“Tidakkah Kang Darman merasa kasihan dengan istri Akang yang sekarang sedang menunggu di rumah? Ini sudah sangat larut malam, pasti dia sedang cemas menungu Akang pulang.”
“Tidak usah berfikir apapun tentang istri Akang. Dia tidak akan berani mengatakan apapun. Yang terpenting Akang bisa memenuhi kebutuhan hari-harinya. Hidup Akang bebas, tidak bisa orang membatasi begitu saja termasuk istri Akang.”
“Tapi jika seorang lelaki telah beristri, kebebasan itu harus ada tanggung jawabnya. Bukankah seorang wanita dinikahi adalah untuk dimuliakan bukan untuk dijadikan sekedar makhluk yang diperalat untuk menghasilkan keturunan? Kasihan istri Akang, cepatlah pulang.”
“Tidak. Gairahmu lebih memikatku dibanding istri Akang.”
“Tapi aku bukan istrimu.”
“Bukankah kamu sudah terbiasa melayani banyak pria tanpa peduli kepada istri-istrinya?”
“Rupanya Akang tidak tahu kalau aku selalu mengatakan hal yang sama kepada setiap pria yang menginginkanku namun mereka telah beristri. Tapi sayang mereka tidak pernah mengindahkan kata-kataku. Aku ini wanita malam, orang bilang aku sampah. Meski begitu, aku hanya ingin berbuat sedikit kebaikan saja lewat kata-kata bijaksanaku. Istri-istrimu wanita, dan aku wanita. Aku tidak mau menjadi pihak yang paling dipersalahkan atas pengkhianatan kalian kepada istri-istri kalian. Berfikirlah dua kali sebelum semua terlanjur.”
“Akang memang sudah terlanjur terpikat olehmu. Jadi tidak usah sok suci. Layanilah Akang seperti kau melayani pria-pria lainnya.”
Darman tak kuasa menahan segala gairahnya. Kedua tangannya menutup rapat mulut Ayu Rahmi hingga dia tidak mampu berkata-kata lagi. Penari itu tenggelam dalam pelukan Darman tanpa perlawanan. Dia membiarkan tubuh indahnya digerayangi tangan ganas Darman, lelaki paruh baya yang terkenal sebagai bandar sayur-mayur yang sukses di Kampung Wangun Jaya.
Darman terlena dalam segala sajian istimewa yang ditawarkan Ayu Rahmi. Rasanya dia tidak pernah menemukan hal serupa ini dari diri istri sahnya. Rupanya, Ayu Rahmi tidak hanya piawai memutar pinggul berlenggak-lenggok di atas panggung dengan tarian memikatnya, namun pandai juga mempertahankan pesonanya hingga di atas ranjang kenistaan.
“Sudah berapa banyak lelaki yang kau layani?” Tanya Darman di sela-sela nafasnya yang masih memburu.
“Tak terhitung.” Dengan entengnya Ayu Rahmi menjawab seakan perbuatan hinanya bukan merupakan suatu dosa.
“Sejak kapan kau bekerja seperti ini?”
“Sejak aku memergoki tunanganku tidur bersama wanita lain.”
Darman terkejut. Dia melepaskan pelukannya dari tubuh Ayu Rahmi. Sebentar dia mengambil air putih yang tersaji di meja kecil di sisi ranjang. Dia meneguknya pelan, hanya satu tegukan saja. Lalu dia kembali ke sisi Ayu Rahmi.
“Berarti apa yang kau kerjakan adalah bentuk balas dendam dan kekecewaan?”
“Iya. Tapi ada alasan lain selain itu.”
“Apa?” Darman tampak begitu penasaran.
Ayu Rahmi tak langsung menjawab. Masih dengan tubuhnya yang hanya berbalut selimut, matanya menerawang kosong ke arah tembok putih di hadapannya. Di sana, Ayu Rahmi memutar kembali memori tentang segala kepahitan masa lalunya. Terbayanglah bagaimana dulu orang mencibir dirinya dan keluarganya hanya karena mereka adalah orang-orang yang tak berpunya. Teringatlah bagaimana bapaknya di upah dengan harga yang amat rendah, jauh dari kata sepadan dengan tenaga yang telah dikeluarkan. Tergambarlah bagaimana ibunya dicaci maki oleh majikan di mana ia bekerja karena satu kesalahan kecil, waktu itu ibunya tak sengaja menyenggol vas bunga kecil yang berada di dekat pintu. Terlukislah bagaimana dengan bengisnya seorang pemilik toko mengusirnya karena telah menumpang berjualan gorengan di pinggir jalan depan toko tersebut, padahal pemilik toko adalah tetangganya sendiri.
