buku-seni-dan-pemberontakan

Seni Komposisi Revolusi

“Seni, Politik, Pemberontakan”, memaparkan pemikiran-pemikiran tentang dunia seni di awal abad ke-20 hingga pasca perang dunia kedua. Didalamnya pembaca disuguhkan pembahasan dari berbagai tokoh yang membahas seputar seni secara luas, dan mendalam. Pembaca bagaikan membuka jendela pengetahuan lintas batas, mendorong rasa ingin tahu untuk semakin haus akan pengetahuan dan pemahaman yang lebih jernih.

Tokoh tokoh dan pemikiran di dalamnya meliputi; Albert Camus (1913-1960) seorang penulis kelahiran Al-Jazair yang dalam tahun-tahun setelah perang bersama dengan Jean Paul Sartre dan Simon de Beauvior menandai bangkitnya era baru penulis, filsuf dan kritikus Prancis (memaparkan peran yang dimainkan kreativitas estetis para seniman), lalu ada juga Leon Trostky (1879-1940) merupakan salah satu tokoh utama revolusi Rusia kelahiran Ukraina (yang melihat perkembangan seni dalam hubungannya dengan kehidupan politik), William Philip ( Founding Editor majalah Partisan Review dan juga pengajar sastra Inggris di Boston University) mencoba secara lebih cermat meneliti hubungan antara sastrawan dengan tradisi intelektual, Stephen Spender (lahir 1909 di Inggris dikenal sebagai seorang penulis, sastrawan, jurnalis, kritikus, dan penerjemah) mengulas kontraversi seniman Eropa seputar kematian Julien Bell dan John Conford, Barbara Rose (Kritikus seni Amerika, penulis buku Lee Kraner/ Jackson Pollock: A Working Relationship) yang dengan sangat cerdik mengungkapkan dimensi protes yang terkandung dalam kreatifitas seni, dan Nicola Chiaromonte yang menghadirkan drama tragedi perseteruan Albert Camus dan Jean Paul Sartre.

Albert Camus mengatakan, “Seni, seperti pemberontakan, adalah sebuah gerakan yang pada waktu bersamaan bersifat mengagungkan sekaligus mengingkari.” Sementara Leon Trostsky mengungkapkan bahwa banyak seniman yang menjalankan kreativitas seninya dalam rangka mencari kedudukan dan prestasi politis, atau sekadar menyelamatkan diri dari kemungkinan malapetaka politis, dengan membuat karya yang mengagungkan para penguasa. Barbara Rose dengan cerdik mengungkapkan dimensi protes yang terkandung dalam kreativitas seni. Hubungan seniman dengan masyarakat sebagai orang tua, membuat aturan-aturan yang mengekang kreasi seniman yang dianggap selalu melanggar tatanan baku. Sebaliknya, seniman ibarat remaja yang bosan dengan tradisi kolot dan membayangkan sebuah tatanan baru  yang lebih baik. Maka terjadilah proses dialektik yang hidup, antara masyarakat konservatif, dengan seniman yang inovatif. Diakhiri dengan tulisan dari Nicola Chiaromonte, menghadirkan drama tragedi perseteruan Albert Camus dan Jean-Paul Sartre.

Tidak hanya sebatas apa yang tertera di atas. Membaca buku ini kita akan banyak sekali meraup irisan-irisan kritis daripada persinggungan relasi antara seni, politik, dan pemberontakan. Ide-ide brillian, konsep-konsep matang serta pembahasan konteks yang matang disajikan dengan rapih sehingga pembaca tidak terlalu sulit masuk ke dalam landscape pembahasan yang dimaksud. Padat, rapat dan bergizi.

Dr. FX. Mudji Sutrisno, SJ. (STF Driyakarya, Jakarta) memberikan pengantar dengan judul yang sangat apresiatif; “Ruang Estetik, Oasis Aksi Kritis Seni”. Beliau menambahkan penjelasan bahwasannya potensi atau kemampuan kritis dari estetika kritis itulah yang dipapar dalam buku ini.

Legenda : Qua intelektual

Dijelaskan dengan terjemahan (Hartono Hadikusumo) yang sangat lugas beserta penjelasan-penjelasan luas, sebuah keadaan kaum Intelektual Prancis kiri maupun kanan pada waktu itu memiliki pusat-pusat, organisasi-organisasi, jurnal-jurnal, koran-koran, dan mimbar-mimbar. Bagi mereka imajinasi dan intelejensi kritis merupakan alat-alat yang dapat diterapkan kepada masalah-masalah sosial. Dan dalam keberpihakannya, kaum intelektual memanfaatkan legenda bahwa, qua intelektual, mereka mewakili intelegensi yang tidak memihak. Turun sejenak dari kedudukannya yang tinggi, sang “juru tulis” membuat penilaian yang objektif, tidak memihak. (h.65) . Paparan ini menggambarkan kondisi Intelektual-Intelektual Prancis.

Sedangkan di Spanyol juga sangat memukau, bagaimana prinsip-prinsip ideologis juga digambarkan dengan sangat merdeka. Pada suatu kondisi “harus” memilih antara syair dan bertempur di Spanyol, John Conford (pribadi kaku tetapi tidak bodoh) menegaskan pilihannya setelah meninggalkan Cambridge, bahwa :

“Menjadi penyair  telah menjadi suatu kegiatan marjinal dan personal. Ia tidak pernah membahas karyanya dengan kaum-kaum separtai; kebanyakan dari mereka bahkan tidak mengetahui sampai kematiannya bahwa dia adalah seorang penyair… Dalam waktu-waktu senggang yang jarang, dia menulis puisi-puisi personal maupun politis. Yang terakhir ini merupakan suatu upaya sadar untuk “mengobjektifkan” gagasan-gagasan dan sikap-sikapnya sebagai seorang partisipan revolusioner, dan ingin memasukkan gagasan dan sikapnya itu ke dalam sajak revolusioner. (h.75)

Poin-poin penting yang ada di dalam buku “Seni,Politik,Pemberontakan. Akan berdampak positif cukup banyak jika dicermati dengan seksama lalu diimplementasikan dalam penentuan sikap dalam kehidupan, mengingat terdapat nilai-nilai luhur, tidak hanya dalam aspek sejarah namun juga sastra penuh filosofis.

Pada lembar-lembar berikutnya masih sangat banyak pemaparan gambaran serta perbincangan menarik yang juga tidak kalah penting untuk dibaca dan dipahami lebih seksama. Karena memang dalam upaya mengubah dunia lama menuju dunia baru. Nyatanya, Seni adalah Pemberontakan !

BACA JUGA:

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan