“Kau lihat Wada, aku menemukan seorang anak yang unggul seperti kamu. Hmmm..bahkan dua orang!” gumam pelatih Zaki pelan sambil meremas-remas kepalanya. Raut wajahnya penuh kesedihan, seakan mengenang kenangan lama yang sangat menyakitkan.
***
Hari itu siang begitu panas, pun begitu di dalam gelanggang olahraga. Pertandingan basket yang berlangsung begitu seru sehingga seolah olah menambah panasnya udara siang itu. kedua pendukung saling berteriak, berseruan, menahan napas, dan berkeringat melihat serunya pertandingan yang tengah berlangsung. Waktu menunjukkan pertandingan tak lama lagi akan berakhir. Saling balas skor, kejar mengajar, keringat bercucuran dan antuasiasme para pemain membuat para penonton seakan terhanyut dan tidak peduli bahwa ini hanya pertandingan antar SMA saja.
Pertandingan siang itu memang pertandingan antar SMA se-Indonesia yang sudah masuk babak 16 besar, mempertemukan SMA Pemuda dan SMA Bangsa. SMA Bangsa adalah unggulan utama dalam kejuaraan ini, mereka sudah punya nama dan selalu mencetak bibit unggul pemain basket SMA. Setiap tahun pun mereka selalu menjadi juara di kejuaraan antar SMA se-Indonesia ini. Sedangkan SMA Pemuda adalah pendatang baru, yang harus melewati babak penyisihan dengan susah payah, otomatis nama mereka tidak pernah terdengar di level kejuaraan antar SMA se-Indonesia. Di pertandingan babak 32 besar, mereka mengalahkan SMA Cita dengan penuh susah payah.
Pertandingan sudah berjalan lebih dari setengah. Sangat seru dan balas membalas serangan terjadi sejak menit pertama. Di luar dugaan kebanyakan orang, ternyata SMA Pemuda mampu tampil solid dan menyulitkan SMA Bangsa. Kejar mengejar skor terjadi, walaupun lebih sering tertinggal, namun SMA Pemuda selalu berhasil menipiskan skor, sehingga membuat para pendukung SMA Bangsa menahan napas terus menerus. SMA Bangsa sempat unggul 20 poin kemudian SMA Pemuda mampu menipiskan angka hingga tinggal delapan poin, kemudian SMA Bangsa unggul kembali 15 poin sekarang SMA Pemuda mampu menipiskan skor hanya tinggal delapan poin lagi. Skor saat ini adalah 55-50 untuk keunggulan SMA Bangsa.
Di bench, pelatih kedua tim tampak saling berpikir keras. Terkadang mereka juga memberi aba-aba kepada pemain yang tampil di lapangan. Pelatih SMA Bangsa adalah Pak Otto, pelatih muda yang cukup cerdas dengan kemampuan yang mumpuni. Sedangkan pelatih SMA Pemuda adalah Pak Zaki, pelatih Zaki sudah agak tua, rambutnya beruban dan gemuk, namun dia sangat ahli dalam strategi basket. Pelatih Otto terlihat tegang dan berkeringat, dahinya mengerut pertanda dia sedang berpikir keras. Di bench SMA Pemuda, terlihat Pelatih Zaki malah meremas-remas rambutnya, matanya seperti tidak ada di pertandingan, melayang jauh kembali ke masa lalu kelam yang pernah ia lalui.
Ada adegan di lapangan yang membuat Pelatih Zaki menjadi teringat akan masa lalunya. Yaitu permainan dua anak kelas 1 SMA Pemuda yang menjadi motor pendorong mereka di pertandingan kali ini. Yang pertama adalah Rawa, tidak diragukan lagi kemampuannya bermain basket, seorang atlet berbakat yang sudah memperlihatkan talentanya sejak masih duduk di bangku SMP. Seorang lagi adalah Sangaji, pemuda ini baru belajar bermain basket kurang lebih dua bulan yang lalu, namun memiliki bakat dan talenta yang luar biasa, dulunya dia hanya seorang berandalan yang bisanya membuat onar, namun tanpa diduga dia bisa berkembang secepat itu dalam dunia basket SMA. Aksi kedua anak inilah yang membuat Pelatih Zaki terkenang akan masa lalunya. Masa lalu yang menyakitkan ketika ia masih menjadi pelatih basket di Universitas.
***
“Wah Wada, kau luar biasa kemarin. Mencetak banyak skor dan membawa Universitas kita menang Liga. Lihat beritamu terpampang di koran. Kau sekarang yang terhebat di level Universitas,” kata Ario, sahabat Wada dan rekan satu tim basket Wada.
“Hahahaha. Biasa aja lah! Tapi benar ini jadi salah satu momen yang meyakinkan aku untuk segera mewujudkan cita-citaku. Bermain basket di NBA Amerika. Mungkin satu atau dua bulan lagi aku bakal pergi bro”, kata Wada dengan ceria dan penuh semangat.
“Yang bener bro? Di sana susah lho, orangnya tinggi-tinggi dan skillnya mantep-mantep,” kata Ario lagi.
“Aku gak takut,” kata Wada dengan penuh keyakinan.
“Apa kamu sudah konsultasi dulu ke Pak Zaki? Beliau tahu seluk beluk dunia basket Wad, siapa tahu ada saran dari beliau,” kata Ario kembali.
Wada tidak menjawab. Dia terus berjalan kemudian masuk ke dalam kelas. Meninggalkan Ario yang terdiam di belakangnya. Ario sendiri hanya memandang Wada berjalan menjauh. Dia tidak berkata sedikit pun. Dia tahu Wada seorang yang sangat percaya diri dan penuh semangat, namun dalam hal ini, dia berharap sahabatnya itu berhati-hati membuat keputusan. Ario sendiri sudah tahu bahwa seminggu yang lalu Wada menemui Pelatih Zaki, dia membicarakan tentang keinginannya pindah ke Amerika. Dan tentu saja pelatih Zaki menolak dengan pertimbangan yang masuk akal.
***
“Sebenarnya aku tak berhak menghalangimu pergi, tapi coba kaupikirkan dengan lebih matang lagi. Amerika bukan negeri yang ramah bagi pemain basket, banyak pemain yang muncul namun yang mati di tengah jalan lebih banyak lagi, terutama bagi orang Asia seperti kita. Apa kau siap dengan itu semua?,” kata Pelatih Zaki dengan nada yang sangat lembut kepada Wada. Saat ini Wada berada di hadapannya, ia membicarakan keinginannya untuk pindah ke Amerika setelah pertandingan final Universitas.
“Saya siap dengan semua resikonya Pak,” kata Wada dengan mantap.
“Aku sangat senang jika kau memulainya dengan perlahan. Menjadi yang terbaik di Universitas, kemudian Indonesia, dan kemudian Asia Tenggara. Orang tua ini hanya takut bakatmu mati di sana. Tapi jika kau memang sudah membulatkan tekad, apalagi yang bisa aku perbuat?” kata Pelatih Zaki dengan wajah yang sedih.
***
“Wah hebat ini foto Wada,”
“Benar, wah dia sudah main di Liga Universitas,”
“Wajahnya terpampang di koran ini, hebat benar si Wada, jalannya main di NBA sudah dekat,”
Sudah dua bulan berlalu sejak Wada memutuskan pergi ke Amerika. Tidak ada berita darinya, bahkan Ario sahabatnya juga tidak tahu mengenai kabar dari Wada. Hingga tiba-tiba hari ini fotonya terpampang di surat kabar, fotonya sedang berebut bola di Liga Universitas di Amerika. Teman-temannya pun segera berebut ingin melihat wajah Wada, dan mereka pun berteriak luar biasa.
Namun berbeda cerita ketika Pelatih Zaki yang melihat foto tersebut. Beliau malah menampak ekspresi sedih. “Hanya dalam dua bulan, mereka sudah berhasil menghapus matamu yang penuh semangat itu, Wada!”, gumam Pelatih Zaki pelan.
***
Di sore hari yang cerah. Pelatih Zaki sedang bersantai di halaman rumahnya. Dia sedang memandangi dan menyemprot bonsai kesayangannya. Tiba-tiba saja, datanglah Ario dengan terburu buru. Pelatih Zaki kemudian mempersilakan Ario duduk di ruang tamu, mereka berbincang.
“Maafkan saya datang mengganggu Pak. Ada berita buruk yang mau saya sampaikan. Ini mengenai Wada,” katanya pelan.
Wajah Pelatih Zaki menunjukkan minat sekaligus kecemasan. “Ada berita apa?” katanya kemudian.
“Wada sudah meninggal Pak, kira-kira dua minggu yang lalu. Dia ditemukan gantung diri di apartemennya. Baru tadi orang tuanya memberi tahu dia, mereka juga menitipkan surat dari Wada untuk Bapak,” kata Ario sambil memberikan surat kepada pelatih Zaki.
Setelah menyampaikan berita kematian Wada, Ario segera pamit ke pelatih Zaki. Selepas kepergian Ario, sambil duduk di ruang teras Pelatih Zaki membuka surat dari Wada dan membacanya.
Untuk Pak Zaki,
Saya tak tahu apakah surat ini akan benar-benar sampai ke tangan Bapak. Tapi yang pasti ketika Bapak membuka surat ini, saya sudah tidak ada lagi di dunia ini.
Benar seperti kata Bapak, Amerika sungguh kejam. Tidak ada kawan yang menyapaku di sini, aku sendirian. Di tim basket pun tidak ada yang memberi umpan ke aku, tidak ada yang mempedulikanku, bahkan aku dianggap tidak pernah ada oleh mereka. Semangatku yang berapi-api langsung redup dalam hitungan minggu.
Aku tahu aku sudah gagal di sini. Aku ingin kembali, tapi sudah tidak bisa. Aku tidak mau orang menertawakan kegagalanku. Oleh karena itu aku memutuskan tetap di sini walau sebenarnya aku sudah sangat tidak tahan lagi.
Maafkan aku, Bapak. Aku ingin merasakan sentuhan tangan Bapak, gelak tawa teman-teman, dan kemenangan bersama tim ku yang dulu. Tapi aku tahu itu tidak mungkin. Sekali lagi, aku mohon Bapak memaafkanku yang telah mengabaikan nasihat dari Bapak.
Ttd,
Wada
Tanpa sadar air mata mengalir membasahi wajah Pelatih Zaki. Di dalam hatinya dia sangat menyesali tidak dapat mencegah Wada pergi ke Amerika. Anak didiknya yang paling dia harapkan ternyata berakhir sangat mengenaskan.
***
Gemuruh penonton di Gelanggang Olahraga sangat menggema. Tembakan Sangaji di detik-detik akhir memastikan kemenangan SMA Pemuda dengan skor 77-76. Kemenangan tipis yang membuat mereka lolos ke babak perempatfinal. Seluruh pemain bergembira, termasuk Rawa dan Sangaji yang tidak pernah akrab pun ikut-ikutan bergembira di tengah-tengah gemuruh para penonton.
“Kau lihat mereka Wada? Tawa dan senyum mereka mengingatkan akan kau yang selalu penuh semangat. Aku pastikan kali ini aku akan membawa mereka ke jalan yang lebih baik daripada jalanmu,” gumam Pelatih Zaki.
***
Belum ada tanggapan.