“Tidak hanya karena tunanganku mendustaiku, tapi kejahatan orang-orang di masa lalu yang membuatku bekerja seperti ini. Bagiku, di atas dunia ini uang yang bicara. Semakin banyak uang, semakin orang dimuliakan. Mereka tidak akan berani menghina, seburuk apapun pekerjaan kita. Dengan uang, mulut busuk mereka bisa dibungkam. Sebaliknya, mereka akan semakin memuja kita.” Jelas Ayu Rahmi dengan nada penuh dendam. Matanya tajam menembus dinding.
“Kau sadar bahwa apa yang kau lakukan ini salah?”
“Tentu saja aku sadar. Jika Kang Darman bilang bahwa Akang sudah terlanjur terpikat olehku, maka aku pun sudah terlanjur terpikat oleh duniaku. Apa Akang tahu bahwa sekarang ini jika aku pulang kampung orang-orang akan bergerombol menyalamiku. Mereka yang dulu melempar hina bina terhadap keluargaku kini berlomba-lomba mencari muka. Mereka lupa dengan kesalahan mereka. Terlebih jika aku menyelipkan uang di dalam kepalan jari jemari mereka. Entah berapa ribu kata pujian yang mereka hantarkan untukku. Para penjilat itu kini sedang memainkan topengnya.” Masih dengan pandangan lurusnya ke depan, senyum sinis Ayu Rahmi mengembang.
“Rupanya kau sangat ingin diagung-agungkan oleh manusia.”
“Apa Kang Darman tidak seperti itu? Zaman sudah gila, hampir semua orang mendambakan pengakuan dan penghormatan dari sesama manusia lainnya.”
“Tapi kau jangan lupa masih ada sesuatu yang disebut dosa.”
“Akang berbicara dosa, sementara Akang sendiri sekarang sedang berkubang dalam dosa. Itulah manusia, pandai berceramah untuk orang lain tapi tidak pandai menceramahi diri sendiri. Apalagi benar-benar berbuat seperti apa yang dia ceramahkan.”
Ayu Rahmi tampak kesal. Dia keluar dari selimutnya. Dengan tubuh yang tanpa kain sehelai pun dia berjalan ke arah kamar mandi. Sementara Darman menatap tajam setiap lekukan tubuh molek Ayu rahmi dari belakang. Gairahnya terpacu kembali, pesona Ayu rahmi luar biasa. Darman mengejar Ayu Rahmi yang telah tiba di bak rendam…dan para pendosa itu memulai kembali pergulatan hinanya tanpa mengingat lagi kata-kata dosa.
“Tidak sia-sia aku menonton pertunjukannmu tadi malam, Ayu! Dan tak kusangka aku bisa memilikimu semalaman ini.” Suara Darman terdengar lirih di antara desah-desahnya.
“Kang Darman tidak ubahnya dengan para lelaki bejat yang hanya mau memanfaatkan tubuhku, tanpa pernah berniat memuliakanku dengan menikahiku secara syah.”
“Tapi kau ikhlas melayaniku sekalipun aku hanya akan datang di saat aku membutuhkanmu saja.”
“Tentu saja aku ikhlas. Duniaku tak akan lagi bisa kurubah. Duniaku telah abadi.” Ayu Rahmi tersenyum manja. Sorot matanya menembus kornea Darman. Darman semakin terhipnotis, dia benar-benar tenggelam dalam kegilaan……………………
“Sudah hampir shubuh. Lebih baik Kang Darman pulang.” Ayu Rahmi keluar dari pelukan Darman. Tubuh Ayu Rahmi tampak berkilau dengan butir-butir air yang mempercantik kemolekan raganya. Berlama-lama bercumbu dalam bak rendam bagi Darman dan Ayu Rahmi adalah sebuah kenikmatan tak tertandingi. Bahkan bagi Darman, hal serupa menjadi candu yang melingkari tubuhnya: dia akan kembali menginginkan hal itu.
“Tapi aku masih ingin bersamamu hingga siang nanti.” Darman tampak berat hati untuk meninggalkan Ayu Rahmi.
“Jika Akang bertahan di sini, semua cerita akan menjadi berbeda.”
“Apa maksudmu, Ayu?”
“Jangan keras kepala. Aku hanya menyuruh Akang pulang, tidak lebih. Hasratku sudah habis untuk melayani Akang.”
Darman tak mampu berkata apa-apa lagi untuk memepertahankan keinginannya untuk terus bersama Ayu Rahmi. Apalagi gadis berwajah mendaun sirih itu telah mendorongnya keluar dari dalam villa dan menutup rapat-rapat pintunya.
