Menilik Sejarah Pers Minangkabau

Buku berjudul Kelisanan dan Keberaksaraan dalam Surat Kabar Terbitan Awal di Minangkabau (1859-1940-an) ini, yang mengingatkan saya (pembaca) terhadap buku terjemahan Walter J. Ong berjudul Kelisanan dan Keaksaraan, yang baru diterbitkan belum lama ini. Pembaca pun langsung mengetahui bahwa buku garapan Sastri Sunarti ini juga tidak terlepas dari referensi buku garapan Walter J. Ong.

Buku ini akan menuntun pembaca untuk mengetahui bahwa buku-buku yang menggarap tentang sejarah pers di Indonesia ini masih dibilang minim. Tentu, pernyataan ini turut diperkuat oleh Ignatius Haryanto, pengajar jurnalistik di Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Jakarta, yang memberi pengantar dalam buku ini. Fragmen pengantar yang memperkuat pernyataan tersebut bunyinya begini: “Sebagai pemerhati sejarah pers di Indonesia dan juga pengajar topik yang sama di sebuah universitas, saya menghargai karya-karya yang menurut saya semacam melengkapi kepingan mozaik dari suatu papan yang masih banyak memiliki ruang kosong.”

Bagi peminat dan pemerhati tentang dunia pers, buku ini bisa membuat girang dan lega bagi mereka. Adapun, pembaca yang berminat pada dunia bahasa, turut senang—meskipun kesenangannya bukan saja dikarenakan adanya pembahasan mengenai lisan dan aksara.

Dalam buku ini, pembaca dapat mengetahui pelbagai hal, yakni sejarah perkembangan pers di Minangkabau di masa kolonial Belanda; tokoh-tokoh pendiri percetakan dan penerbitannya; situasi sosial, politik, dan budaya; serta bentuk dan isi surat kabar itu sendiri. Dari menyimak buku ini pula, kita bisa dibuat pusing; merasa geli dan tertawa sendiri karena ejaan Melayu yang telah jadul serta gaya bahasa yang nampak wagu. Seperti, yang saya cantumkan berikut ini: “Adik-adikkoe semoea! Lamalah soedah niat Abang hendak mengeloarkan soerat kabar ini akan adik-adikkoe batja2 pada waktoe jang terloeang, pelipoer hati adikkoe dimasa sepi” (sumber dari surat kabar bernama Pelipoer Hati, No. 1, November 1934. Th.I).

Hal penting lainnya, yang bisa kita dapati dalam buku ini adalah berdiri dan beradanya pers di Minangkabau ini tak luput dari orang-orang Eropa, Indo-Eropa, dan orang Tionghoa yang bermukim di sana. Dimana, kehadiran surat kabar pada awalnya hanya untuk kepentingan ekonomis saja.

Adapun, masyarakat Minangkabau yang masih kuat dalam tradisi lisan ini menangkap kebermanfaatan dari surat kabar yang didirikan dan diedarkan oleh mereka. Dan, salah satu orang Minangkabau yang turut berjasa dalam perkembangan surat kabar, tak terkecuali perkembangan keberaksaraan adalah Datuk Sutan Maharadja. Dimana, ia telah mendirikan Warta Berita (1895), Soleoeh Melajoe (1913), Oetoesan Melajoe (1914), dan Soenting Melajoe (1912).

***

Dari buku inilah, kita akan tahu bahwa pendirian surat kabar di Minangkabau menjadi cikal-bakal pembentuk dan berdikarinya Indonesia. Sebab, lewat itu, orang-orang tak hanya menghadirkan iklan-iklan, laporan tentang berita kematian, ataupun berita tentang pernikahan. Tapi, orang-orang telah menyampaikan gagasan, kritikan, dan kreasinya, seperti hadirnya surat kabar berisi pantun, cerita jenaka, cerita agama, hikayat, roman, dan cerita bersambung.

Kehadiran fiksi (sastra) dan nonfiksi (tulisan berupa opini, kritikan) turut membentuk masyarakat Minangkabau menjadi masyarakat beraksara, di mana, keaksaraan dalam surat kabar tersebut masih beraroma lisan. Dan, lambat laun pula, surat kabar itu yang membentuk keintelektualan  mereka, sampai pada akhirnya surat kabar dan majalahnya tak hanya diisi dengan wacana-wacana berbasis adat, agama, dan kampung halaman saja, tapi juga wacana khusus berbasis organisasi profesi, ideologi politik, jender, dan sastra.

Gambaran, kelebihan, dan kebermanfaatan buku yang menyerupai semacam ensiklopedia hidup tentang masyarakat Minangkabau inilah, yang tak boleh dilewatkan begitu saja bagi publik pembaca—tak hanya peminat bahasa ataupun pemerhati pers. Sebab, dengan membaca buku ini, pembaca bisa mengetahui sejarah Indonesia, sejarah keberakaran yang membentuk kita pula, sehingga dari situ, mentalitas pengetahuan kita pun bisa menjadi kuat. Ini barangkali satu yang dibutuhkan bangsa kita pada masa kini.

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan