Apa yang ada dalam pikiran kita tentang manusia Indonesia? Pertanyaan ini sebenarnya merupakan pertanyaan eksistensial dan susah dijawab. Akan tetapi banyak orang kemudian melihat Indonesia dari sisi kekurangan-kekurangan. Karena itulah, bila kita bicara tentang Indonesia, biasanya melekat pada hal-hal yang negatif semata. Seperti bangsa yang korup, bangsa yang jorok, kotor, dan bangsa pemalas.
Kesan-kesan seperti itu tampaknya yang juga ditangkap oleh Taufiq Ismail di tahun 1998 ketika menulis puisi Malu (Aku) jadi orang indonesia, atau Mochtar Lubis yang mendahuluinya di tahun 1977 yang menulis pengamatannya tentang sifat negatif manusia indonesia di bukunya “Manusia Indonesia”.
Apa yang dilihat dari indonesia yang demikian memang bukanlah suatu persepsi, tetapi juga merupakan realitas meski mungkin tidak sepenuhnya tepat. Dalam urusan kebersihan misalnya, kita kalah jauh dengan Singapura atau Malaysia. Dalam urusan korupsi apalagi, kita menjadi juara dalam urusan korupsi bahkan koruptor saja masih sempat tertawa di negeri kita. Negeri yang katanya negeri sepenggal surga, masih saja menciptakan keniscayaan yang berupa kemiskinan dan kemelaratan.
Bila melihat kondisi negara kita, kita akan mendapati negeri ini begitu banyak utang kepada negara luar. Dalam dunia politik misalnya, kita juga disuguhi atraksi politik dan perebutan kekuasaan yang berdarah-darah untuk kepentingan golongan, sampai pada kepentingan pribadi. Begitu pula ketika kita melihat partai-partai politik kita, kita seperti bosan disuguhi drama politik yang membuat kita muak, marah dan kecewa.
Di buku bertajuk Kagum Kepada Orang Indonesia yang ditulis Emha ini, kita akan menemukan persepsi yang jauh bertolak belakang dari apa yang disampaikan oleh Mochtar Lubis dan Taufiq Ismail. Kita akan disuguhi 9 esai yang mencoba melakukan tafsir ulang dan bantahan terhadap apa yang dipersepsikan orang selama ini tentang orang indonesia.
Dalam urusan kepemimpinan misalnya, meskipun kita sering disebut sebagai bangsa yang kurang dalam sisi kepemimpinan, tetapi kenyataan berkata lain. Emha menilai, kita ini bangsa unggul, maka dalam manajemen sejarah kebangsaan dan kenegaraan kita juga santai-santai saja karena segala sesuatunya pasti oke. Stok pemimpin nasional kita sangat melimpah. Dipimpin oleh kualitas medioker seperti Bu Mega saja negara bisa beres (h.5).
Emha juga meneropong manusia Indonesia dalam perspektif kebudayaan dan sejarah. Dimana dalam sejarah kebudayaan kita, dijelaskan bahwa Indonesia merupakan pusat dan warisan kebudayaan dunia. Karena itulah, sebagai bangsa yang besar, Indonesia dalam kehidupan sehari-hari punya kecenderungan kerendahan hati yang luar biasa. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar sehingga tidak membutuhkan kebesaran. Orang yang masih mengejar kebesaran adalah orang yang masih kecil atau kerdil. Orang yang masih sibuk mengejar proyek dan kekayaan berarti dia orang miskin. Indonesia tidak pernah mengejar-ngejar kemajuan karena sudah maju. Indonesia tidak bernafsu terhadap kehebatan karena aslinya memang sudah hebat (h.20-21).
Membaca buku ini, kita diajak untuk melihat Indonesia secara utuh. Emha mengajak kita tak melihat Indonesia secara parsial dengan memojokkan kekurangan-kekurangan yang dimilikinya. Tetapi Emha mengajak kita untuk menggali dan berfikir secara kritis tentang manusia Indonesia. Emha mencoba menggali dan menilik kembali kelebihan-kelebihan yang ada pada negeri ini, negeri yang dikagumi oleh bangsa luar semenjak dulu.
Bisa kita lihat lebih dalam, negeri ini memang tak bisa diremehkan dan dipandang rendah oleh bangsa lain. Kita bisa melihat bagaimana negeri ini mengekspor bahan mentah yang cukup banyak ke negara-negara maju seperti Jepang, Amerika, Australia. Dalam bidang properti misalnya, kayu-kayu kita banyak digunakan untuk membangun gedung-gedung dan rumah-rumah di negara barat. Anak-anak kita juga kerap menjuarai olympiade di tingkat dunia. Malaysia misalnya tak bisa seperti sekarang tanpa kontribusi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) dari kita.
Sesungguhnya dunia besar karena Indonesia. Cara Indonesia membantu terbangunnya kebesaran dunia tidak dengan menyombongkan dirinya, melainkan dengan merendahkan diri secara luar biasa (h.36). Kelebihan inilah yang senantiasa membuat Indonesia selalu nampak merendah, tidak ngoyo dan sombong dimata bangsa-bangsa maju.
Buku ini mencoba untuk menjawab sinisme dan pesimisme kita dalam memandang Indonesia. Kita diajak untuk pelan-pelan menilik karakteristik budaya manusia Indonesia. Ternyata bila kita lihat lebih jauh, Indonesia bukan hanya kampung yang kotor, kumuh, dan korup. Tetapi di dalam samudera yang luas tentang keburukan dan kabar tak sedap tentang Indonesia, kita bisa menemukan mutiara di dalamnya. Mutiara itulah yang selama ini jarang kita lihat dan tengok.
Melalui buku ini Emha mengajak kita untuk menabur benih asa dan harapan setelah menggali dan mengetahui potensi positif dari manusia Indonesia. Namun sebagai sebuah tesis yang belum final, tentu saja buku ini memberikan kesempatan kepada sidang pembaca untuk mengkritisi lebih jauh tentang “manusia Indonesia”.
Belum ada tanggapan.