buku-ilmu-hukum-sebagai-panglima

Ilmu Hukum Sebagai Panglima

Bagi sebagian besar Masyarakat Indonesia, apalagi yang mempelajari sejarah pergolakan nasional, jargon politik sebagai panglima adalah jargon yang sangat familiar. Jargon tersebut dipopulerkan oleh lekra, sebuah organisasi kebudayaan progresif di era pemerintahan Soekarno, yang berupaya untuk mendukung dan menggalang revolusi Indonesia.

Kebudayaan menurut lekra tidak terlepas dari politik. Kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia, mempunyai sifat-sifat politik. Jika ada suatu golongan yang berusaha menceraikan kebudayaan dan politik, bisa dipastikan golongan tadi tidak memahami esensi kebudayaan dan misi tertinggi dari budaya. Sebab menurut lekra, misi tertinggi kebudayaan adalah menciptakan masyarakat sosialis yang adil dan makmur. Misi tertinggi tersebut hanya bisa digapai dengan menyatukan kebudayaan dan politik.

Kebudayaan yang anti politik dianggap lekra telah menghianati sejarah dan masyarakat suatu bangsa. Kebudayaan semacam itu adalah kebudayaan borjuis yang bersifat hipokrit dan licik. Sebab di satu sisi mereka anti pada politik namun di sisi lain ingin melanggengkan dominasi politik. kebudayaan anti politik ini ingin menjadikan masyarakat buta politik hingga gampang dikuasai dan dipengaruhi.

Disamping jargon populer politik sebagai panglima, saya mendapatkan satu jargon lain yang sangat menarik dan sangat mirip dengan jargon politik sebagai panglima. Jargon itu berbunyi Ilmu hukum sebagai panglima.

Jika jargon politik sebagai panglima dipopulerkan oleh lekra dan organisasi-organisasi kebudayaan lain yang bercorak progresif, maka jargon ilmu hukum sebagai panglima dipopulerkan oleh mereka-mereka yang berkecimpung dalam bidang hukum atau mereka-mereka yang tertarik menjadikan hukum sebagai bagian dari gerak maju revolusi. Salah satu tokoh yang terlibat dalam proses pempopuleran jargon itu adalah Roeslan Abdulgani, yang pada tahun 1964 menjabat sebagai Mentri/Wakil ketua Dewan Pertimbangan Agung negara Indonesia.

Peran dan kiprah Roeslan Abdulgani dalam memajukan Ilmu Hukum Indonesia dan menjadikannya ilmu yang sesuai dengan semangat revolusi Indonesia dipuji Oleh Prof. Kuntjroro Probopranoto S.H, seorang pakar hukum di Universitas Airlangga. Ruslan Abdulgani dianggap Prof. Kuntjroro Probopranoto S.H telah berjasa dalam mengurangi penyakit Textbook Thinking yang banyak menjangkiti para pakar dan praktisi hukum Indonesia. Selain itu, Prof. Kuntjroro Probopranoto S.H juga menganggap pidato-pidato Ruslan Abdulghani ”mempunjai visie jang sangat terang dan mengesankan dan karena itu djuga setjara ilmiah sering dipergunakan selaku pedoman dalam kuliah-kuliah djurusan ilmu politik dan ilmu hukum tata negara”. (halaman 24).

Buku berjudul Ilmu Hukum dalam Revolusi yang diterbitkan badan penerbit prapantja di tahun 1964 merupakan kulminasi dari peran dan sumbangsih Ruslan Abdulgani dalam teori dan praktek ilmu hukum di Indonesia. Buku Ilmu Hukum dalam Revolusi merupakan buku pidato pengukuhan gelar Doctor Honoris Causa Ruslan Abdulgani di dalam bidang ilmu hukum yang diberikan oleh Universitas Airlangga.

Dalam buku Ilmu Hukum Dalam Revolusi ini Ruslan Abdulgani menjelaskan pemahamannya tentang ilmu hukum bagi seorang revolusioner. Ruslan Abdulgani menulis: ” hukum bagi juris-juris Revolusioner itu bukan, hukum jang berkembang passip-fatalistis, hanya tut wuri tanpa handayani, berdasarkan teori voks-geist-nya Federich van Saviginy; dan juga bukan ”hukum murni” jang abstrak dalam istilahnja Prof. Dr. Hans Kelsen dari Wina, dalam bukunja, Reine Rechtslehre. Bagi mereka hukum adalah suatu jang benar-benar hidup didalam masjarakat dan terutama hidup dan dihidupi dalam gelombangnja perdjoangan kemerdekaan nasional kita, malah ikut dalam menghidupi pergerakan kemerdekaan nasional”. (halaman 8)

Kesan ilmu hukum yang bersifat dinamis sangat terasa dalam buku ini. Ilmu hukum menurut Roeslan Abdulgani memang harus bersifat dinamis. Ilmu hukum harus menyesuaikan diri pada tingkatan perkembangan suatu masyarakat. Masyarakat yang modern harus menciptakan hukum yang modern, masarakat yang progresif harus menciptakan hukum yang progesif.

Selain itu, Roeslan Abdulgani juga berpendapat bahwa ilmu hukum juga wajib mengabdi pada masyarakat dan revolusi. Sebab ilmu hukum adalah alat masyarakat untuk mencapai revolusi. Ilmu hukum yang tidak tunduk pada kepentingan masyarakat dan revolusi, diangap sebagai ilmu hukum yang reaksioner, dekaden dan kontra revolusioner.

Dalam hubungan relasional antara sistem produksi ekonomi dengan hukum dan masyarakat, Roslan Abdulgani mengkutip surat frederich Engles pada J. Bloch di tahun 1890. Roeslan Abdulgani mencatat: ”Menurut historis-matrealiame maka unsur jang pada achirnja menentukan adalah produksi dan produksi kembali dari realitas.….. Situasi ekonomi adalah basisnja, tetapi berbagai-bagai unsur daripada lotennja, atau suprastruktur-nja atau bangunan atasnja seperti: bentuk-bentuk politik daripada perdjoangan kelas dan hasil-hasil perdjoangan itu umpamanja: konstitusi-konstitusi dibuat oleh kelas jang menang sesudah pertempuran jang berhasil, dan sebagainja, bentuk-bentuk juridisnja, ja djuga pentjerminan-penjerminan dari segala perdjoangan ini pada otaknja para peserta, teori-teori politik, juridisnja, falsafah, pula perkembangan kelandjutanja sampai menjadi dogma….. antara ini semua ada unsu tali-temali ”. (halaman 10).

Akhirnya, Roeslan Abdulgani berkesimpulan bahwa ilmu hukum adalah suatu produk masyarakat. Roeslan Abdulgani sepakat dengan ujaran Cicero bahwa ubi societas ubi ius yang artinya dimana ada masyarakat disitu lahirlah hukum.

Jika ilmu hukum adalah cerminan dari kondisi masyarakat maka masyarakat yang sedang giat menjalankan revolusi hendaknya mempersiapkan hukum yang bersifat revolusioner. Hukum yang besifat revolusioner adalah hukum yang tidak bertentangan dengan tingkatan perkembangan sejarah manusia.
Pada tahap ini usaha-usaha manusia, tidak tekecuali para pakar hukum, diarahkan pada upaya pemenangan revolusi. Dengan begitu, itu hukum bisa bergabung dengan ilmu-ilmu lain dalam satu kesatuan untuk menyelesaikan revolusi Indonesia. Begitulah.

Penulis adalah pecinta buku sastra, sejarah, dan ilmu-ilmu sosial lainnya.

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan