Sebagai pecinta dan pegiat buku, adakah kebahagiaan yang lebih besar daripada kebahagiaan saat kita melihat kawan-kawan kita berhasil menerbitkan sebuah buku? Kebahagiaan seperti itulah yang saat ini saya rasakan ketika saya meraba, melihat, dan menikmati buku antologi puisi berjudul Mahasiswa Melawan Korupsi terbitan dari kawan-kawan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta (BEM UMS) tahun 2015 ini. Apalagi, saya juga menyaksikan bagaimana beratnya proses penerbitan buku ini. Hal ini tentu menambah kebahagiaan saya saat membaca dan mengulas buku ini.
Di tengah kritik pada monotonnya strategi perjuangan mahasiswa, buku ini bagaikan angin segar bagi kita semua. Bagaimana tidak. mahasiswa yang sering dicap kurang karya, dan hanya bisa berbesar mulut saat demontrasi saja, membuktikan, bahwa mereka juga bisa membuat karya dan menerbitkan buku. Buku antologi puisi ini juga merupakan bukti bahwa mahasiswa pada saat ini tidak kekurangan imajinasi dan strategi perjuangan saat berhadap-hadapan dengan masalah besar bernama korupsi.
BACA JUGA: Kaum Muda Menulis: Buat Apa?
Mahasiswa dalam buku ini, menggugat, menggebrak, dan membangkitkan sentimen tentang bahaya korupsi di tengah arus demokrasi. Korupsi dikecam dan dianalogikan dengan macam-macam simbol khas anak muda. Tikus, buaya, dan kucing adalah simbol-simbol favorit yang dipilih kebanyakan mahasiswa di buku ini untuk mensimbolkan koruptor, aparat dan penegak hukum. Selain itu, bahasa-bahasa keras dan vurlgar juga mewarnai sebagian besar puisi-puisi anti korupsi dalam buku ini.
Hal ini saya anggap wajar. Sebab, saya rasa sebagian besar penulis buku ini sudah muak melihat bagaimana kasus korupsi terjadi di negeri ini. Saat para mahasiswa melihat televisi, kasus korupsi tidak pernah absen. Saat mereka membuka sosial media seperti Intagram atau facebook, kasus korupsi juga merupakan menu utama dan menjadi berita viral. Kejenuhan itu, kemudian ditumpahkan dalam sesuatu yang positif berupa puisi untuk kemudian diterbitkan menjadi buku ini.
Namun, kekuatan buku ini bukan terletak pada pemilihan kata-kata kasar dan vulgar dari para penulis. Kekuatan buku ini justru lahir dari pemilihan jenis buku dan dari background para mahasiswa yang menulis buku ini. Buku ini ditulis dalam kerangka sastra berjenis puisi, yang mensiratkan bahwa upaya mencerdaskan masyarakat dan memberantas korupsi membutuhkan lebih dari sekedar logika hukum yang kaku dan njimet. Upaya mencerdaskan masyarakat dan memberantas korupsi harus didukung oleh kreativitas yang tinggi dan imajinasi yang mumpuni. Dan puisi adalah salah satu jenis karya sastra yang sangat ideal dalam memompa lahirnya imaji dan gagasan baru. Maka tak heran jika banyak politikus dan negarawan besar sekelas, Mohammad Hatta, Soekarno, Jose Rizal, juga menyempatkan diri untuk menulis bait-bait puisi. Bait puisi sering diyakini bisa membangkitkan kekuatan mental dan kesadaran bagi siapa saja yang haus akan kebenaran sekaligus keindahan.
BACA JUGA: Mengenal Tulisan Filsafat Bung Hatta
Selain itu, background atau latar belakang keilmuan dari para penulisnya yang 90% bukan berasal dari program studi sastra menjadi kekuatan lain buku ini. Coba bayangkan, bagaimana seorang mahasiswa pendidikan biologi, pendidikan matematika, atau ekonomi akutansi, harus berjibaku membangun imajinasinya dalam upaya melakukan perlawanan pada tindak korupsi. Tentu itu bukan saja perkara yang menantang tapi juga suatu upaya yang keras dan membutuhkan waktu. Namun, upaya mereka jelas terbayarkan dengan penerbitan buku ini dan penerimaan buku ini secara luas.
Imajinasi para mahasiswa yang mendadak jadi sastrawan ini pun tidak kalah dari dari puisi-puisi umum yang ditulis oleh anak fakultas sastra. Coba simak saja satu puisi berjudul “prinsip” dalam buku ini yang ditulis oleh Kasih Nisa:
Prinsip
Bagaimanapun bentuk tantangan hidupmu
Takan bisa kau hindari 2 pilihan:
Terjang menang atau mundur hancur
Kekuatan imajinasi dari kata-kata seperti itu mengingatkan saya pada puisi-puisi karya Wiji Thukul. Kata-kata bernada keras dan kerap diidentikkan sebagai protes itu memang khas kaum muda. Kaum muda memang agak keras kepala dan terkesan tidak sabaran ketika mereka sedang marah atau muak. Namun itulah mereka. Mereka, mahasiswa yang masih muda-muda itu memang dihidupi oleh gejolak idealisme dan keinginan-keinginan murni yang terlampau tinggi. Hingga kadang, jika kenyataan tidak sesuai harapan, mereka melontakrkan kata-kata yang keras dan pedas.
Sebagai sebuah buku yang dicetak dalam rangka ikhtiar untuk membantu mendukung gerakan anti korupsi, buku ini memang layak untuk diapresiasi sebagai bagian dari upaya pembangunan karakter bangsa dalam membentuk generasi anti korupsi. Namun begitu, seperti uraian prolog yang diberikan oleh Eko Prasetyo, buku ini masih bisa dimaksimalkan jika saja buku ini dibangun atas dasar refleksi yang lebih dalam dari para penulisnya. Seandainya saja penulisnya mempunyai waktu yang lebih panjang untuk merefleksikan tema dan bisa bebas dari tugas dan beban kuliah yang mengikatnya, saya yakin muatan-muatan filosofis dalam buku akan muncul. Hingga buku ini bisa menjadi bahan yang layak baca bagi kita yang ingin menyaksikan strategi gerakan mahasiswa dalam melawan korupsi. Begitu.
Belum ada tanggapan.