Istilah “refleksi” kini tentu sudah menjadi sesuatu yang familiar di masyarakat. Sejak berabad-abad yang lampau, Socrates pernah menyatakan bahwa hidup tanpa refleksi adalah hidup yang tidak layak dihidupi. Demikianlah refleksi menjadi sesuatu yang penting untuk perkembangan diri seseorang dalam menjalani kehidupan.
Hannah Arendt, dalam bukunya “The Human Condition”, menggunakan istilah vita activa dan vita contemplativa untuk menganalisis kondisi kehidupan kemanusiaan modern. Vita contemplativa merupakan aktivitas mental yang meliputi berpikir, berkehendak, dan mempertimbangkan. Vita activa meliputi kerja, karya, dan tindakan. Arendt mengungkapkan bahwa puncak manusia bukan pada ranah pemikiran, melainkan pada kehidupan yang aktif. Berdasarkan pada hal tersebut, kedudukan vita activa berdampingan dengan vita contemplativa.
Tulisan-tulisan Mona Sugianto membawa pembaca pada titik-titik refleksi. Mona menyodorkan pelbagai pertanyaan yang cukup menghentak mata pembaca dari bab ke bab. Lantaran pertanyaan-pertanyaan reflektif ini menuai ketegangan dalam membaca adalah proses meresapi teks terhadap dunia nyata pembaca. Ketegangan yang mengarah pada “upaya perbaikan diri” tentu muncul bilamana pembaca benar-benar mau masuk ke dalam ruang jawab atas pertanyaan-pertanyaan reflektif tersebut.
Mona memulai dengan suguhan pertanyaan demikian: “untuk apa kita hidup dengan semua kenyerian hidup sebagai manusia?” (hal.23), “kapan terakhir kali Anda pernah begitu terhimpit beban berat?” (hal.58), “apa rencana Anda untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan beban dan penderitaan-penderitaan?” (hal.62). Hingga kemudian, mengarah pada pokok-pokok berikut: “jadi, apa yang paling penting dalam hidup?” (hal.101), “apa tujuan orang ingin sukses, kaya, dan enak, kalau toh juga menghambat kita untuk ‘selamat’?” (hal.110), “mau dan mampukah kita menjadi pahlawan bagi diri kita sendiri?” (hal.127).
Tidak berhenti sampai di situ. Mona menekankan kepada pembaca untuk senantiasa menjunjung kedalaman dalam berefleksi. Sederet tanda tanya kepada pembaca berbunyi begini: “pernahkah Anda menjadi besar dan berkuasa, yang merasa bahwa Anda berjuang untuk bisa menang di atas saingan Anda?” (hal.81), “bagaimana rasanya diperlakukan tidak adil, dirampas hak-hak, dilecehkan, diperkosa?” (hal.95), “bagaimana kalau zombi jadi guru, trainer, atau pengajar?” (hal.97), “bagaimana cara menikmati kemanusiaan kita?” (hal.98), “bagaimana menjadi ‘terang’?” (hal.112), “anda pernah menyesal dan kemudian dimaafkan? Bagaimana rasanya?” (hal.159).
Ajakan-ajakan penulis terasa semakin persuasif kepada benak pembaca ketika menuju halaman-halaman akhir buku ini. Berikut sejumlah ruang tanya yang semakin menuju ke dalam diri: “Apakah panggilan hidup Anda? Apa kekuatan yang menarik dan memanggil Anda? Apa yang membuat Anda tetap kuat berjalan meskipun kesakitan, yang membuat Anda mau dan bisa bangkit kembali setelah jatuh? Apa yang membuat Anda bisa bersukacita meskipun tidak dikalungi bunga dan dihadiahi emas?” (hal.181), “apa yang membuat Anda yakin untuk terus berjalan? Yakinkah Anda bahwa ada jalan di depan yang akan membawa Anda sampai ke tempat tujuan?” (hal.200),
Tidak sekadar menuntun pembaca pada pertanyaan-pertanyaan reflektif, penulis pun menawarkan tips-tips semacam pemecah masalah yang biasa hadir dalam hubungan interaksi sosial manusia dengan siapa dan apa pun. Selain ia kerap kali membubuhkan nukilan-nukilan kata mutiara dari tokoh-tokoh ternama: Lao Tzu, Gibran, Emerson, Gandhi, Martin Luther, Jr., Cicero, Frankl, dan sebagainya. Di satu sisi, penulis memberi semacam analisis ringan atas permasalahan-permasalahan aktual dari sudut pandang mitologi dipadukan dengan kelilmuan psikologi dari tokoh-tokoh seperti Freud, Jung, Maslow, Carol D. Ryff (hal. 40). Sebuah nilai plus karena penulis berlatarblekang pendidikan psikologi.
Pendek kata, penulis buku ini mencoba merangkum seluruh tema permasalahan hidup, nurani, heroisme, perjalanan, sejarah, tragedi manusia, bias gender, kepemimpinan, serta cinta dengan sebuah pertanyaan profan. Pada bab akhir, alih-alih ia mengaitkan kehidupan yang diterima manusia dengan Sang Pemberi kehidupan itu sendiri: “apa yang akan saya lakukan bila 12 jam lagi saya akan menghadap Tuhan?” (hal.221). Berangkat dari buku dengan kemasan apik ini, masihkah kita bertanya tentang pentingnya refleksi?
Resensi Buku oleh Ganjar Sudibyo
Yogyakarta, 2016
Belum ada tanggapan.