menulis-esai-itu-gampang

Godaan Menulis Esai

Penulis esai, di koran-koran menghadapi godaan dan resiko. Resiko tenar, dan terkenal. Ia pun juga dihadapkan resiko dan godaan untuk sejenak berhenti dan berganti. Berhenti untuk tak melanjutkan tema yang dia geluti, atau berganti kepada tema yang lain yang dia sukai. Karena itulah, barangkali seorang esais boleh dibilang bukan seorang ahli. Hal ini tentu saja karena esai memang cenderung personal, dan subjektif. Dan tentu saja menjadi seorang penulis esai, tak berpretensi untuk menjadi seorang ahli.

Tapi, ketekunan bisa mengubah jalan para esais. Esais yang tekun menggeluti persoalan tertentu, tentu saja tak hanya beresiko terkenal, tapi juga mampu mendalami topik dengan pelbagai cara pandang. Biasanya, jalan pikiran esais cenderung tak jamak, dan tak linier.

Sebutlah Sindhunata, atau Emha Ainun Najib, dua pemikir, sekaligus esais yang kerap menulis di koran, majalah, dan juga buku kumpulan esai. Mereka memiliki keahlian dalam mengurus tema-tema sastra, kebudayaan, dan sosial. Ketiga tema ini digarap oleh penulis dengan gaya  tutur yang berbeda. Sindhunata sendiri juga lebih kerap menuliskan esai tentang bola. Esainya tentang bola kerap muncul di harian KOMPAS. Sedangkan Emha, kerap muncul di koran pula, selain juga diterbitkan menjadi kumpulan esai oleh pelbagai penerbit nasional. Keduanya kelak dikenal sebagai budayawan.

Dari esai, dan tulisan itulah, ternyata bisa mengantarkan jalan hidup seorang menjadi seorang ilmuwan, atau tokoh. Setyaningsih lain. Ia tak mengurusi atau berkehendak jadi tokoh atau siapapun. Ia hanya memiliki tekad untuk belajar membaca dan menulis. Kerja yang ia lakoni kadang kerap memendam perih. Berhutang buku, ngobrol, sampai menulis catatan ringan yang kerap memaksanya menyiapkan bulpen dan buku untuk tema-tema yang layak digarap saat ia bertemu koran.

Ada kerja yang berlapis yang dilakoni oleh Setya. Terkadang ia mesti menahan kantuk untuk menyelesaikan buku yang ia baca. Ia harus mengobrol dengan teman-temannya saat menghadapi kebingungan dengan buku yang ia baca. Dan juga mengolahnya menjadi sebuah tulisan bertajuk : esai.

Kumpulan esai bertajuk Bermula Buku, Berakhir Telepon (2016) adalah buah karyanya. Ia menulis dengan pelbagai tema, mulai dari buku, pohon, ibu, perempuan, buku bacaan, sampai dengan sekolah, pendidikan, keluarga, sampai tema-tema kuliner seperti soto, dan juga kardus.

Tidak gampang menggarap tema-tema itu. Meski harus bertaruh dengan bacaan dan bergelut dengan referensi (buku), seorang penulis esai digoda untuk berkejar-kejaran dengan waktu (tayang), digoda dengan godaan : selesai.

Esais tak bisa menampik pembaca. Bila seorang penulis menampik dan meremehkan pembaca, maka bisa kita ramalkan, kelak tak panjang umur esainya. Esai tak boleh sekadar berhenti jadi lembaran kertas di koran,barangkali karena itulah esai dibukukan.

Di zaman sekarang, buku kumpulan esai tetap memiliki tempat dan peluang untuk dibaca dan diperbincangkan. Catatan Pinggir Goenawan Mohammad, kumpulan esai Mohammad Sobary, sampai pada kumpulan esainya Cak Nun atau Emha Ainun Najib misalnya layak jadi bacaan sepanjang masa. Mengapa?. Bukan hanya karena referensi yang muluk-muluk, tetapi juga esai mereka lebih bersifat aktual ketimbang faktual.

Data-data di koran hari ini bisa diperlakukan sebagai sumber referensi, tapi tak bisa sekadar dipindahkan. Ada upaya mengemas, menyusun, dan menaruh kembali data itu kedalam tulisan (esai). Bila luput, maka bisa dipastikan, tulisan (esai) biasanya cenderung tak bertahan lama (cepat basi).

Esai-esai yang ditulis Setya memungkinkan keduanya, tak lapuk oleh waktu, juga tak renyah lagi. Setya lebih intim dan akrab ketika menggarap esai yang bertaut dengan biografinya. Seperti mengurusi tema buku pohon, anak, atau keluarga. Tetapi esai Setya cenderung rapuh saat dituntut harus mengurusi tema-tema faktual seperti Soto yang dikaitkan dengan peristiwa presiden makan soto, atau ketika ia menuliskan tentang tempe, terminal, pengharum, atau telepon.

Selain kurang mendalam, tema yang diangkat memang menuntut esais berpacu dengan waktu. Godaan untuk lekas (tampil) di koran memang godaan genit. Ia harus dituruti dengan bacaan berlimpah, obrolan yang hangat, sampai dengan ketekunan mencatat. Tapi karena waktu yang singkat itulah, barangkali esai lebih cepat tampil dan lekas selesai.

Alhasil, esai terlanjur terbit dan terkesan tak mengendap. Penulis esai boleh saja menampik, dan mendebat soal model tulisan bergaya esai, tapi tentu berbeda dengan resepsi pembaca. Bila sudah menjadi buku, tentu saja rasa esai akan berbeda. Ia sudah bergabung dengan pilihan tema, gaya penulisan, dan sebagainya.

Sebagai seorang penulis esai, godaan kita memang tak hanya pada ketekunan membaca, tetapi juga kelenturan kita membawa tubuh bahasa kita. Tubuh bahasa inilah yang saya rasa perlu diajak untuk bertemu dengan banyak orang, banyak berbincang dan mengoreksi ide kita. Saat itulah, esai yang ditulis bisa menjadi awet dan tak lekas dilupakan.

*) tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Guru MIM PK Kartasura

, , , , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan