saudara-kandung-raden-ajeng-kartini

Sisi Lain Raden Ajeng Kartini

Bagi Daniel Dhakidae, terdapat dua cara untuk dapat memahami dan mengenal seseorang. Cara pertama adalah cara objektif, sedangkan cara yang kedua adalah cara yang sedikit subjektif. Jika kita ingin mengenal seseorang secara objektif, baca dan pelajariah karya-karya orang tersebut. Dengan mempelajari dan membaca karya-karya orang yang bersangkutan, kita akan mengerti garis besar ideologi politik, falsafah hidup, dan harapan-harapan orang itu. Sedangkan cara lain yang lebih subjektif adalah dengan bertanya atau membaca tulisan tentang orang yang ingin kita pelajari dari orang-orang terdekat mereka.

Dari bertanya atau membaca karya orang-orang terdekat sang tokoh tersebut, kita akan melihat sisi lain dari sang tokoh. Sebab dalam banyak hal, ada batasan-batasan psikologis seseorang untuk menuliskan rahasia-rahasia sendiri dalam buku karya mereka. oleh karena itu, orang-orang besar tersebut, seperti halnya kita semua, akan lebih nyaman untuk bercerita dan membagi rahasia-rahasia pribadi secara lisan, pada pada orang-orang disekitar mereka, yang mereka rasa bisa dipercaya. 

Begitupun dengan kehidupan tokoh besar bernama Kartini. Dengan membaca karya agung Habis Gelap Terbitlah Terang kita akan mendapatkan gambaran tentang Kartini dalam garis besar kehidupan yang ia jalani. Kita akan mendapatkan deskripsi kehidupan feodal masyarakat jawa yang dilawan oleh Kartini. Kita juga akan mengetahui cita-cita yang menjadi impian Kartini.

Namun, pembacaan tersebut tentu memiliki keterbatasan. Kita akan banyak melewatkan detail-detail kecil kehidupan Kartini dan juga keluarganya. Kita juga tidak akan mengenal Kartini secara dalam dan utuh. Kita hanya akan mengenal Kartini dan adik-adiknya hanya dalam gambaran umum yang nampak dipermukaan saja. Untuk lebih mengenal kartini lebih dalam, kita harus membaca dan bertanya pada Ibu Ngasirah (ibu kandung Raden Ajeng Kartini), atau Roekmini dan Kardinah (adik-adik RA. Kartini).

Hadirnya buku berjudul Tiga Saudara; Kartini, Roekmini, Kardinah garapan Kardinah Rekso Negoro (adik Kartini) adalah suatu pelengkap yang mungkin akan sedikit mengobati rasa dahaga kita dalam upaya mengenal Kartini. Kita yang selama ini asing pada sosok Kartini dan hanya mengenal Kartini melalui film fiksi dan buku Habis Gelap Terbitlah Terang, akan merasa sedikit lebih lega. Kartini disuguhkan pada kita dari orang terdekatnya, dari adik terkasihnya, yang telah menghabiskan hari-harinya untuk menemani perjuangan Kartini dalam menghadapi ujian hidup dan pingitan di saat Kartini masih muda belia. Betapa hebatnya.

Namun, kelegakaan kita itu hanya bersifat sementara. Mengapa? Sebab, dalam keterangan sampul buku tersebut, terdapat pernyataan ironik. Buku Tiga Saudara: Kartini, Roekmini, Kardinah, dicetak terbatas dan hanya untuk kalangan sendiri saja. Artinya, penerbit tidak menerbitkan buku ini secara masal dan terbuka. Penerbit hanya menerbitkan buku ini hanya untuk pemerintah kota Rembang dalam jumlah yang terbatas.  Selain itu, artinya, akses cetakan buku ini sangat jauh dari jangkauan masyarakat luas. Akhirnya, masyarakat luas tidak bisa mengenal sisi lain dari kehidupan Kartini yang unik dan luar biasa.

Konsekwensi logis lain dari rentetan fakta ini juga berarti bertahannya pemahaman artifisial kita, masyarakat umun, dalam upaya mengenal sosok kehidupan dan pemikiran Kartini. Kita lebih memahami Kartini sebagai duta busana jawa seperti kebaja, konde dan kain jarik ketimbang hal-hal lain yang lebih subtansial. Kita juga lebih sering memitoskan kartini sebagai ibu, daripada seorang wanita mandiri yang tangguh. Padahal, jika kita kenal lebih dekat pada sosok kartini, kita akan tahu bahwa kartini menjadi ibu hanya dalam tempo hitungan hari saja. Sebab, secara ironik Kartini meninggal beberapa saat setelah ia melahirkan. Ia tidak sempat menimang-nimang bayinya, mengganti popoknya, atau memanjakan anaknya seperti kebanyaan ibu-ibu pada umumnya. Kartini yang dimitoskan sebagai “ibu kita semua” ternyata tidak sempat menjadi ibu bagi anak laki-lakinya. Itulah ironi-ironi yang kita dapatkan dari pemahaman dangkal kita dalam mengeluti kehidupan Kartini.

Adegan Lucu

saudara-kandung-kartini

Judul : Tiga Saudara, Kartini, Roekmini, Kardinah
Penulis: Kardinah Rekso Negoro
Penerbit: Pemerintah Kabupaten Daerah TK. II Rembang
Tahun Terbit: 1964
Tebal               : 77 Halaman

Saya yakin, persepsi pertama yang akan muncul dalam benak pembaca saat membaca buku berjudul Tiga Saudara: Kartini, Roekmini, Kardinah ini adalah keget sekaligus heran. Pasalnya, buku ini dibuka dengan pengantar sanggahan dari Kardinah untuk buku terkenal karangan Pramoedya Ananta Toer yang berkisah tentang Kartini berjudul Panggil Aku Kartini Saja terbitan lentera. Pram, dalam buku Panggil Aku Kartini Saja, menggambarkan kehidupan kelam dalam pendopo kabupaten Jepara. Ibu Ngasirah, ibu kandung Kartini, selaku garwo ampil (selir bupati) digambarkan Pram banyak mengalami kesengsaraan dan mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Hal ini sangat aneh dan sangat menggangu keluarga besar Kartini. Maka wajar jika Kardinah, selaku adik kartini, membantah gambaran buruk yang dialami ibu Kartini dalm buku karangan Pram tersebut. 

Kardinah dalam buku Tiga Saudara: Kartini, Roekmini, Kardinah, sepertinya ingin meyakinkan pembacanya bahwa perlakuan di dalam rumah bupati Jepara itu adil. Ibu Ngasirah walaupun hidup sebagai garwo ampil atau selir bupati, ia tetap diperlakukan dengan baik. Ibu Ngasirah tetap mendapat hak-haknya sebagai istri bupati secara layak dan memadahi. Maka ia memprotes dan menyindir Pram atas kesalahan asumsinya.

Selain itu, kita juga bisa menyaksikan adegan-adegan unik dan bernuansa “jahat” di dalam buku ini. Kita akan dibuat tersenyum saat mengetahui kejahilan Kartini dan adik-adiknya pada orang-orang di sekitar mereka. Saat Kartini merasa bosan, Karini iseng menjahili pak Danoe, guru pelajaran bahasa jawanya. Kartini pernah memberi makan pecel-semanggi dengan rasa yang super pedas pada guru malang tersebut. Pak Danoe pun akhirnya megap-megap kepedasan dan pelajaran pun dibatalkan.

Selain itu, adegan-adegan lucu lain dari kehidupan Kartini dapat kita temui saat ia ditinggal bermalam oleh ayahnya di kabupaten Pati. Kartini yang sering dititipkan pada Mbok Sosro merasa bosan. Lantas, Saat Mbok Sostro tidur dan lupa untuk menjaga Kartini, Kartini usil dengan menaruh merica di gobek (alat penumbuk sirih) milik mbok Sostro. Ketika mbok Sostro ingin makan sirih, merica pun ikut tertumbuk. akhirnya mbok Sostro mabuk bukan kepalang karena mengalami kepedasan.

Kedua adegan lucu tersebut membuktikan pada kita bahwa di balik keanggunan dan visi besar Kartni, ada hal lain yang normal dan manusiawi. Kartini juga merupakan manusia normal yang suka bercanda dan jahil. Ia juga tumbuh sebagai manusia biasa yang memiliki rasa humor dan bosan. Kartini adalah wajah manusia indonesia yang normal tapi dimitoskan. Ia adalah korban pemerintah yang abai pada literasi. Ia adalah jagoan pemerintah yang dikenal hanya lewat slogan. 

Dengan membaca dan menggauli kehidupan Kartini lewat mata kardinah, saya rasa pembaca akan lebih mengenal Kartini lebih dalam. Pembaca tidak akan terjebak pada mitos-mitos tentang kartini lagi. Kartini tidak akan lagi dikenali sebagai yang mistik, abnormal dan keibu-ibuan. Sebaliknya, Kartini akan dikenali secara wajar. Yang membedakan Kartini hanyalah cita-cita dan prinsip-prinsip hidup yang ia perjuangkan selama ia hidup. Begitu.

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan