tukang-pos-novel-sepeda-merah

Cerita Tukang Pos

Surat, barangkali itulah kerinduan yang begitu kuinginkan seperti di masa-masa kecil. Dulu, surat begitu dinanti, ada kabar yang hendak ditunggu-tunggu. Ada debar perasaan dan jantung yang berdegup saat akan menerima surat dari tukang pos. Kini, di era sekarang, handphone sudah semakin canggih, maka surat pun jarang tiba, pak pos pun jarang datang lagi ke rumah.

Di rumah, kini pak pos hanya sesekali dalam sebulan datang mengantar majalah pesanan Ayah. Mungkin itulah debar yang masih kunantikan saat ini, sebab aku sering mengirim tulisan ke majalah itu. Setidaknya ada debar perasaan yang tak menentu. Bagi yang tak sering menulis surat, atau sudah tak lagi bersurat-suratan, tentu saja perasaannya sangat berbeda.

Aku membaca Sepeda Merah karya Kim Dong Hwa. Sehabis membaca kisah ini, aku jadi teringat pengalaman-pengalaman surat menyurat. Kini, surat lebih sering datang saat pak pos mengirim buku-buku hadiah dari penerbit. Biarpun demikian, aku masih merasakan ada perasaan tak sabar, perasaan deg-degan saat mau menerima buku-buku itu.

Kisah tentang Tukang Pos ini diawali dengan kalimat puitik. Kita bisa mengutipnya di sini : menjadi penulis itu mirip dengan menjadi tukang pos. Di dekat rumah ada kantor pos. Kantor pos kecil  dengan dinding batu bata merah, dan dihiasi tanaman rambat hijau. Ketika lewat di depan kantor pos, sebait puisi muncul di benakku. Ketika lewat di depan kantor pos, aku serasa mendengar sepotong lagu. Aku selalu senang setiap kali melintas di depannya.

Bersama perjalanan Tukang Pos di novel pendek ini, kita memang diajak untuk menelusuri tak hanya desa-desa, orang-orang, tetapi juga diajak untuk menyimak perasaan orang-orang yang ditemui oleh tukang pos saban harinya. Hingga terkadang si Tukang Pos sendiri merasa bosan dengan hari-hari yang sama dan tempat yang sama yang ia lalui. Kita bisa melihat narasi kesedihan si Tukang Pos di novel ini di halaman 1110 : Terkadang, aku bosan menjalani setiap hari dengan waktu yang sama. Di tempat yang sama.

Kebosanannya ini, ia tuntaskan dengan menanam bunga matahari, berbincang dengan orang-orang yang ia temui, dan terkadang menikmati alam dengan bebasnya. Pada musim semi aku adalah arah yang diambil kuntum-kuntum bunga aprikot, pada musim gugur, aku adalah daun-daun mati. Kita memang tak hanya diajak menyusuri desa-desa yang masih asri di novel ini, tetapi juga perasaan si Tukang Pos bersama sepedanya, serta orang-orang yang ditemui mereka.

Aku jadi ingat, ketika pak pos yang datang ke sekolahku, ia mengendarai motor, biasanya ia langsung menyerahkan surat atau paket, tanda tangan, langsung pergi. Tak ada percakapan, tak ada intimitas, tak ada perasaan-perasaan berbagi di sana, mungkin senyum pun tidak. Sepeda Merah, yang dipakai Tukang Pos, benar-benar menggambarkan tak hanya kelambatan, tak hanya yang alami, tetapi juga menggambarkan dunia yang apa adanya, sederhana, dan dunia kita yang telah lewat bersama sepeda Tukang Pos.

Kini, dunia itu memang telah berubah, jalan-jalan berubah, udara sejuk pun tiada, kepentingan mengantarkan surat pun hanya sekadar mengantar surat. Tak ada lagi perasaan saat memberikan surat, tak ada lagi degup dan senyum senang yang ikut merasakan kebahagiaan si penerima surat, dan tak ada lagi kasih sayang yang dikirim bersama tukang pos. Tak ada kabar yang istimewa antara desa dan kota yang dilalui oleh tukang pos.

Goresan pena dan kanvas Kim Dong Hwa sungguh membuat cerita ini tak hanya jadi hidup, tetapi juga menampar keras bagaimana kehidupan telah dilalui dan dilewatkan begitu saja. Kisah Tukang Pos ini, begitu menyindir kita dengan gaya yang halus, ia tak hendak menertawakan desa, kota, atau perubahan yang telah kita alami. Lebih dari itu, Kim hendak mengajak kita bersama-sama menikmati kepedihan dan kehilangan kita saat menyaksikan jalan, orang, dan dunia di sekitar kita sudah berubah sedemikian rupa.

*) Penulis adalah tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan