buku-puisi-sakuntala

Sakuntala: Cinta dan Duka Perempuan

Sakuntala adalah perlambang. Ia melambangkan ketegaran, kegetiran, serta hasrat seorang ibu. Ia, meski semula merasakan cinta, serta kasih sayang, ia harus ditinggalkan oleh Dusyanta. Suaminya yang juga seorang raja itu, harus kembali ke kerajaannya. Sakuntala pun memiliki anak kembar. Anak itulah yang kelak dibawa ke kerajaan. Ingin sekali Sakuntala membawa bukti pernikahannya dengan Raja Dusyanta. Tapi cincin yang ada di jemarinya jatuh ke laut dan dimakan ikan besar. Sampai suatu ketika, ada seorang nelayan memberinya ikan besar. Betapa kagetnya ia saat ikan besar yang dibelah tubuhnya itu, ditemukan cincin perkawinannya. Sejak itulah, ia pun bertekad kembali lagi datang pada raja untuk memberitahukan kelahiran puteranya.

buku-puisi-sakuntala

Judul Buku : Sakuntala
Penulis     : Gunawan Maryanto
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun         : Juli 2018
Halaman : 72 Halaman
ISBN : 978-602-03-8775-8

Simbol, cerita Sakuntala inilah yang mempengaruhi Gunawan Maryanto menulis buku puisinya; Sakuntala (2018). Di puisi-puisi Gunawan, kita tak bisa melepaskan sepenuhnya bagaimana cerita Sakuntala ditulis ulang di buku ini. Pembaca bisa merasakan sosok Sakuntala saat membaca puisi pendek berikut :  Sakuntala/ Menemukanmu adalah/ menemukan jalan kesepianku  kembali/ jalan yang berkali kuhindari/Menemukanmu adalah/ menemukan rumah kosong/ rumah yang tak pernah benar-benar dihuni/ menemukanmu adalah/ menemukan puisi yang tak sanggup kutuliskan. Kesedihan, kesepian yang dialami Sakuntala adalah kesedihan yang memilukan, dan tak bisa dituliskan. Bagaimana kesepian, kesedihan menjadi keseharian yang ditimbulkan oleh cinta. Sebab Sakuntala adalah perempuan yang dikawin siri.

Di puisi lain, kita bisa melihat bagaimana puisi ini diciptakan dari peristiwa Raja Dusyanta yang memanah Kijang di hutan. Kijang itu adalah kijang Sakuntala. Jika kesedihan datang/ peluklah ia/ jika kebahagiaan datang/ peluklah ia/ maka malammu akan baik-baik saja/ Sakuntala/ Kijang yang luka itu/ akan sembuh pada waktunya.

Gunawan Maryanto memang dikenal sebagai sastrawan yang mengangkat nilai-nilai kebudayaan jawa. Hampir sebagian besar karyanya menyuarakan kembali jawa yang telah diserap, diresapi, dan dihadirkan kembali. Ia merasa bahwa jawa bukanlah jawa yang diam, tapi selalu bisa direproduksi dan dihadirkan kembali di era sekarang melalui sastra.

Buku puisi Sakuntala (2018) menuturkan kembali bagaimana simbolisme perempuan yang jatuh cinta, juga simbolisme perempuan sebagai sosok ibu yang mengharap kebahagiaan anaknya. Hal itu nampak dalam puisi berikut : ia biarkan rindu/ mengurus dirinya sendiri/ mengemis pakaian /dan berangkat ke Hastina/ Ia sudah besar/Tak bakal kesasar/Aku disini/ Berdebar menunggu kabar.

Kita tahu, setelah Sakuntala menemukan kembali cincin yang jatuh di makan ikan,  Sakuntala masih bergegeas ke Hastina untuk menuntut janji yang pernah diberikan suaminya bahwa anak-anak mereka akan diberi kekuasaan. Dusyanta tak akan melepaskan tubuhmu/ tapi ia juga tak/ memberikan cintanya kepadamu/ ia membiarkanmu/ dibesarkan gunung Himawan/ Dikeraskan batu-batu sungai Malini/Dan pada suatu hari/ cincinmu jatuh/ pada mulut sekor ikan/ yang kelaparan.

Puisi-puisi Gunawan Maryanto memang lebih terang dan jelas. Ia tak terlampau menggunakan diksi maupun bahasa yang ruwet dan njlimet. Puisi-puisi di buku ini lebih mirip sebuah ode, puisi kesedihan dan nyanyian pilu seorang yang menanggung derita cinta. Di puisi ini, kental sekali duka perempuan, kesepian perempuan, serta bagaimana perempuan menanggung cinta yang tak utuh karena jarak dan berbagai hal.

Gunawan menulis puisi ini seperti ungkapan cinta yang bersahaja, tidak berlebihan, dan sederhana. Melalui Sakuntala, ia bisa memilih diksi yang apik tanpa harus penuh metafor dan simbol. Hujan terlampau deras/ cinta terlalu keras. Di tubuhmu waktu berlari/ lebih cepat dari yang seharusnya/Di tubuhku ada yang meluap-luap/ Lebih dari yang kuduga.

Buku puisi ini adalah pengisahan kembali riwayat Sakuntala yang penuh perlambang itu. Sakuntala adalah lambang seorang perempuan yang jatuh cinta, seorang perempuan yang harus menanggung lakon hidupnya. Ia adalah lambang seorang perempuan yang tabah menerima nasib, tabah menerima takdir. Di dalam ceruk terdalam kisah Sakuntala, ada ibu yang tabah, ada cinta yang mengalah. Cinta Sakuntala adalah nyanyi kesedihan, nyanyi luka seorang perempuan.

*) Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Pendidik di SMK Citra Medika Sukoharjo

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan