novel-jepang-anti-perang

Kisah Anti Perang

Ketika Miss Oishi bertanya pada muridnya sewaktu kerja bakti membersihkan sekolah setelah terkena badai, begini: “Di manakah kaisar berada?”, Nita, salah satu muridnya menjawab: “Kaisar ada di dalam lemari.”

Jawaban Nita sungguh tak disangka-sangka, membuat ibu guru tertawa sampai keluar air mata, termasuk anak-anak lain. Lalu, Miss Oishi bertanya lagi, “Kenapa kau mengatakan ‘lemari.’” Dia menjawab, “Bukankah dia disimpan di dalam lemari sekolah?”

Saat itu, Bu Guru Oishi menyadari-memahami, yang dimaksudkan di ‘lemari’ adalah foto sang kaisar.

Fragmen kisah dalam Dua Belas Pasang Mata (2016) garapan Sakae Tsuboi mencekat dan meluluhkan pembaca untuk tertawa, tersenyum atas jawaban polos dari seorang anak sekolah dasar di sebuah desa tanjung. Kejadian itu meneroka pembaca pada peristiwa yang telah dialami dan hubungan guru dan siswanya. Mereka ditimpa musibah, tapi tak menyerah, tetap bergotong royong, sekaligus masih bisa melipur lara dengan interaksi tak terduga.

Novel jepang ini menyajikan kisah seorang guru muda, datang mengajar ke sekolah cabang di desa nelayan miskin, di Laut Seto, Jepang, tepatnya dua bulan setelah pemilu, tanggal 4 April 1928. Pembaca bisa membayangkan bagaimana situasi dan keadaan pada masa itu tanpa terlampau jauh. Dimana, hal-hal berbau modernitas belum terlalu kental seperti sekarang ini. Ini terindikasi, ketika guru muda, dipanggil Miss Koishi, dalam keseharian mengajar memakai model pakaian Barat dan bersepeda, dan diketahui siswa-siswa dan warga di desa nelayan itu, mereka menganggapnya hal asing.

Namun, ketika menyimak lanjut kisah yang dinarasikan Sakae Tsuboi, pembaca menemui kisah-kisah lain, lebih daripada modernitas. Buku ini menunjukkan bagaimana psikologi, bahasa, dan budaya guru dalam mengajar, mendidik, dan membangun hubungan dengan para siswanya, berjumlah 12 anak, dengan karakter berbeda dan dari keluarga berbeda status sosialnya. Dan, pembaca disodorkan bagaimana kelabilan dan keputusasaan guru saat awal-awal mengajar, sekaligus tekad menjadi guru bagi dirinya dan muridnya.

Ketekadan itu muncul, dimulai ketika Miss Oishi mengalami patah tulang, sehingga mengakibatkan ia tak mengajar beberapa bulan, dan siswa-siswanya mulai merasakan kerinduan pada guru, pernah dijahili, meski tak begitu keterlaluan. Kedua belas siswa sekolah dasar itu memiliki inisiatif menjenguk ibu gurunya, meski tempat tinggalnya cukup jauh, dan desanya berada di atas desa mereka.

Pada perjalanan ini, pembaca akan menyimak pelbagai tingkah laku, pikiran, ekspresi, dan perjuangan anak-anak untuk menemui ibu gurunya. Sehingga, ketika Miss Koishi berjumpa dan menemui mereka dengan pelbagai kondisi tak sebersih pada waktu berangkat sekolah—tapi masih bisa berseri, serta saat Kepala Sekolah bermaksud baik untuk memindahkan ke sekolah utama, nyaman, dan terdekat, ia berkata, “Yah, saya sudah berjanji pada murid-murid saya untuk mengajar  mereka lagi” (hal. 83).

Kisah, hikmah, dan sisi-sisi kehidupan ini pun baru sebagian. Pembaca akan membaca kisah selanjutnya, tak kalah penting untuk diketahui. Yakni, kisah terbungkus dengan pelbagai polemik, seperti keguncangan politik, perang antar negara (Perang Dunia II). Hanya saja, seperti pembaca ketahui dalam novel, ini merupakan novel anti perang. Topik-topik seperti “Hal-hal apa yang menyebabkan perang?”, “Bagaimana kita mencegah timbulnya perang?”, dan “Apakah semua perang tak bisa dibenarkan?”, nyaris tak disinggung di dalam novel ini. Sakae Tsuboi sekadar menunjukkan, melalui perkembangan kedua belas anak yang polos ini, tentang kekejaman serta ketidakmanusiawian perang modern. Dan, akhirnya, kita sebagai pembaca, diajak untuk menyimak dan menyerap hikmah terkandung dalam novel telah diterbitkan pada 1952, pernah difilmkan, dan mendapat sambutan meriah dari pembaca di negaranya.

, ,

Satu tanggapan ke Kisah Anti Perang

  1. Kurnia Salam 7 Desember 2016 pada 16:27 #

    Joss. Kisah yang menarik

Tinggalkan Balasan