*************************************
Mobil Darman melaju kencang menembus shubuh yang dingin. Untuk Ayu Rahmi, Darman tak sungkan mengeluarkan uang banyak. Baginya, gadis itu berhak atas bayaran lebih karena pelayanannya yang luar biasa.
Sepanjang jalan terbayanglah pesona Ayu Rahmi yang seakan tak pernah habis sekalipun dalam keadaan tanpa dandanan. Kehangatan setiap bagian tubuh Ayu Rahmi adalah kenikmatan syurgawi yang belum pernah Darman dapati dari wanita malam manapun serupanya.
Ayu Rahmi seakan ditakdirkan sebagai rezeki luar biasa untuk Darman. Sebelumnya ia berangkat malam hari dari Wangun Jaya untuk sebuah keperluan ke wilayah Cikajang Wetan yang menembus daerah berhutan, Darman memasuki sebuah warung makan untuk memesan kopi hangat. Di warung itu, Darman terpesona oleh lenggak-lenggok Ayu Rahmi yang sempat mengajaknya menari bersama di atas panggung.
“Ayo kang..kita menari..” Ajak Ayu Rahmi waktu itu.
Tak puas hanya sekedar menari, Darman pun menawarkan hal konyol kepada Ayu Rahmi dengan iming-iming pembayaran yang mahal. Bak gayung bersambut, Ayu Rahmi malah mengajak Darman menginap bersama di sebuah villa yang dikatakan Ayu Rahmi sebagai tempatnya menginap jika ada laki-laki datang. Darman senang luar biasa terlebih dia bisa menghabiskan waktu semalaman menikmati sajian termewah dari Ayu Rahmi.
Mobil Darman terus berlalu menjauhi villa di mana Ayu Rahmi berada. Shubuh yang dingin berganti pagi. Ketika melewati satu ruas jalan di tengah kota, Darman terjebak kemacetan.
“Koran..koran…” Teriak si penjaja koran. Melihat Darman memperhatikannya, penjaja koran itu menghampiri Darman.
“Koran, pak! Ada berita hangat, tentang pembunuhan.”
“Berapa?” Tanya Darman cepat.
“Tiga ribu saja.”
Darman mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu.
“Kembaliannya ambil saja.”
“Makasih, pak! Moga-moga rezeki bapak makin lancar.” Penjaja koran pergi dengan wajah sumringah, barangkali itu adalah rezeki pertamanya di pagi ini.
Tajuk utama pada koran tersebut memang tentang pembunuhan. Darman menggeleng-gelengkan kepala merasa prihatin dengan kasus serupa yang marak terjadi akhir-akhir ini. Sekalipun dia pengkhianat terhadap kesetiaan istrinya dengan banyak bermain wanita yang bukan menjadi haknya, tapi hati Darman tidak sebuas itu jika harus menghabisi nyawa manusia dengan begitu gampangnya.
“Dasar manusia biadab!” Kutuk Darman.
Lalu pada paragrap ke dua dari berita yang dibacanya, mata Darman menangkap sebuah tulisan:
“Tersangka utama telah dibekuk yang ternyata adalah tunangannya sendiri. Permasalahan bermula karena korban memergoki tunangannya berselingkuh dan terjadi percekcokan. Korban dibuang tersangka ke sebuah hutan yang menuju ke arah Cikajang Wetan. Setelah dilakukan identifikasi dan mencocokan ciri-ciri korban, diketahui bahwa korban adalah seorang penari malam bernama Priyayu Rahmita Sari atau dikenal dengan nama panggung Ayu Rahmi. Kini jasad korban masih berada di rumah sakit.”
Mata Darman terbelalak kaget. Jantungnya berdebar hebat.Dia tidak percaya dengan apa yang didapatinya kali ini. Jika Ayu Rahmi mati kemarin hari, lalu siapakah gadis yang semalam bersamanya itu? Bukankah dia juga Ayu Rahmi, penari malam yang bahkan wajahnya pun sama persis dengan korban pembunuhan ini?????
Dalam kekacauan fikirannya, tanpa tertangkap oleh pandangan matanya seorang gadis tengah duduk di samping kursi kemudi Darman. Mata gadis itu menatap tajam tajuk utama dari korban yang dibaca Darman, dan sorot matanya terlihat memancarkan kemarahan dan dendam yang tak berkesudahan.
“Jika aku mati konyol karena pengkhianatan , maka seorang pengkhianat pun pantas mati sia-sia…!”
Teriak gadis itu, sebuah teriakan yang tak akan pernah terdengar oleh manusia bernyawa seperti Darman.
Belum ada tanggapan.