Kolonialisme, dimanapun itu menyisakan sesuatu yang tragis. Akan tetapi,seiring berjalannya waktu, tragisme itu seperti dilupakan begitu saja. Orang tak lagi mengingat luka yang menganga dari sebuah kolonialisme. Entah mengapa, tak ada rasa bersalah,tak ada rasa yang mengikat orang-orang di masa lampau sebagai penjajah dengan sekarang sebagai turis. Belanda saat ini adalah Belanda yang baik hati. Atau kita bisa mengatakan inggris ataupun Portugis di masa lalu sudah hilang.
Orang cenderung menganggap masa lampau sebagai sebuah cerita. Dan kita tahu, pesona cerita akan begitu memukau saat ia direproduksi, dihadirkan kembali oleh pencerita. Disini, kita jadi faham, bahwa pencerita menentukan bagaimana cerita akan berbelok, atau lurus-lurus saja.
Saat itulah hadirnya buku sejarah, atau karya sastra berbau sejarah seolah hendak menghubungkan, menjadi medium, menjadi corong kembali bagi lahirnya sebuah cerita. Dan kita sering mendapati pesona dari cerita kolonialisme kembali.
Jamaica Kincaid di buku berjudul A Small Place (2006) menyuguhkan pesona kolonialisme sekaligus cerita pedihnya. Bermula seperti seorang pemandu wisata, ia menceritakan bagaimana agar kita sampai di Antigua dengan mendarat di Bandara International V.C. Bird. Vere Cornwall. Ada baiknya bagi pembaca yang belum mendapati dimana Antigua, pembaca akan terpukau dengan keindahan Antigua.
Iseng-iseng saya pun mencari di mesin pencari google, dan sungguh mengejutkan betapa pemandangan pantai, resort, hingga pulaunya yang begitu indah dari atas udara. Cerita-cerita Kimcaid seperti menjadi kisah yang sungguh tak seperti Antigua yang ada sekarang. Rasanya benar apa yang dikatakannya, orang-orang di masa mendatang, semakin tak mengenali masa lalu Antigua.
Kita bisa menyimak sindiran yang vulgar tentang bagaimana Antigua berubah sedemikian pesat. “Orang tidak bisa melihat hubungan antara obsesi mereka atas perbudakan dan emansipasi dengan fakta bahwa mereka diperintah oleh orang-orang korup, atau bahwa orang-orang korup ini telah menyerahkan negeri mereka kepada orang-orang asing yang juga korup. Penguasa Antigua meraih tampuk kekusaan melalui pemilu yang bebas dan terbuka. Mengenai penangkapan dan perbudakan orang-orang kulit hitam,nyaris tak ada budak yang pernah menyebutkan siapa yang menangkap dan menyerahkannya ke para tuan Eropa” (h.58-59). Kincaid seolah mengatakan bahwa di masa lampau yang buruk itu, ada sejarah, ada cerita kelam tentang Antigua yang kecil ini.
Pembangunan, pada akhirnya bukan hanya ada di Indonesia. Orang-orang di Antigua pun demikian halnya. Membangun berarti menutup masa lalu, ada usaha untuk menghentikan cerita tentang sisa-sisa masa lalu yang kelam. Jejak penjajahan pun seperti sirna tanpa bekas ditutupi oleh indahnya gedung bertingkat serta bangunan dan arsitektural masa kini. Kota-kota di Indonesia pun demikian pula, hampir tak banyak orang yang merawat sisa kolonialisme untuk dijadikan sebuah usaha merawat ingatan.
Seperti Pramoedya Ananta Toer yang menulis novel berjudul Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2006). Data, sejarah, konon membuat cerita di novel menjadi datar, tapi apalah makna datar bagi seorang pembaca, pada akhirnya maksud Pram pun sampai, ribuan orang yang mati karena jalan ini, apakah diingat, dicatat, atau bahkan ditulis di pinggir-pinggir jalan ini?. Rasanya kok tidak, kita memang hanya tinggal memunguti cerita jalan mulus itu. Jalan mulus itu diingat justru ketika kecelakaan kembali berulang. Di jalan itu, sejarah seperti kendaraan yang lalu-lalang, lalu pulang di senja setiap harinya.
Kincaid pun seperti itu pula, apa yangdiingat dari sebuah perpustakaan termegah di Antigua?. Kincaid justru memberi narasi tajam tentang hal ini. “Gedung perpustakaan tersebut adalah salah satu gedung tua megah, peninggalan zaman colonial, dan papan yang bertuliskan tentang perbaikan itu merupakan tanda yang bagus sekali dari zaman kolonial (di dekat bangunan itu saat hancur dari gempa bumi hanya ada papan bertuliskan GEDUNG INI HANCUR DALAM MUSIBAH GEMPA BUMI PADA TAHUN 1974, PERBAIKAN DITUNDA) (h.8).
Kita pun mengerti, bahwa resort di pinggir laut yang indah itu, para remaja yang mahir melayani tamu (turis) itu, sebenarnya bukanlah Antigua saat ini. Mereka adalah Antigua yang dibentuk oleh kolonialisme, maka di era pos kolonial, ada sejarah yangberulang, ada mentalitas yang mungkin saja hendak diubah, tapi selalu tak bisa.
Maka seorang turisme, ketika melihat Jakarta, amat sangat jarang yang kemudian memandang masyarakatnya, melihat sisi terdalam, apa perasaan-perasaan yang dialami oleh mata yang kagum pada sosok turis itu sendiri. Disana, Kincaid hendak memberikan cara pandang yang bertolak belakang selama ini muncul dari sebuah cerita kolonialisme. Ia bukan sebuah wahana untuk berwisata, bukan sama sekali sebuah tempat yang layak digusur, dan diganti. Kincaid mengajak kita untuk sadar akan sejarah tubuh, sejarah diri, sejarah koloni. Dan kita tahu, koloni adalah tragisme, luka, sesobek buku harian yang terlepas. Untuk menyatukan, untuk merajutnya, kita kadang memerlukan lebih dari lem, ada yang hendak disatukan, tapi tak selalu bisa utuh. Dan saat sesuatu itu tidak utuh, kita menemukan ada goresan, ada bekas yang tak bisa ditambal.
Disanalah kita belajar tentang sebuah tempat (sisa) jajahan, tak layak diubah, dihancurkan. Ia monumen, ia adalah tugu peringatan, sekaligus sebuah ruang untuk mengingat, untuk meletakkan, membawa tubuh kita kembali pada masa orang-orang dahulu mengalami peristiwa itu. Hingga kita mampu untuk menerobos ruang, waktu dimasa sekarang, menjalaninya, lebih hati-hati. Dan seekor keledai pun tak mau jatuh ditempat yang sama di kedua kalinya.
Sayang, meski kita sudah sering jatuh berkali-kali, kita tak segera membawa ingatan, memori, luka, tangis, derita, yang ada dimasa lalu. Mestinya, yang dikubur adalah segala perasaan itu, yang ada kita justru mengubur pelajaran, serta monumen itu. Dan sekali lagi, yang menyelamatkan kita dari sebuah kecelakaan justru “buku”.
Mungkin, yang tersisa dari kolonialisme bukan lagi luka, bukan lagi derita, tapi tawa dan hura-hura. Kata anak muda sekarang, “muda kaya raya, mati masuk surga”, dan memunguti masa lalu, hanya sebuah kegirangan bagi seorang pemuda yang haus akan kisah, cerita. Kita,tak bakal lagi menjumpai itu di cerita-cerita guru-guru kita sekarang, nenek atau kakek kita, tapi dari “buku”.
A Small Place seperti buku yang menyelamatkan cerita kolonialisme itu, bukan pantai dan resort-resort yang indah itu. Antigua, dengan demikian, telah dibuka melalui buku ini, buku narasi kecil yang menceritakan dibalik kemegahan, dibalik keindahan Antigua sekarang, ada cerita kebobrokan pemerintahan, ada cerita penjajahan manusia yang tak bisa ditutupi begitu saja.
*)Tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
Belum ada tanggapan.