berdoa-di-kapela-atau-kapel

Sepotong Pagi di Kapela

Aku sudah bosan ke bangunan tua itu. Rasanya tak ada yang berubah. Semuanya tetap sama seperti sejak awal aku memutuskan untuk tinggal di tempat yang dahsyat ini. Ya, banyak orang yang telah mengakui bahwa tempat ini merupakan salah satu tempat yang penuh kejutan dan misteri. Tempat setiap calon musafir cinta untuk berlatih, belajar, dan mengembangkan segala kemampuan dan potensi yang ada dalam dirinya sebelum tiba saatnya untuk membagikan dan menyebarkan cinta. Akan tetapi, rasanya tak ada yang berbeda sejak semula. Tetap saja seperti sedia kala. Lalu, apa yang membuat semua orang berpikir bahwa tempat ini dahsyat?

—————

Pagi itu aku bangun lebih awal dari biasanya. Kulihat jam dindingku, pukul 4.00 WITA. Pagi yang masih terlalu buta. Entah mimpi apa yang telah merasuki diriku hingga pagi ini aku terjaga di saat orang-orang sedang menggigil di tempat tempat tidur mereka. Boleh jadi mereka sedang asyik merangkai mimpi di saat-saat seperti ini. Atau, entahlah.

Kuputuskan untuk berbaring lagi sejenak sebelum waktunya untuk mengunjungi bangunan tua itu. Ya, bangunan yang setiap pagi menjadi pelabuhan pertama bagi kami para musafir cinta untuk menyapa Dia sang empunya cinta. Bangunan yang menjadi  tempat kami berkeluh kesah. Bangunan yang hingga saat ini suasananya tetap sama. Bangunan yang sangat membosankan. Akan tetapi, bangunan itu pulalah yang menjadi ujung tombak perjalanan hidup kami. Ya, itulah bangunan tempat Tuhan bernaung, KAPELA.

Lonceng pun berbunyi. Waktu untuk mendendangkan sajak segera dimulai. Seperti biasa, sudah selalu diawali dengan nyanyian Utuslah Roh Kudus. Jujur aku termasuk orang yang semangat untuk bernyanyi. Akan tetapi, pagi ini aku lebih memilih mengatup bibirku rapat-rapat. Rasanya sudah bosan. Entah karena apa, aku tidak tahu. Padahal aku sudah begitu semangat mengawali hari ini dengan bangun lebih awal dari yang lain. Aneh.

Spontan aku menoleh ke samping. Kulihat orang-orang sedang asyik merajut kembali mimpi-mimpi mereka di tempat kudus ini. Mimpi yang terpaksa harus dilepas oleh karena dentangan lonceng dan karena tak sudi makanya mereka kembali mengais remah-remah mimpi itu agar mau hadir kembali.

“Ah, dasar orang-orang tak tahu diri. Sudah,  bawa aja sekalian kasur kalian ke sini. Toh itu lebih nyaman nantinya”, celotehku dalam hati.

Hal itu bukanlah sesuatu yang asing lagi. Bahkan akan terasa ganjil apabila tak ada yang berlaku demikian di saat-saat berada di bangunan tua itu. Ya, wajarlah. Barangkali semalam suntuk mereka kebut untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah atau apalah. Rasanya bangunan tua itu dipenuhi aroma kemunafikan. Dan itu juga pun sudah lumrah.

Segera setelah kegiatan itu usai, aku menutup perjumpaan pagi itu dengan sebuah sajak terakhir. Entah sampai ke hadirat-Nya atau tidak, itu bukan urusanku. Entah, Ia pun mendengarnya juga aku tak peduli. Yang penting ialah aku mau berbicara kepada-Nya perihal diamku kala itu.

Tuhan,

Adakah Kau di mataku,

Aku di matamu

Lantaran mulut sudah lelah berteriak

Memanggil nama-Mu, dan

Mengeja sajak perihal tentang-Mu

Yang bahkan dinding tembok bangunan tua itu

Memilih tuk mendadak tuli atau bahkan menolak tuk mendengarnya.

Tiap detik, menit, jam, dan pagi yang masih buta, hanya itu saja. Tentang-Mu

Dan Kau pun tak kunjung tiba

Bahkan rupa bayang-Mu pun tak terlintas di sana.

Ah, Tuhan

Aku sudah bosan dan amat lelah tuk menanti

Jika waktunya tiba bagi-Mu tuk melawat,

Jangan lupa kirim secuil pesan melalui mimpiku

Sehari sebelum Kau berupa di altar itu.

Amin.

Usai mengeja sajak itu dalam hati, aku pun perlahan-lahan meninggalkan bangunan tua itu sekaligus meninggalkan Dia yang barangkali sudah hadir sejak awal ketika aku masuk ke bangunan tua itu untuk pertama kalinya. Entah.

BACA JUGA:

 

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan