hantu-penunggu-pohon

Dendam Si Penunggu Pohon

Kau pernah datang menghampiriku saat rembulan sedang malunya memotret bumi. Bayangan kelebat Si raja malam lagi asyik mendendangkan elegi kematian, tepat di bawah pohon yang menurut cerita orang-orang kampung ada penunggunya. Pohon itu memang cukup besar, rimbun dan terlihat sangat menyeramkan apabila malam sudah tiba. Rasanya memang sangat mungkin ada penunggu pohon di situ.

Kuingat, kala itu malam sudah mengantuk. Dan rembulan menggantung apik pada tiang awan malam. Waktu juga sudah lelah lantaran tak kunjung istirahat dari peredarannya. Ya, memang itu benar, sejenak waktu memilih tuk diam membisu. Sepi. Sunyi. Mencekam….

Tiba-tiba…..

Plarkk…arkk..….pintu rumahku runtuh. Gemanya memecahkan kesunyian sebab pintu itu terbuat dari kayu jati. Aku terjaga dari mimpi-mimpiku. Tanpa pikir panjang, aku langsung melompat dari tempat tidur dan menuju lokasi sumber keributan.

“Jangan-jangan itu adalah maling yang sama lagi. Bisa apes isi rumahku”, pikirku. Soalnya, kudengar cerita dari mulut ke mulut kalau kemarin malam rumah di pojok kompleks, kemalingan. Katanya, si maling berhasil membawa lari TV dan kulkas dari pemilik rumah itu, yang ternyata milik  Pak RT. Kasihan sekali.   

Setiba di tempat kejadian, alangkah terkejutnya aku. Mataku yang sebelumnya masih terasa berat tuk dibuka, langsung melotot dan menyala tatkala menyenter ke arah tepat di pintu rumah. Seorang wanita yang aku kenal berdiri tegap ditemani segerombolan angin dengan masing-masing menggenggam sebilah pedang di tangan. Iya, benar. Aku sangat mengenalnya. “Itu gadisku”, gumamku dalam hati. Kenapa larut begini dia datang ke sini? Dan lihat!! Di tangannya ada sebilah pedang seolah-olah hendak membantai seseorang, barangkali karena ada dendam yang sekarang ingin dia tuntaskan.

“Put..tt.tri”, sapaku penuh ketakutan sebab dari sorot matanya, kulihat ada amarah yang bergelora. Dia tak menyahut. Semakin erat dia menggengam pedang di tangannya, sorot matanya semakin tajam ke arahku. Kali ini, aku benar-benar ingin lari. Ketakutan telah menguasaiku dan aku tak mampu lagi tuk membendungnya. Tempat itu seketika dipenuhi aroma marah dan takut. Hening. Hanya terdengar suara nyamuk yang mengusik di telinga.

Kucoba sekali lagi tuk menanyainya. Masih dengan perasaan takut yang ada.

”Put..tt..trii..ada  apa sebenarnya  malam-malam begini kau datang. Sampai bawa pedang segala? Siapa yang hendak kau bantai?”  tanyaku terbata-bata. Aku menanyai hal itu dengan seluruh daya yang telah kutampung sebelumnya, lantaran masih takut. Apalagi saat aku menanyainya, sorot matanya semakin menyala menatapku. Pedang di tangannya bergerak sedikit, seakan-akan hendak diayunkan ke arahku dan mengibas kepalaku. Itu membuatku semakin takut. Lagi-lagi ia tak menyahut.

**

Malam semakin larut dan berada pada puncak porosnya. Longlongan anjing di kejauhan sana  semakin menjadi-jadi. Terbawa oleh hembusan angin malam sampai ke telingaku dan merasuk seluruh diriku. Orang-orang kampung pernah bilang, apabila malam sudah duduk di tahtanya, anjing-anjing akan melonglong sejadi-jadinya. Itu bukan suatu kebetulan, melainkan sebuah pertanda.

“Pertanda?”, tanyaku dalam hati dengan penuh kebingungan, kala itu.

“Pertanda apa maksudnya?”

Ya, itu sebuah pertanda. Bukan hanya itu. Bahkan itu merupakan suatu peringatan bagi kita untuk tidak keluar rumah.

“Mengapa?”, tanyaku penuh penasaran.

Sebab Si raja malam telah keluar dari sarangnya. Sudah lelah ia menanti dan menahan lapar sepanjang hari di peraduaannya. Dan kalau sudah tiba waktunya, ia akan berburu sepanjang malam di kampung kita mencari mangsa. Malam adalah saat-saat yang paling menyeramkan.

***

Aku melamun setelah longlongan anjing tadi terdengar sampai ke telingaku. Hal ini menghantarkanku pada ingatan tentang cerita orang-orang kampung kala itu. Dan memang benar, bulu kudukku terasa berdiri. Aku semakin takut setelah mengingat semua kisah itu.

Dan….

tiba-tiba….

terdengar suara yang bergema. Membangunkanku dari lamunan panjang tentang kisah itu. Suara itu terdengar agak berat. Bass persisnya. Berasal dari mulut Putri. Berbicara kepadaku. Aku terhentak mendengarnya.

Hei….!! Kau!!

Aku berusaha mengarahkan pandanganku ke dirinya dengan penuh ketakutan. Pijakanku terasa bergoyang dan seluruh badanku gemetar. Aku tak dapat berbicara. Rasanya, seluruh kata tersangkut di tenggorokkanku. Aku tidak menyahutnya. Ia pun sekali lagi menyapa dan memanggilku. Kali ini nada suaranya agak tinggi, membuat seisi jagat menggigil mendengarnya.

“Hei….!! Kauuu….”, sapanya dengan suara yang agak serak.

“Mengapa kau bakar halaman rumahku?”, matanya melotot sambil menodongkan pedang di tangannya ke arahku.

Aku kaget ketika mendengar pertanyaan yang keluar dari mulutnya. Rasanya, aku akan tamat malam ini, saat ini juga. Dan,waktu secara tiba-tiba berhenti berputar dari porosnya. Aku diam. Aku berusaha untuk memikirkan pertanyaan yang telah diajukannya kepadaku. Keras aku berpikir. Sejak kapan, di mana dan atas dasar apa aku membakar kepunyaan orang? Rasanya aku tidak pernah melakukan hal itu. Tentu hal itu merupakan suatu pelanggaran atas properti orang lain. Kalau memang benar apa yang telah dikatakannya, maka….

“Iya, kau akan kupotong malam ini juga”, katanya dengan penuh dendam.

Dia memotong pikiranku. Apa mungkin dia dapat membacanya. Aku semakin takut dibuatnya. Siapa dia ini sebenarnya? Aku termenung memikirkan hal itu. Hampir 10 menit ruangan itu membisu. Dan kucoba menampung seluruh kekuatanku untuk berani menanyainya.

“Siapa kau sebenarnya? Apa yang kau mau dariku?”, tanyaku dengan suara yang cukup meyakinkan.

”Kau tak perlu tahu , siapa aku sebenarnya”, jawabnya singkat dan penuh angkuh.

“Lalu atas dasar apa kau menuduhku telah membakar halaman rumahmu?”, suaraku terdengar sedikit gugup.

“Sudahlah. Jangan banyak basa-basi lagi. Kau tak perlu mengelak begitu sebab aku sendiri yang telah menyaksikannya tatkala kau membakar daun-daun kering itu”. Kali ini nadanya semakin naik. Semakin bingung aku dibuat olehnya. Mendengar pernyataan yang terakhir ini, sekali lagi aku harus berpikir lebih keras. Sebenarnya, apa maksud dari semua ini? Sebelumnya dia menuduhku telah membakar halaman rumahnya. Lalu, kini dia bilang bahwa ia sendiri telah melihatku telah membakar daun-daun kering. Daun-daun kering apa maksudnya? Halaman rumah yang mana? Bertubi-tubi pertanyaan terlintas di benakku. Kepalaku rasanya mau pecah.

”Daun-daun kering apa maksudmu? Aku tidak mengerti yang kau bicarakan?”

“Ya,,, daun-daun kering yang telah kau bakar itu. Kalau tidak salah,waktu itu kau memakai baju merah dan celana jeans pendek”, sahutnya.

Setelah mendengar jawaban itu, aku seakan-akan mau pingsan. Ya, kata-kata yang keluar dari mulutnya itu membuatku terhentak dari kebingunganku. Benar. Ternyata apa yang telah dirumorkan oleh orang-orang kampung  itu tidak salah. Pohon itu memang ada penunggunya dan kini ia sedang hendak membalas dendam atas apa yang telah aku perbuat kepadanya. Sebelumnya aku tidak terlalu percaya dengan rumor itu sehingga kala itu aku tak segan-segan tuk membakar daun-daun kering yang telah menumpuk di bawah naungan pohon itu. Sebab, pikirku saat itu pemandangannya kurang menarik kalau daun-daun kering dibiarkan berserakkan begitu saja tak tertata. Kini aku ingat kejadian itu. Dan memang benar, aku telah melakukannya. Saat ini, di hadapanku, seseorang hendak menuntut balas dendam atas apa yang telah aku lakukan.

“Kau sudah ingat bukan?”, tanyanya memecahkan kebisuan yang ada.

“Akk…ak..ku…..”, jawabku terbata. Seakan kata-kata yang hendak aku sampaikan tersangkut di tenggorokkan dan aku tidak bisa melanjutkan kalimat itu.

“Hahahahahaha………, tak perlu gugup begitu. Kau tak perlu risaukan kesalahanmu. Kau telah menebusnya dan bahkan lebih dari apa yang kukehendaki”, katanya dengan penuh bangga.

Kali ini aku sangat bingung dengan apa yang telah ia katakan.

“Apa maksudmu? Tebusan yang mana maksudnya?”

“Ya, tebusan atas kesalahan yang telah kau buat. Karena kebodohanmu, sehingga aku bisa masuk ke dalam tubuh pacarmu ini selama yang aku mau dan itu akan sangat membantu aku untuk memburu mangsa di malam hari. Kini aku tak akan repot-repot dan sulit lagi mencari santapan malamku. Kau mengerti maksudku, bukan?”, jawabnya penuh kemenangan.

Aku mengerti apa yang dimaksudkannya. Itu berarti, Putri, kekasihku telah menjadi perantara baginya. Dan, itu sangat berbahaya bagi nyawa Putri tentunya. Kini, aku hanya bisa meratapi kebodohanku yang berujung pada terancamnya nyawa orang lain. Bukan hanya nyawa Putri saja, melainkan nyawa seluruh orang kampung juga jadi taruhannya. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi selain pasrah pada kenyataan itu.

“Hei, kau…sampaikanlah kepada seluruh orang kampung kalau aku akan sesering mungkin mengunjungi mereka. Sediakanlah santapan yang empuk bagiku sebab sudah lama aku tak pernah mencicipinya. Waktunya akan tiba juga bagimu!” titahnya dengan rasa penuh kemenangan. Setelah menyampaikan pesan itu, ia pergi dan menghilang di balik kegelapan malam membawa serta tubuh kekasihku yang malang, Putri.    

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan