dari-twitwar-ke-twitwar

Narasi Kemanusiaan dalam “Dari Twitwar ke Twitwar”

Oleh Elvan De Porres

Setiap buku atau karya tulis pasti mengandung suatu tema pokok. Tema itu bisa saja seputar politik, ekonomi, sosio-budaya, atau kemanusiaan yang kemudian tertata baik dalam fiksi maupun nonfiksi. Dengan segenap ide dan kreativitas yang dimiliki, para penulis melahirkan anak-anak rohaninya secara khas. Idealnya, mereka memberikan stimulus kepada pembaca untuk larut dalam santapan bacaan itu sendiri.

Ada penulis yang kemudian dikenal pembaca dengan gaya dan keunikan tertentu. Jika karya itu bagus, pembaca merasa senang dan mengapresiasi. Di sisi lain, kadang apabila tidak sesuai harapan, penulis bisa saja dicemooh, dihina, dan dicaci maki. Pada titik ini, harus diakui pembaca punya seleranya masing-masing, dan begitupun setiap penulis pastinya juga punya pangsa pembacanya tersendiri.

Berkenaan dengan menulis, Pramoedya Ananta Toer punya fatwanya. Menurut beliau, orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Lebih lanjut, bagi Pram, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Frasa “bekerja untuk keabadian” ini bisa diinterpretasikan lebih lanjut. Saya kira itu menunjukkan dedikasi, usaha, dan perjuangan untuk menggapai nilai lain yang lebih mulia. Ini tentang bagaimana tulisan itu memberikan pencerahan dan kesegaran batin. Dan, boleh jadi nilai lain itu ialah kemanusiaan sebagai marwah utama. Dengan begitu, “bekerja untuk keabadian” berjuntrung pada kreativitas diri untuk menghasilkan karya-karya yang sepatutnya memanusiakan manusia.

Salah satu buku yang cukup getol membincang kemanusiaan sebut saja “Dari Twitwar ke Twitwar” (2015) karangan penulis muda Arman Dhani. Buku yang merupakan kumpulan esai itu dengan lantang meneriakkan semangat kemanusiaan atas kondisi minor yang terjadi pada bangsa ini. Beberapa lingkup persoalan dikintilinya, ditilik, lalu dielaborasi dengan pisau bedah humanis-kritis. Api humanis-kritis inilah semestinya juga memantik kesadaran kita untuk tidak egois terhadap berbagai realitas sosial. Tulisan-tulisan dalam “Dari Twitwar ke Twitwar” dapat dikatakan merepresentasi permasalahan umum yang terjadi sekarang. Risalah-risalahnya aktual dengan situasi dan perjalanan bangsa. Inilah seperti yang diguratkan Mangunwijaya dalam Burung-burung Rantau (1992), bahwasanya negeri ini sungguh membutuhkan pemberani-pemberani yang gila, asal cerdas, dan bukan yang tahu adat, yang berkepribadian pribumi, yang suka harmoni, yang saleh alim, dan yang nurut model kuli dan babu. Artinya, kepedulian sosial merupakan hal penting untuk terciptanya bonum commune.

Arman Dhani, alumnus Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial di Universitas Jember, secara tegas menyatakan keberpihakannya. Keberpihakan di sini bukanlah sekadar sikap ikut arus, tetapi lebih pada soal memberikan pertanggungjawaban yang cerdas dan kritis. Sebab, narasi kemanusiaan dalam “Dari Twitwar ke Twitwar” tak pelak mengangkat masalah-masalah sensitif nan aktual seputar kebangsaan. Boleh jadi, buku ini bak filsuf postmodernisme yang berani melabrak metanarasi atau arus berpikir massal. Misalnya, soal keberpihakan kepada kaum LGBT, kecaman kepada kaum yang merendahkan martabat perempuan, ataupun dukungan kepada kelompok-kelompok keagamaan yang dikucilkan oleh mayoritas karena dianggap sesat.

Pada hematnya, ada dua semangat hidup yang dapat kita petik apabila membaca buku ini. Hal pertama ialah usaha dan karya yang kita lakukan hendaknya mengutamakan nilai kemanusiaan itu sendiri. Setiap jenis tindakan yang dibuat mesti merupakan bentuk pengekspresian diri secara penuh dan dilakukan sesuai dengan bisikan hati nurani. Lebih mencoloknya, ketidakadilan dan juga represi-represi psikologis terhadap diri sendiri ataupun sesama haruslah dihindarkan. Jangan sampai kita seperti kaum birokrat tertentu yang hanya bekerja untuk kepentingan diri, ataupun mengumbar kata-kata palsu minim aplikasi. Kedua, keberanian menjadi penting dalam menyuarakan suara kaum yang terpinggirkan, yang mengalami penindasan, yang selalu diteror ataupun mendapat intimidasi. Dalam konteks buku ini, keberpihakan pada korban menjadi diktum tak terbantahkan. Berani mengganggu kemapanan penguasa yang bobrok sembari mengadvokasi orang-orang kecil dan sederhana adalah bagian dari itu. Keberanian itu seyogianya membutuhkan sikap kritis dan cerdas. Dengan begitu, perjuangan kemanusiaan bisa tepat sasar dan menukik pada substansi persoalan. Saya kira keberanian semacam ini akan menjadikan kita warga negara yang baik, juga penganut agama yang moderat, pribadi yang respek atas pluralitas, dan bukannya terjerumus ke dalam fundamentalisme ideologi sempit.

Dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara, kepedulian sosial semacam itu merupakan penegasan atas apa yang diungkapkan filsuf Platon sebagai “merawat jiwa”. Artinya, kita senantiasa menutrisi diri dengan pelbagai tindakan yang membawa kemaslahatan bagi nasion. Ini juga merupakan antitesis atas model manusia tunaetika yang hidup tak berlandaskan hukum dan berbuat semena-mena seturut nafsu dan keinginannya. Akan tetapi, pada prinsipnya, untuk membangun suatu bangsa yang beradab, menyingkirkan egoisme diri tidaklah cukup. Harus ada kerja sama dan semangat kolektif untuk bahu-membahu mewujudkan itu. Dan, sudah pasti ini butuh proses.

Akhirnya, narasi kemanusiaan dalam “Dari Twitwar ke Twitwar” tidaklah boleh dimengerti sebagai jalinan cerita-cerita nihil tanpa esensi. Narasi kemanusiaan di sini tertegaskan sebagai realitas keseharian hidup kita, entah keblinger ataupun penuh preseden, yang mesti diperbincangkan dan sekali lagi dipersoalkan secara humanis-kritis. Sebab, menurut Arman Dhani sendiri pada bagian akhir kata pengantar buku ini, “Buku ini merupakan hasil pemikiran manusia medioker di tengah manusia-manusia medioker lain. Bedanya, saya menulis sementara yang lain hanya bisa berkomentar dan bicara.” Semoga kita juga tak dihantam dengan kata-kata sang penulis satire ini. Makanya, mari sama-sama “bekerja untuk keabadian”.

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan