya kembali. Yang paling membingungkanku, bagaimana jika kelak Amsyar tiba-tiba datang ke rumah setelah menyelesaikan study-nya di Al-Azhar Mesir? Seperti janjinya dulu, bahwa dia akan datang menemui bapak dan ibuku jika telah cukup menimba ilmu dari negeri gurun pasir itu.
“Aisyah, berumahtangga itu tak cukup dengan cinta, harus disertai dengan ilmu agar terasa bahagia dunia akhirat. Tunggulah sampai aku kembali menemuimu dan menemui orangtuamu.” Kata Amsyar kala itu.
Sejak aku menikah dengan Ruswan, entah berapa banyak surat Amsyar yang tak pernah kubalas. Semua berakhir pada pembakaran sampah, bahkan sebelum aku membacanya. Menangis hati ini, ketika kulihat lembar demi lembar untaian kata-kata cinta itu menghilang sia-sia dalam jilatan panas nyala api. Rasanya hatiku pun ikut terbakar. Terbayanglah bagaimana kepedihan hati Amsyar andai dia tahu bahwa surat-suratnya hangus menjadi butir-butir debu. Maaf, Amsyar! Bukan aku hendak membakar hatimu, tapi di sini ada sebilah hati yang harus kuhargai.
Entah dengan cara apa lagi aku berupaya menghapus segala tentang Amsyar dalam hatiku. Aku ingin mengenyahkannya. Aku ingin mempersembahkan seluruh hatiku untuk suamiku, Ruswan. Tapi Amsyar seakan telah mengikat seluruh nafasku. Aku seakan tercekik saat rindu ini tiba di ubun-ubun.
Amsyar….Oh, Tuhan! Hatiku menjerit memanggil namanya. Padahal saat itu, tubuhku berada layu pada pelukan halal Ruswan. Harusnya aku bercumbu dalam segenap kebahagiaan. Bukankah melayani suami dengan keikhlasan adalah pahala surga bagiku? Tapi mengapa aku merasa ini adalah sebuah pelecehan yang tak manusiawi, sebab hatiku tak menghendakinya? Benar. Hatiku masih saja berpaling dari Ruswan.
Hatiku menjerit. Tak segan kumaki. Kenapa masih saja kuharapkan lelaki yang sudah terlarang untukku. Oh, Tuhan! Jangan Kau masukan aku ke dalam golongan perempuan-perempuan nusuz. Apalagi kau tibakan azabmu bagiku yang pendusta ini. Sungguh keadaan ini tidak kuinginkan. Tapi apalah daya, cinta ini begitu abadi nyatanya. Diriku terbelenggu pada pengharapan hampa, apalagi tepian untuk menyampaikan rindu. Ya. Rindu pada Amsyar. Lelaki yang bagiku ada namun tiada.
Wajah Ruswan perlahan mendarat di wajahku. Ada nafas yang lelah, namun memburu. “Terima kasih istri cantikku atas segenap cintanya. Semoga Tuhan segera karuniakan kembali buah hati. Biar keluarga kita semakin ramai.” Senyum Ruswan berhamburan, dia tampak bahagia.
Aku pun tersenyum, dengan terpaksa. Apalah daya, aku memang harus menerima apa yang telah digariskan. Tentang bahagia, sudahlah! Aku tak ingin mendambakan itu. Cukuplah kebahagiaanku waktu bersama Amsyar, dahulu! Ya, dahulu! Bertahun-tahun silam, yang hingga saat ini bahagia itu masih sangat kurindukan.
Terasa semakin erat pelukan tangan Ruswan. Penuh cinta. Tapi aku…aku sesungguhnya ingin berteriak,
“tolonglah aku, Amsyar! Bawalah aku pergi dari keterpasungan cinta ini!”
Tak terasa shubuh telah tiba. Dan aku segera menenggelamkan resahku pada setiap butir-butir air yang berjalan cepat diatas helai-helai rambut panjangku.
Belum ada tanggapan.